Dengan perkembangan problematik yang makin kompleks di dalam dunia perusahaan akan banyak menimbulkan implikasi yuridis juga terhadap tanggung jawab dari organ-organ yang ada di dalamnya. Perseroan terbatas (PT) merupakan jenis perusahaan yang permodalannya terbagi dalam saham. Dalam Pasal 24 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT) berbunyi “(1) Modal dasar perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham, (2) Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikeluarkan atas nama dan atau atas tunjuk.”. Saham tersebut merupakan modal yang paling penting bagi eksistensinya sebuah PT.
Hal yang tidak kalah penting dalam menjalankan sebuah Perseroan Terbatas (PT) adalah pertanggung jawaban Direksi Perseroan PT. Selain bertanggung jawab pada saham yang ada secara eksternal ia juga punya tanggung jawab pada pihak ketiga. Adapun Tugas dan tanggung jawab Direksi Perseroan Terbatas terhadap pihak ketiga terwujud dalam kewajiban untuk melakukan kerterbukaan (disclosure) pada pihak ketiga atas setiap kegiatan perseroan yang dianggap dapat mempengaruhi kekayaan perseroan. Kewajiban-kewajiban tersebut yaitu :
- Pada pasal 38 ayat 2 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang pada hakikatnya dari pihak perseroan ingin melakukan pengurangan atas modal dasar yang dikeluarkan atau pun modal yang disetor dari perseroan.
- Pada pasal 105 ayat 2 Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang hakikatnya perseroan ingin melakukan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan
- Direksi perseroan diwajibkan untuk menyerahkan hasil perhitungan tahunan perseroan untuk diperiksa oleh akuntan public sebelum perhitungan tersebut disahkan oleh RUPS[1]
Seorang pemegang kuasa yang melaksanakan kewajibannya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab direksi sebagai pemegang fiduciary duties dari pemegang saham perseroan. Dalam hal ini punya tanggung jawab penuh atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh anggaran dasar perseroan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasar uraian di atas, hukum perusahaan merupakan hal yang penting dalam menyikapi segala problema terkait mekanisme tanggung jawab terhadap masalah yang timbul dalam sebuah perusahaan. Perseroan terbatas (PT) adalah salah satu bentuk perusahaan yang terbagi dalam saham. prosedur dan mekanisme yang dijalani dalam menjalankannya tidak lepas dari tanggung jawab Direksi PT yang punya kewenangan penuh. Hal ini terkait wewenang secara internal. Selain itu ada kewenangan yang dimiliki oleh Direksi PT berupa eksternal untuk berhubungan dengan pihak ketiga. Dari arahan ini maka prosedur penggunaan fidusia juga akan menjadi tanggung jawab dari Direksi PT terkait wewenangnya tersebut. Terkait dengan hal tersebut, lalu yang menjadi permasalahan ialah bagaimanakah penerapan piercing the corporate veil dalam prespektif tanggung jawab perseroan tebatas?
Perseroan terbatas adalah organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya. Di dalam PT pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT / perseroan terbatas dibutuhkan sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai persyaratan lainnya
Dari pengertian di atas jelas terlihat bahwa tanggung jawab hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya, hal ini berati tidak melibatkan harta Direktur utama perseroan juga.
Berdasar Pasal 1 UU No. 40/2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Dari pengertian tersebut, hal penting yang perlu digarisbawahi adalah pada kata “badan hukum”. Dari pengertian tersebut dapat dianalisis mengenai sebatas mana tanggung jawab perseroan dan tanggung jawab Direksi.
Badan hukum berbeda dengan badan usaha. Hal yang membedakan antara badan hukum dengan badan usaha ialah dalam hal pemisahan kakayaan / harta pribadi, dimana pada badan usaha tidak terdapat pemisahan antara kekayaan pribadi pemilik dengan kekayaan perusahaan sehingga utang perusahaan berarti pula utang pemiliknya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh harta kekayaan pemilik menjadi jaminan bagi semua utang perusahaannya. Oleh karena itu, pemilik Perusahaan Perorangan/ Perusahaan Dagang memiliki tanggung jawab yang tidak terbatas. Sebagai contohnya ialah perusahaan perseorangan, Firma, Commanditer Vennotschap (CV). Lain halnya dengan badan usaha, badan hukum terdapat pemisahan antara kekayaan pribadi pemilik dengan kekayaan perusahaan dimana tanggung jawab PT merupakan tanggung jawab terbatas, yaitu hanya terbatas pada modal yang disetor.
Tanggung jawab pemegang saham, dalam UU Nomor 40 tahun 2007 (UUPT) di atur dalam Pasal 3, sedangkan dalam UU Nomor 1 tahun 1995 (UUPTL) di atur dalam Pasal 3, dan dalam WvK terdapat pada pasal 40 ayat (2). Berdasarkan pada pasal 3 UUPT dapat di ketahui bahwa pemegang saham PT bertanggung jawab terbatas sebesar saham yang di milikinya. Disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) UUPT: “Pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang di buat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki”.
Pada dasarnya hal sama di atur pula dalam pasal 3 ayat (1) UUPT dengan kalimat melebihi saham yang di ambilnya, sedangkan pasal 3 ayat (1) UUPT dengan kalimat melebihi saham yang di miliki. Perbedaan pada istilah di ambil (UUPTL) dengan dimiliki (UUPT) . Perbedaan tersebut menurut penulis tidak terlalu mendasar, karena prinsipnya sama, hanya UUPT lebih menekankan pada pengambilan, barangkali istilah yang dipergunakan lebih tepat, karena sesuatu yang diambil belum tentu merupakan hak miliknya.[2]
Sehubungan dengan tanggung jawab pemegang saham tersebut, WvK juga mengatur yang sama yaitu tanggung jawab pemegang saham adalah tanggung jawab terbatas tapi dengan redaksi yang agak berbeda. Pasal 40 ayat (2) wVk menyatakan, para persero ato pemegang saham atau andil tersebut tidak bertanggung jawab untuk lebih dari pada jumlahnya penuh andil andil itu”. Persamaan dari ketiga undang undang tersebut adalah selelu menggunakan kalimat negatif: tidak bertanggung jawab dan bukan dengan kalimat positif bertanggung jawab. Ketentuan demikian dapat dibandingkan dengan ketentuan NBW Nederland yang mengatur penanggung pemegang sahamtidak secara khusus tetapi dalam rumusan Naamloze Vennotschap. Hal tersebut tampak Art. 64 (2.3.1.1.1 NBW yang berbunyi):
“De naamloze vennoschap is een rechtspersoonlijkheind bezittede venotsap met een in andelenverdeed maatshappelijk kapitaal, warin ieder der vennoten voor een of meer overdraangbareaandelen delneemt. De vennoten a(aandeelhonders) zijin niet persoonlijkaansprakelik voor hetgeen de vennotshap bij te dragen”
NBW Nederland tersebut juga mempergunakan kalimat negatif dalam hubungan dengan tanggung jawab pemegang saham yaitu menyebut ”de vennoten (aandeelhonders) zijin niet persoonlijkaansprakejk” rumusan di atas juga menyebutkan secara tegas bahwa hukum (een rechtpersoonlijkheind). Akan tetapi, NBW dalam rumusan tersebut tidak menganut teori perjanjian sebgaimana di sebutkan dalam pasal 1 angka 1 UUPT dan UUPTL.
Mengenai istilah perseroan terbatas, kata terbatas di sebabkan berlakunya tanggung jawab pemegang saham dari suatu perseroan. Dengan demikian, yang terbatas bukan besarnya modal atau kegiatan usahanya tetapi penunjukan adanya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham dan ini merupakan ciri khas dari suatu PT, seperti halnya pada persekutuan firma yaitu adanya tanggung jawab rentang atau menenaggung atau bertanggung jawab secara pribadi dan untuk sepenuhnya (pasal 18 Wvk) dari para sekutu persekutuan tersebut.
Tentang tanggung jawab terbatas pemegang saham menurut pasal 3 ayat (1) UUPT di atas terdapat penerobosannya yang diatur dalam pasal 3 ayat (2) UUPTL. Menurut kedua ketentuan tersebut bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi tidak berlaku apabila:[3]
- Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi;
- Pemegang saham bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
- Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan atau;
- Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung atau tidak langsung secara melawan hukum hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.
Dalam keadaan di atas, berarti pemegang saham bertanggung jawab tidak terbatas atau bertanggung jawab secara pribadi untuk sepenuhnya. Ketentuan yang dikenal sebagai penjabaran prinsip piercing the corporate viel tersebut tidak di atur dalam ketentuan WvK tentang perseroan tebatas. Prinsip di atas atau lazim diterjemahkan sebagai prinsip (asas) penyikapan tabir perusahaan atau penerobasan tanggung jawab pemegang saham dapat di katakan sebagai sanksi kepada pemegang saham atau akibat keperdataan bagi pemegang saham yang melakukan perbuatan perbuatan seperti yang di sebutkan (kecuali nomor 1) yang pada dasarnya merupakan perbuatan yang melawan hukum. Dengan adanya akibat hukum demikian dituntut pemegang saham hati hati dan selalu beritikad baik dalam menjalankan peranan dan kedudukannya sebagai pemilik perseroan.
Khusus untuk akibat hukum dalam masalah pertama yaitu apabila perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi. Sebenarnya tugas untuk menjadi badan hukum merupakan kewenangan dari pengurus atau pendiri perseroan (yang biasanya diberikan kuasa kepada notaris untuk mengurusnya). Sehingga bukan merupakan tanggung jawab pemegang saham, kecuali yang bersangkutan sebagai pengurus/ pendiri.
Direksi merupakan badan pengurus perseroan yang paling tinggi, serta yang berhak dan berwenang untuk menjalankan perusahaan, bertindak untuk dan atas nama perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Direksi bertanggung jawab penuh atas pengurusan dan jalannya perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan. Di dalam menjalankan tugasnya tersebut Direksi diberikan hak dan kekuasaan penuh dengan konsekuensi bahwa setiap tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh Direksi akan dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan perseroan sepanjang mereka bertindak sesuai dengan apa yang ditentukan dalam Anggaran Dasar perseroan. Selama Direksi tidak melakukan pelanggaran atas Anggaran Dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan Direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan Direksi yang merugikan perseroan yang dilakukannya di luar batas dan kewenangan yang diberikan kepadanya oleh Anggaran Dasar, dapat tidak diakui oleh perseroan. Dengan ini berarti Direksi bertanggungjawab secara pribadi atas setiap tindakannya di luar batas kewenangan yang diberikan dalam Anggarn Dasar perseroan.
Berdasar uraian di atas, menurut penulis secara formal PT lah yang seharusnya melunasi hutang tersebut, karena dengan status PT sebagai badan hukum, maka Direksi atau pemegang saham mempunyai tanggung jawab terbatas yaitu pada saham yang dimiliknya, tetapi bila kewajiban hutang itu terjadi karena kesalahan direktur, maka Direktur harus tetap bertanggung jawab secara pribadi dari harta kekayaannya sendiri.
Terkait dengan hal tersebut ada doktrin kata “Ultra vires” yang dapat dipahami sebagai berikut
”Perbuatan yang berada di luar kecakapan bertindak atau wewenang perseroan (tidak tercakup dalam maksud dan tujuan perseroan ) adalah ultra vires. Suatu transaksi ultra vires adalah tidak sah dan batal demi hukum. Penetapan doktrin ultra vires adalah amat luas, bukan saja yang dilarang oleh Undang-undang dan anggaran dasar, melainkan juga yang melampaui batas wewenangnya dan tidak dilarang. Tujuan utama dari doktrin ultra vires adalah untuk melindungi para investor atau pemegang saham.
Pada umumnya suatu perbuatan dikatakan ultra vires bila dilakukan tanpa wewenang (authority) untuk melakukan perbuatan tersebut. Bagi perseroan perbuatan tersebut adalah ultra vires bila dilakukan di luar / melampaui wewenang Direksi atau perseroan sebagaimana tercantum dalam anggaran dan hukum perusahaan. Suatu kontrak yang dibuat oleh perseroan dan melampaui batas wewenangnya adalah tidak sah (unlawfull). Ultra vires. An act performed without any authority to act on subject. Acts beyond the scope of the powers of a corporation, as defined by it’s charter or laws of state of incorporation.[4]
Doktrin ultra vires berdampak pada perikatan antara perseroan dan pihak ketiga, dimana transaksi yang dilakukan bersifat ultra vires.
Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.