Transaksi ekonomi dan bisnis tidak dapat terelakkan dari kegiatan suatu masyarakat termasuk dalam kegiatan masyarakat internasional, seiring dengan berkembangnya jaman, kegiatan di bidang ekonomi dan bisnispun mengalami perkembangan dan perubahan ke arah yang lebih mapan. Mulai banyak munculnya kerjasama-kerjasama dan sistem-sistem yang mengatur bidang ekonomi dan bisnis. Perkembangan ini, juga tidak terlepas dari peran serta para pelaku ekonomi dan bisnis dalam usahanya untuk meningkatkan perekonomian secara global.
Hukum bisnis lahir karena adanya istilah bisnis. Istilah bisnis sendiri diambil dari kata business (bahasa Inggris) yang berarti kegiatan usaha. Oleh karena itu, secara luas kegiatan bisnis Oleh karena itu, secara luas kegiatan bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan usaha (perusahaan) secara teratur dan terus-menerus yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian kegiatan atau usaha dalam bidang ini dapat dibedakan dalam tiga bidang berikut ini (Richard Burton Simatupang, 1996:1)
Dalam tatanan hukum bisnis di Indonesia, ada tiga jenis badan usaha yang ikut serta dalam kegitan bisnis. Tiga jenis badan usaha tersebut adalah Badan Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Koperasi.[1] Bentuk kegiatan usaha ekonomi yang saat ini paling banyak melakukan kegiatan usaha ekonomi dan bisnis adalah Perseroan Terbatas, yang terus mengalami perkembangan sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangan usaha ekonomi dan bisnis dalam bentuk Perseroan Terbatas tidak terlepas dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk memberikan kemudahan dan tanggung jawab pada perseroan terbatas sebagai badan hukum untuk lebih mudah dalam pendiriannya, bertanggung jawab terhadap bidang sosial dan berperan aktif dalam kemajuan di lingkungan usahanya.
Sehubungan dengan hal tersebut keberadaan pengaturan perseroan terbatas yang dahulunya di atur dalam Wetboek van Koophandel (WvK ) dan Burgelijk Wetboek (BW) diubah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan pada tanggal 7 Maret 1995 dan dinyatakan mulai berlaku satu tahun kemudian pada tanggal 7 Maret 1996. Dalam usianya yang baru 12 tahun, keberadaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dipandang perlu untuk diperbaharui dengan peraturan perundangan yang lebih aspiratif, lebih memenuhi rasa keadilan dan kebenaran yang mengabdi dalam kepentingan rakyat dan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan dan penyempurnaan ini juga bertujuan untuk lebih meningkatkan peran perseroan terbatas dalam pembangunan nasional dan sekaligusmemeberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan ekonomi dan bisnis dan kegiatan usaha lainnya dengan merespon secara positif terhadap perubahan dan perkembangan, kebutuhan hukum dan tuntutan masyarakat pada era globalisasai seperti sekarang ini. Dengan demikian, dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden pada tanggal 16 Agustus 2007 telah menetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Seiring dengan terjadinya perubahan sosial politik di Indonesia, juga telah dan sedang berlangsung perubahan di bidang sosial ekonomi dan bisnis, serta kegiatan usaha lainnya dengan diperkenalkannya sistem ekonomi dan perbankan bedasarkan prinsip syariah. Kegiatan ekonomi dan perbankan, bisnis dan usaha lainnya berdasarkan prinsip syariah telah dijalankan dan berkembang dalam masyarakat internasional dan juga oleh masyarakat Indonesia. Pembentuk undang-undang telah memberikan respon positif terhadap perkembangan ekonomi dan perbankan, bisnis dan kegiatan usaha lainnya itu dengan memasukkan pengaturannya ke dalam Pasal 109 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Sebelumnya pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Badan Peradilan Agama untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Pada tahun 2008 dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), dan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang di dalam Pasal 7 menyatakan bahwa bentuk badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas. Perseroan terbatas berasal dari sistem hukum Barat yang sekuler, sedangkan hukum perjanjian syariah bersumber dari hukum Islam yang tidak dapat terpisahkan dari ajaran agama Islam.
Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut akad dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[2] Akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.[3]
Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau akad. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di dalam Al Quran setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu kata akad (al-aqadu) yang berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd (al-ahdu) yang berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.[4]
Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).[5]
Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :[6]
- tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
- harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
- harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.
Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.
Perbandingan antara prinsip perjanjian dalam KUH Perdata (Hukum Barat) dengan prinsip perjanjian syariah (Hukum Islam) antara lain:
- Konsep Perikatan
Konsep perikatan dalam KUH Perdata ialah apabila dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk misalnya melakukan atau memberikan sesuatu bearti masing-masing orang atau pihak itu mengikatkan diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan. Dengan kata lain, antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul dari tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.[7] Perikatan lazimnya didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.
Konsep perikatan dalam hukum Islam digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan dan istilah akad untuk menyebut perjanjian. Para fukaha apabila berbicara tentang hubungan antara dua pihak atau lebih sering menggunakan ungkapan terisinya dzimmah dengan suatu hak atau suatu kewajiban. Dzimmah secara harfiah berarti tanggungan, sedangkan secara terminologis berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban. Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada orang tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmahnya berisi suatu hak atau suatu kewajiban. Artinya ada kewajiban baginya yang menjadi hak orang lain dan harus dilaksaanakannya untuk orang lain itu. Apabila ia telah melaksanakan kewajibannya yang menjadi hak orang lain tersebut dikatakan bahwa dzimmahnya telah kosong atau bebas.[8]
Dalam hukum Islam terdapat sebuah kaidah fikih (asas hukum Islam) yang berbunyi al-ashlu bara’atudz-dimmah[9] (asanya adalah bebasnya dzimmah). Maksudnya bahwa asas pokoknya adalah bahwa bagi seseorang tidak terdapat hak apa pun atas milik orang lain, atau pada asanya seseorang tidak memikul kewajiban apa pun terhadap orang lain sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya.[10] Dengan begitu kita dapat mengatakan bahwa seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain.
2. Sumber Perikatan
Sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu : perjanjian dan undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.[11] Undang-undang sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi undang-undang semata dan undang-undang dalam kaitannya dengan perbuatan orang.
Sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi lima macam yaitu:
- Akad (al-aqd);
- Kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah);
- Perbuatan merugikan (al-fil’l adh-dharr);
- Perbuatan bermanfaat (al-fi’l an-nafi’);
- Syarak
Penerapan Prinsip Perjanjian Syariah dalam Pendirian Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007.
Penerapan prinsip perjanjian syariah dalam pendirian perseroan terbatas dapat dilihat dari :
- Pendirian Perseroan Terbatas Berdasarkan Perjanjian.
Ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum persekutuan modal yang didirikan berdasarkan perjanjian. Dengan demikian perseroan terbatas adalah juga merupakan persekutuan perdata bagian dari matrieel privaatrecht yaitu suatu perjanjian yang dilakukan antara dua orang atau lebih yang masing-masing memasukkan inbreng dengan tujuan untuk membagi keuntungan yang diperoleh. Istilah “perjanjian” dalam hukum Islam adalah “al-aqdu” secara terminologi berarti pertalian antara ijab dan qobul sesuai dengan kehendak syariah. Kata “pertalian antara ijab dan qobul” menunjukkan aqad dilakukan oleh dua orang atau lebih. Kata “sesuai kehendak syariah” dimaksudkan bahwa seluruh perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih itu tidak dipandang sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syariah. Di sini menjadi jelas bahwa hukum perjanjian yang menjadi alas berdirinya perseroan terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah hukum perjanjian menurut KUHPerdata (BW), sedangkan hukum perjanjian yang menjadi alas berdirinya perseroan terbatas syariah adalah hukum perjanjian syariah. Oleh karena prinsip-prinsip umum hukum perjanjian menurut KUHPerdata (BW) sebagai termuat dalam Pasal 1320 adalah sama dengan hukum perjanjian syariah sebagaimana Pasal 28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, maka hukum perjanjian menurut KUHPerdata (BW) juga dapat berlaku atau diterapakan dalam pendirian perseroan terbatas syariah sepanjang tidak menyalahi atau bertentangan dengan ketentuan syariah.
Untuk menjamin dapat dipenuhinya ketentuan/prinsip syariah tersebut perseroan harus mempunyai Dewan Pengawas syariah sesuai ketentuan Pasal 109 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Selain itu untuk dapat berdirinya suatu perseroan terbatas perjanjian tersebut harus di buat dengan akta notaris, dalam bahasa Indonesia, mencantumkan perkataan PT atau PT Tbk untuk perseroan Terbatas Terbuka, disahkan oleh Menteri Hukun dan HAM, didaftarkan berdasar Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentangWajib daftar Perusahaan, diumumkan dalam Berita Negara, menyebutkan jumlah modal yang ditentukan undang-undang.
Sebagai konsekuensi bahwa perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, maka perseroan terbatas harus didirikan oleh dua orang atau lebih, atau dengan kata lain pendirian perseroan tidak boleh dilakukan oleh kurang dari dua orang (satu orang saja). Untuk menjaga prinsip ini Pasal 7 ayat (5 dan 6) mengharuskan bahwa setelah perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak keadaan tersebut pemegang saham wajib mengalihkan sebahagian sahamnya kepada orang lain atau perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain. Jika dalam jangka waktu 6 (enam) bulan tersebut telah terlampaui pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang, maka pemegang saham bertanggungjawab secara pribadi atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut. Dalam kalimat pada anak kalimat terahir “atas permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut, Pasal 49 Undang-udang Nomor 3 Tahun 2006 yang mengatur kompetensi absolut Pengadilan Agama. Pasal ini menentukan bagian dari tugas dan wewenang Pengadilan Agama adalah menyelasaikan sengketa ekonomi syariah, yaitu perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah, antara lain meliputi :
- bank syariah,
- lembaga keuangan mikro syariah,
- asuransi syariah,
- reasuransi syariah,
- reksadana syariah,
- obligasi syariah dan surat beharga berjangka menengah syariah,
- sekuritas syariah,
- pembiayaan syariah,
- pegadaian syariah,
- dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
- bisnis syariah.
Apabila ketentuan pasal ini dihubungkan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya dan Pasal 7yang menyatakan bahwa bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas, serta ketentuan Pasal 55 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama, maka menjadi jelas kewengan yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (6) adalah menjadi kewenangan badan Peradilan Agama, bukan menjadi kewengan Pengadilan Negeri. Dengan berpegang pada asas lex posteriori derogate lex periori, aturan hukum yang baru menggantikan aturan hukum yang lama, karena kelahiran Undang-undang Perbankan Syariah lebih kemudian dari pada Undang-undang Perseroan terbatas, sehingga Pasal 7 ayat (6) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 itu harus dibaca sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Perbankan Syariah sehingga menjadi: “…, dan atas permohonan pihak yang berkepentingan Pengadilan Agama dapat membubarkan perseroan terbatas syariah tersebut”. Khususnya Pasal 1 angka 1 mengenai ketentuan kelembagaan Perbankan Syariah, jika dihubungkan dengan Pasal 7 yang menyatakan bentuk badan hukum Perbangkan Syaraiah adalah perseroan terbatas, padahal mengenai kelembagaan Perbangkan Syariah, artinya pendirian Bank Syariah yang dilakukan dengan perjanjian syariah belum masuk dalam pengaturan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-undang Perseroan Terbatas ini baru hanya mengatur tentang bank melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah sesuai ketentuan Pasal 109, hal ini disebabkan oleh karena pada waktu diundangkannya undang-undang Perseroan Terbatas ini, undang-undang tentang Perbankkan Syariah belum lahir, untuk itu di masa yang akan datang undang-undang yang mengatur tentang perseroan terbatas yaitu Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dipandang perlu untuk disempurnakan agar dapat menampung tentang pengaturan kelembagaan Perbangkan Syariah sebagaimana diatur oleh Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbangkan Syariah.
2. Anggaran Dasar dan Badan Hukum Perseroan.
Oleh karena perjanjian untuk mendirikan perseroan terbatas itu di buat dihadapan notaris, maka bentuknya adalah akta otentik. Akta otentik mengenai pendirian perseroan ini memuat anggaran dasar perseroan secara keseluruhan dan keterangan lain yang diperlukan antara lain : identitas para pendiri, identitas para direksi (pengurus), identitas komisaris (pengawas), dan identitas pengawas syariah bagi perseroan terbatas syariah.-, serta keterangan mengenai para pemegang saham. Selain itu anggaran dasar perseroan juga memuat: nama dan tempat kedudukan perseroan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, jangka waktu berdirinya, besarnya jumlah modal dasar, jumlah saham, susunan dan nama anggota direksi dan komisaris, dan ketentuan lain sesuai peraturan perundangan.
Anggaran dasar perseroan merupakan perjanjian yang dibuat para pendiri merupakan aturan yang mengikat para pihak dan juga pihak ketiga yang berhubungan dengan perseroan dan untuk itu harus dipatuhi. Dalam kaitan ini dalam terminology hukum Islam dikenal azas : al-muslimuna ala syuruutihim, maksudnya adalah bahwa orang muslim itu terikat untuk mentaati perjanjian yang telah dibuat baik perjanjian itu antara sesama muslim atau antara orang muslim dengan bukan muslim.
Mengenai badan hukum perseroan terbatas seperti pendapat Abdul Manan,[12] bahwa hukum Islam tidak mengatur secara khusus dalam sistem hukum ekonomi Islam, tetapi ada beberapa dalil hukum yang membolehkan membentuk badan hukum yang disebut dengan “al-syirkah”. Nabi tidak pernah melarang kerjasama dalam bentuk syirkah itu asalkan dapat mendatangkan kemaslahatan dan kemakmuran bagi seluruh masyarakat. Pembentukan badan hukum itu merupakan salah satu bentuk kerjasama untuk mengembangkan usaha dan harta dalam mencari kehidupan di dunia. Dalam kaitan ini Nabi bersabda : „antum a‟lamu biumuri dunyaakum” (kamu lebih mengetahui dengan urusan duniamu).
Didalam ilmu ushul fiqh dikenal azas : “al-ashlu fil muamalaati al-ibaahah hatta yadullu al-daliilu „alattahrimi” maksudnya : pada azasnya dalam persoalan yang berkaitan dengan muamalat hukumnya adalah boleh, sampai ada dalil yang menyatakan hal itu dilarang[13]
Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI dinyatakan bahwa al-syirkah adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan atau kepercayaan dalam usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati oleh pihak-pihak yang berserikat.[14] Atas dasar pengertian tersebut al-syirkah dibagi menjadi syirkah amwal, syirkah abdan dan syirkah wujuh.[15]
Pasal 136 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa syirkah amwal dapat berupa kerjasama antara dua pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak sama dan keuntungan atau kerugian dibagi sama atau atas dasar proporsi modal, dan dapat pula dilakukan kerjasama antara dua pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama dan keuntungan dan kerugian dibagi sama. Dalam syirkah amwal setiap anggota syirkah harus menyertakan modal berupa uang tunai atau barang berharga. Jika barang berharga atau kekayaan lain dari anggota dijadikan sebagai modal syirkah, maka barang berharga atau kekayaan tersebut harus dijual atau ditentukan dinilainya terlebih dahulu sebelum melakukan akad kerjasama. Dengan demikian perseroan terbatas yang merupakan persekutuan modal adalah sama dengan al-syikar amwal ini. Dalam Pasal 139 ayat (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa syirkah abdan dapat berupa kerjasama dilakukan antara pemilik modal dengan pihak yang mempunyai keterampilan untuk menjalankan usaha. Sedangkan syirkah wujuh yaitu kerjasama yang dilakukan antara pemilik benda dengan pihak pedagang karena saling mempercayai.
KESIMPULAN
Hukum perjanjian menurut KUH Perdata pada umumnya sama dengan hukum perjanjian syariah, oleh kerenanya dapat diterapkan dalam pendirian perseroan terbatas syariah sepanjang tidak menyalahi atau bertentangan dengan prinsip syariah. Kekuatan mengikat hukum perjanjian syariah berlaku sama tehadap perjanjian yang dibuat antar sesama muslim maupun antara seoarang muslim dengan bukan muslim berdasarkan asas “almuslimuuna ala syurutihim”. Tatacara pendirian, anggaran dasar, organ dan badan hukum perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 dapat diterapkan dalam pendirian perseroan terbatas syariah berdasarkan asas hukum:”antum a`lamu biumuuri dunyaakum” dan asas “ al-ashlu fil muamalati al-ibaahah hatta yadullu al-daliilu alaa al-tahriimi”. Perseroan Terbatas sebagai persekutuan modal menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah sama dengan perjanjian (akad )Syirkah Amwaal dalam Hukum Ekonomi Syariah. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam Pasal 109 hanya mengatur tentang penerapan prinsip syaraiah bagi perseroan terbatas yang melaksanakan usahanya berdasarkan prinsip syariah, belum mengatur tentang kelembagaan perseroan terbatas syariah sebagaimana ketenuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, oleh karena itu untuk masa yang akan datang undang-undang perseroan terbatas perlu disempurnakan dengan memasukkan 109 pengaturan tentang kelembagaan perseroan terbatas syariah sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.
Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.
[1] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 33
[2] Ahmad Abu Al-Fath, Kitab al-Muamalat fi asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah (Mesir: Matba’ah al-Busfir, 1913), I: 139
[3] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo, Jakarta, 2007, hlm. 68
[4] Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi : Guide Line untuk Membeli Polis Asuransi yang Tepat dari Perusahaan Asuransi yang Benar, BPFE, Yogjakarta, 1995, hlm. 19
[5] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 206
[6] Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Yogjakarta, hal. 24
[7] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo, bandung, 2007, hlm. 43-44
[8] Ibid, hlm. 48
[9] As-Sanhuri, Mashadir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islami, Dirasah Muqaranah bi al-Fiqh al-Garbi(Ttp.: Dar al-Hana li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1958), I : 9-10.
[10] As-Sayuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-“Ilmiyah, 1403H), hlm. 53
[11] Subekti, Hukum Perikatan, Intermasa, 1979, hlm.1
[12] Abdul Manan,Hukum Kontrak dalam Sistem Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung RI hal 18-19.,
[13] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta, Kencana 2003, hal. 14. 107
[14] Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Ri, Jakarta, 2008, hal.8.
[15] Ibid, hlm. 35