Penerapan Prinsip Perjanjian Syariah dalam Pendirian Perseroan Terbatas Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007


       Transaksi  ekonomi  dan  bisnis tidak dapat terelakkan dari kegiatan suatu masyarakat termasuk dalam kegiatan masyarakat  internasional, seiring dengan berkembangnya jaman, kegiatan di bidang ekonomi dan bisnispun mengalami perkembangan dan perubahan ke arah yang lebih mapan. Mulai banyak munculnya kerjasama-kerjasama dan sistem-sistem yang mengatur bidang ekonomi dan bisnis.  Perkembangan  ini,  juga  tidak  terlepas  dari  peran  serta  para  pelaku ekonomi  dan  bisnis  dalam  usahanya  untuk meningkatkan  perekonomian  secara global.

       Hukum bisnis lahir karena adanya istilah bisnis. Istilah bisnis sendiri diambil dari kata business (bahasa Inggris) yang berarti kegiatan usaha. Oleh karena itu, secara luas kegiatan bisnis  Oleh karena itu, secara luas kegiatan bisnis diartikan sebagai kegiatan usaha yang dijalankan oleh orang atau badan usaha (perusahaan) secara teratur dan terus-menerus yaitu berupa kegiatan mengadakan barang-barang atau jasa maupun fasilitas-fasilitas untuk diperjualbelikan, atau disewakan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian kegiatan atau usaha dalam bidang ini dapat dibedakan dalam tiga bidang berikut ini (Richard Burton Simatupang, 1996:1)

        Dalam tatanan hukum bisnis di Indonesia, ada tiga jenis badan usaha yang ikut serta dalam kegitan bisnis. Tiga jenis badan usaha tersebut adalah Badan Usaha Swasta, Badan Usaha Milik Negara, dan Koperasi.[1] Bentuk kegiatan usaha ekonomi yang saat  ini  paling banyak melakukan kegiatan  usaha  ekonomi  dan  bisnis  adalah    Perseroan  Terbatas,  yang  terus mengalami  perkembangan    sejalan  dengan  pertumbuhan  dan  perkembangan ekonomi  di  Indonesia.  Pertumbuhan  dan  perkembangan    usaha  ekonomi  dan bisnis  dalam  bentuk  Perseroan  Terbatas  tidak  terlepas  dari  regulasi  yang dikeluarkan pemerintah untuk memberikan kemudahan dan tanggung jawab pada perseroan  terbatas sebagai badan hukum untuk  lebih mudah dalam pendiriannya,  bertanggung  jawab  terhadap bidang sosial dan berperan aktif dalam kemajuan di lingkungan usahanya.

       Sehubungan dengan hal tersebut keberadaan pengaturan perseroan terbatas yang dahulunya di atur dalam   Wetboek van Koophandel (WvK ) dan   Burgelijk  Wetboek  (BW) diubah dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas yang diundangkan pada  tanggal 7 Maret 1995 dan dinyatakan mulai berlaku  satu  tahun kemudian pada  tanggal 7 Maret 1996. Dalam usianya yang baru 12 tahun, keberadaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tersebut dipandang perlu untuk diperbaharui dengan peraturan perundangan yang lebih  aspiratif,  lebih  memenuhi  rasa  keadilan  dan  kebenaran  yang mengabdi dalam kepentingan rakyat dan bangsa dalam bingkai Negara Kesatuan Republik  Indonesia.  Perubahan  dan  penyempurnaan  ini  juga  bertujuan  untuk lebih meningkatkan  peran  perseroan  terbatas  dalam  pembangunan  nasional  dan sekaligusmemeberikan  landasan  yang  kokoh  bagi  dunia  usaha  dalam  menghadapi  perkembangan    ekonomi  dan  bisnis  dan  kegiatan  usaha  lainnya dengan merespon secara positif terhadap perubahan dan perkembangan, kebutuhan hukum  dan  tuntutan  masyarakat    pada  era  globalisasai  seperti  sekarang  ini. Dengan  demikian,  dengan  persetujuan  bersama Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan Presiden  pada  tanggal  16  Agustus  2007  telah  menetapkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

       Seiring dengan terjadinya perubahan sosial politik di Indonesia, juga telah dan sedang   berlangsung   perubahan   di bidang sosial ekonomi dan bisnis, serta kegiatan usaha lainnya dengan diperkenalkannya sistem ekonomi dan perbankan bedasarkan   prinsip   syariah. Kegiatan ekonomi dan perbankan, bisnis dan usaha lainnya  berdasarkan  prinsip  syariah  telah  dijalankan  dan  berkembang  dalam masyarakat  internasional  dan  juga  oleh  masyarakat  Indonesia.  Pembentuk undang-undang telah  memberikan  respon  positif  terhadap  perkembangan ekonomi  dan  perbankan,  bisnis  dan  kegiatan  usaha  lainnya  itu  dengan memasukkan  pengaturannya  ke  dalam  Pasal  109  Undang-undang  Nomor  40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

       Sebelumnya  pada  tahun  2006  pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006  tentang Perubahan atas   Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989  tentang  Peradilan  Agama  yang memberikan  kewenangan    kepada  Badan Peradilan Agama    untuk menyelesaikan  sengketa  ekonomi  syariah.  Pada  tahun 2008 dikeluarkan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Nasional  (SBSN),  dan Undang-undang Nomor  21  Tahun  2008  tentang Perbankan  Syariah    yang  di  dalam  Pasal  7  menyatakan  bahwa  bentuk  badan hukum Bank Syariah adalah Perseroan Terbatas. Perseroan  terbatas  berasal  dari  sistem  hukum  Barat  yang  sekuler, sedangkan  hukum  perjanjian  syariah  bersumber  dari  hukum  Islam  yang  tidak dapat  terpisahkan  dari  ajaran  agama  Islam.

       Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut akad dalam hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-aqd, yang berarti mengikat, menyambung atau menghubungkan (ar-rabt).[2] Akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan  kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.[3]

       Perjanjian dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah mu’ahadah ittifa’ atau akad. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya, dan di dalam Al Quran setidaknya ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian yaitu kata akad (al-aqadu) yang berarti perikatan atau perjanjian, dan kata ‘ahd (al-ahdu) yang berarti masa, pesan, penyempurnaan dan janji atau perjanjian.[4]

       Akad merupakan perjanjian antara kedua belah pihak yang bertujuan untuk saling mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal, yang diwujudkan dalam ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan) yang menunjukkan adanya kerelaan secara timbal balik antara kedua belah pihak dan harus sesuai dengan kehendak syariat. Ini berarti Hukum Perikatan Islam pada prinsipnya juga menganut asas kebebasan berkontrak yang dituangkan dalam antaradhin sebagaimana diatur dalam QS. An-Nissa ayat 29 dan Hadits Nabi Muhammad SAW, yaitu suatu perikatan atau perjanjian akan sah dan mengikat para pihak apabila ada kesepakatan (antaradhin) yang terwujud dalam dua pilar yaitu ijab (penawaran) dan qabul (penerimaan).[5]

       Syarat sahnya perjanjian secara syariah adalah sebagai berikut :[6]

  1. tidak menyalahi hukum syariah yang disepakati adanya, syarat ini mengandung pengertian setiap orang pada prinsipnya bebas membuat perjanjian tetapi kebebasan itu ada batasannya yaitu tidak boleh bertentangan dengan syariah Islam baik yang terdapat dalam Alquran maupun Hadist. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka akan mempunyai konsekuensi yuridis perjanjian yang dibuat batal demi hukum. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kausa halal.
  2. harus sama ridha dan ada pilihan, syarat ini mengandung pengertian perjanjian harus didasari pada kesepakatan para pihak secara bebas dan sukarela, tidak boleh mengandung unsur paksaan, kekhilafan maupun penipuan. Apabila syarat ini tidak terpenuhi dan belum dilakukan tindakan pembatalan maka perjanjian yang dibuat tetap dianggap sah. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan kesepakatan (konsensualisme).
  3. harus jelas dan gamblang, sebuah perjanjian harus jelas apa yang menjadi obyeknya, hak dan kewajiban para pihak yang terlibat dalam perjanjian. Apabila syarat ini tidak terpenuhi maka perjanjian yang dibuat oleh para pihak batal demi hukum sebagai konsekuensi yuridisnya. Syarat sahnya perjanjian ini menurut Hukum Perdata mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata disebut dengan adanya obyek tertentu.

       Apabila salah satu syarat tidak dapat terpenuhi mempunyai konsekuensi yuridis terhadap perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, sedangkan bagi perjanjian yang sah akan mengikat bagi para pihak sebagai undang-undang dan para pihak wajib melaksanakan perjanjian secara sukarela dengan itikad baik serta tidak bisa memutuskan perjanjian tersebut secara sepihak. Apabila salah satu pihak mengabaikan perjanjian maka akan mendapat sanksi dari Allah di akhirat nanti.

       Perbandingan antara prinsip perjanjian dalam KUH Perdata (Hukum Barat) dengan prinsip perjanjian syariah (Hukum Islam) antara lain:

  1. Konsep Perikatan

       Konsep perikatan dalam KUH Perdata ialah apabila dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk misalnya melakukan atau memberikan sesuatu bearti masing-masing orang atau pihak itu mengikatkan diri kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka perjanjikan. Dengan kata lain, antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul dari tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.[7] Perikatan lazimnya didefinisikan sebagai hubungan hukum menyangkut harta kekayaan antara dua pihak berdasarkan mana salah satu pihak dapat menuntut kepada pihak lain untuk memberikan, melakukan, atau tidak melakukan sesuatu.

       Konsep perikatan dalam hukum Islam digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan dan istilah akad untuk menyebut perjanjian. Para fukaha apabila berbicara tentang hubungan antara dua pihak atau lebih sering menggunakan ungkapan terisinya dzimmah dengan suatu hak atau suatu kewajiban. Dzimmah secara harfiah berarti tanggungan, sedangkan secara terminologis berarti suatu wadah dalam diri setiap orang tempat menampung hak dan kewajiban. Apabila pada seseorang terdapat hak orang lain yang wajib ditunaikannya kepada orang tersebut, maka dikatakan bahwa dzimmahnya berisi suatu hak atau suatu kewajiban. Artinya ada kewajiban baginya yang menjadi hak orang lain dan harus dilaksaanakannya untuk orang lain itu. Apabila ia telah melaksanakan kewajibannya yang menjadi hak orang lain tersebut dikatakan bahwa dzimmahnya telah kosong atau bebas.[8]

       Dalam hukum Islam terdapat sebuah kaidah fikih (asas hukum Islam) yang berbunyi al-ashlu bara’atudz-dimmah[9] (asanya adalah bebasnya dzimmah). Maksudnya bahwa asas pokoknya adalah bahwa bagi seseorang tidak terdapat hak apa pun atas milik orang lain, atau pada asanya seseorang tidak memikul kewajiban apa pun terhadap orang lain sampai ada bukti yang menyatakan sebaliknya.[10] Dengan begitu kita dapat mengatakan bahwa seseorang atau suatu pihak dengan suatu hak yang wajib ditunaikannya kepada orang atau pihak lain.

2. Sumber Perikatan

        Sumber perikatan dalam hukum Indonesia ada dua, yaitu : perjanjian dan undang-undang. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan (perjanjian), maupun karena undang-undang.” Perjanjian adalah sumber perikatan paling penting.[11] Undang-undang sebagai sumber perikatan dibedakan lagi menjadi undang-undang semata dan undang-undang dalam kaitannya dengan perbuatan orang.

       Sumber perikatan dalam hukum Islam meliputi lima macam yaitu:

  1. Akad (al-aqd);
  2. Kehendak sepihak (al-iradah al-munfaridah);
  3. Perbuatan merugikan (al-fil’l adh-dharr);
  4. Perbuatan bermanfaat (al-fi’l an-nafi’);
  5. Syarak

 

Penerapan Prinsip  Perjanjian  Syariah  dalam  Pendirian  Perseroan Terbatas Menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007.

       Penerapan prinsip perjanjian syariah dalam pendirian perseroan terbatas dapat dilihat dari :

  1. Pendirian Perseroan Terbatas Berdasarkan Perjanjian.

       Ketentuan  Pasal  1  Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  bahwa perseroan  terbatas  adalah  badan  hukum  persekutuan modal  yang  didirikan berdasarkan  perjanjian.  Dengan  demikian  perseroan  terbatas  adalah  juga merupakan persekutuan perdata bagian dari matrieel privaatrecht yaitu suatu perjanjian yang dilakukan antara dua orang atau  lebih yang masing-masing memasukkan  inbreng  dengan  tujuan  untuk  membagi  keuntungan  yang diperoleh. Istilah   “perjanjian” dalam hukum  Islam adalah “al-aqdu” secara terminologi berarti pertalian antara ijab dan qobul sesuai  dengan kehendak syariah. Kata “pertalian antara ijab dan qobul” menunjukkan aqad dilakukan oleh  dua  orang  atau  lebih.  Kata  “sesuai  kehendak  syariah”  dimaksudkan bahwa seluruh perjanjian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih itu tidak dipandang  sah  apabila  tidak  sejalan  dengan  kehendak  syariah.  Di  sini menjadi  jelas  bahwa  hukum  perjanjian  yang  menjadi  alas  berdirinya perseroan  terbatas menurut Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah hukum perjanjian menurut KUHPerdata (BW), sedangkan hukum perjanjian yang  menjadi  alas  berdirinya  perseroan  terbatas  syariah  adalah  hukum perjanjian  syariah.  Oleh  karena  prinsip-prinsip  umum  hukum  perjanjian menurut KUHPerdata (BW) sebagai termuat dalam Pasal 1320 adalah sama dengan hukum perjanjian syariah sebagaimana Pasal 28 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, maka hukum perjanjian menurut KUHPerdata (BW) juga dapat berlaku atau diterapakan dalam pendirian perseroan  terbatas syariah sepanjang  tidak  menyalahi  atau  bertentangan  dengan  ketentuan  syariah.

       Untuk  menjamin  dapat  dipenuhinya  ketentuan/prinsip  syariah  tersebut  perseroan  harus  mempunyai  Dewan  Pengawas  syariah  sesuai  ketentuan Pasal 109 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Selain  itu untuk dapat berdirinya  suatu perseroan  terbatas perjanjian tersebut  harus  di  buat  dengan  akta  notaris,  dalam  bahasa  Indonesia, mencantumkan  perkataan  PT  atau  PT  Tbk  untuk  perseroan  Terbatas Terbuka,  disahkan  oleh  Menteri  Hukun  dan  HAM,  didaftarkan  berdasar Undang-undang  Nomor  3  Tahun  1982  tentangWajib  daftar  Perusahaan, diumumkan  dalam  Berita  Negara,  menyebutkan  jumlah  modal  yang ditentukan undang-undang.

       Sebagai  konsekuensi  bahwa  perseroan  didirikan  berdasarkan perjanjian,  maka  perseroan  terbatas  harus  didirikan  oleh  dua  orang  atau lebih, atau dengan kata lain pendirian perseroan  tidak boleh dilakukan oleh kurang dari dua orang (satu orang saja). Untuk menjaga prinsip  ini Pasal 7 ayat  (5  dan  6) mengharuskan  bahwa  setelah  perseroan memperoleh  status badan hukum dan pemegang saham kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu  6  (enam)  bulan  sejak  keadaan  tersebut  pemegang  saham  wajib mengalihkan  sebahagian  sahamnya  kepada  orang  lain  atau  perseroan mengeluarkan  saham  baru  kepada  orang  lain.  Jika  dalam  jangka waktu  6 (enam) bulan tersebut telah terlampaui pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua)  orang, maka  pemegang  saham  bertanggungjawab  secara  pribadi  atas segala perikatan dan kerugian perseroan, dan  atas permohonan pihak  yang berkepentingan, Pengadilan Negeri dapat membubarkan perseroan tersebut. Dalam kalimat pada anak kalimat terahir  “atas permohonan  pihak  yang  berkepentingan  Pengadilan  Negeri  dapat membubarkan  perseroan  tersebut, Pasal 49 Undang-udang Nomor  3  Tahun  2006 yang mengatur  kompetensi  absolut Pengadilan Agama. Pasal  ini menentukan bagian dari  tugas dan wewenang Pengadilan Agama  adalah menyelasaikan  sengketa  ekonomi  syariah,  yaitu perbuatan  atau  kegiatan  usaha  yang  dilaksanakan menurut  prinsip  syariah, antara lain meliputi :

  1. bank syariah,
  2. lembaga keuangan mikro syariah,
  3. asuransi syariah,
  4. reasuransi syariah,
  5. reksadana syariah,
  6. obligasi syariah dan surat beharga berjangka menengah syariah,
  7. sekuritas syariah,
  8. pembiayaan syariah,
  9. pegadaian syariah,
  10. dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan
  11. bisnis syariah.

Apabila  ketentuan  pasal  ini  dihubungkan  dengan    Pasal  1  angka  1 Undang-undang Nomor  21 Tahun  2008 Tentang   Perbankan Syariah  yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan perbankan syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan,  kegiatan  usaha,  serta  cara  dan  proses  dalam  melaksanakan kegiatan  usahanya  dan  Pasal  7yang  menyatakan    bahwa  bentuk  badan hukum Bank  Syariah  adalah  perseroan  terbatas,  serta  ketentuan    Pasal  55 ayat (1) yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan  oleh  pengadilan  dalam  lingkungan  Peradilan  Agama,  maka menjadi  jelas  kewengan  yang  disebutkan  dalam  Pasal  7  ayat    (6)  adalah menjadi  kewenangan  badan  Peradilan  Agama,  bukan  menjadi  kewengan Pengadilan Negeri. Dengan berpegang pada asas lex posteriori derogate lex  periori,  aturan  hukum  yang  baru menggantikan  aturan  hukum  yang  lama, karena  kelahiran  Undang-undang  Perbankan  Syariah  lebih  kemudian  dari pada Undang-undang Perseroan terbatas, sehingga Pasal 7 ayat (6) Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  itu  harus  dibaca  sesuai  Pasal  5  ayat  (1) Undang-undang  Perbankan  Syariah  sehingga  menjadi:  “…,  dan  atas permohonan  pihak  yang  berkepentingan  Pengadilan  Agama  dapat membubarkan  perseroan  terbatas  syariah  tersebut”.  Khususnya  Pasal  1 angka  1  mengenai  ketentuan  kelembagaan  Perbankan  Syariah,  jika dihubungkan  dengan  Pasal  7  yang  menyatakan  bentuk  badan  hukum Perbangkan  Syaraiah  adalah  perseroan  terbatas,  padahal  mengenai kelembagaan  Perbangkan  Syariah,  artinya  pendirian  Bank  Syariah  yang dilakukan  dengan  perjanjian  syariah  belum  masuk  dalam  pengaturan Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  tentang  Perseroan  Terbatas, Undang-undang Perseroan Terbatas  ini  baru  hanya mengatur  tentang  bank melakukan kegiatan berdasarkan prinsip syariah sesuai ketentuan Pasal 109, hal ini disebabkan oleh karena pada waktu diundangkannya undang-undang Perseroan Terbatas  ini,  undang-undang  tentang Perbankkan Syariah belum lahir,  untuk  itu  di masa  yang  akan  datang  undang-undang  yang mengatur tentang  perseroan  terbatas  yaitu  Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007 dipandang  perlu  untuk  disempurnakan  agar  dapat  menampung  tentang pengaturan kelembagaan Perbangkan Syariah  sebagaimana diatur oleh Pasal 1 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbangkan Syariah.

2. Anggaran Dasar dan Badan Hukum Perseroan.

       Oleh karena perjanjian untuk mendirikan perseroan terbatas itu di buat dihadapan  notaris,  maka  bentuknya  adalah  akta  otentik.  Akta  otentik mengenai pendirian perseroan  ini memuat anggaran dasar perseroan  secara keseluruhan dan keterangan lain yang diperlukan antara lain : identitas para pendiri,  identitas  para  direksi  (pengurus),  identitas  komisaris  (pengawas), dan  identitas  pengawas  syariah  bagi  perseroan  terbatas  syariah.-,  serta keterangan  mengenai  para  pemegang  saham.  Selain  itu  anggaran  dasar perseroan  juga  memuat:  nama  dan  tempat  kedudukan  perseroan,  maksud dan  tujuan  serta kegiatan usaha,  jangka waktu berdirinya, besarnya  jumlah modal  dasar,  jumlah  saham,  susunan  dan  nama  anggota  direksi  dan komisaris, dan ketentuan lain sesuai peraturan perundangan.

       Anggaran  dasar  perseroan  merupakan  perjanjian  yang  dibuat  para pendiri merupakan aturan yang mengikat para pihak dan  juga pihak ketiga yang  berhubungan  dengan  perseroan  dan  untuk  itu  harus  dipatuhi. Dalam kaitan  ini dalam  terminology hukum Islam dikenal azas  : al-muslimuna ala syuruutihim,  maksudnya  adalah  bahwa  orang  muslim  itu  terikat  untuk mentaati  perjanjian  yang  telah  dibuat  baik  perjanjian  itu  antara  sesama muslim atau antara orang muslim dengan bukan muslim.

        Mengenai  badan  hukum  perseroan  terbatas  seperti  pendapat Abdul Manan,[12] bahwa  hukum  Islam  tidak mengatur  secara  khusus  dalam  sistem hukum ekonomi Islam, tetapi ada beberapa dalil hukum yang membolehkan membentuk  badan  hukum  yang  disebut  dengan  “al-syirkah”.  Nabi  tidak pernah  melarang  kerjasama  dalam  bentuk  syirkah  itu  asalkan  dapat mendatangkan  kemaslahatan  dan  kemakmuran  bagi  seluruh  masyarakat. Pembentukan  badan  hukum  itu  merupakan  salah  satu  bentuk  kerjasama untuk mengembangkan usaha dan harta dalam mencari kehidupan di dunia. Dalam  kaitan  ini  Nabi  bersabda  :  „antum  a‟lamu  biumuri  dunyaakum” (kamu  lebih mengetahui dengan urusan duniamu).

        Didalam  ilmu ushul fiqh dikenal  azas  : “al-ashlu  fil muamalaati al-ibaahah hatta yadullu al-daliilu „alattahrimi”  maksudnya  :  pada  azasnya  dalam  persoalan  yang  berkaitan dengan  muamalat  hukumnya  adalah  boleh,  sampai  ada  dalil  yang menyatakan hal itu dilarang[13]

       Dalam Kompilasi Hukum  Ekonomi  Syariah yang  dikeluarkan  oleh Mahkamah Agung RI dinyatakan bahwa al-syirkah adalah kerjasama antar dua orang atau lebih dalam hal permodalan, keterampilan atau kepercayaan dalam  usaha  tertentu  dengan  pembagian  keuntungan  berdasarkan  nisbah yang  disepakati  oleh  pihak-pihak  yang  berserikat.[14]  Atas  dasar  pengertian tersebut    al-syirkah  dibagi  menjadi  syirkah  amwal,  syirkah  abdan  dan syirkah wujuh.[15]

        Pasal 136 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa  syirkah  amwal  dapat  berupa  kerjasama  antara  dua  pemilik  modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang tidak sama  dan  keuntungan  atau  kerugian  dibagi  sama  atau  atas  dasar  proporsi modal, dan dapat pula dilakukan kerjasama antara dua pemilik modal atau lebih untuk melakukan usaha bersama dengan jumlah modal yang sama  dan keuntungan dan kerugian dibagi sama.  Dalam  syirkah  amwal  setiap  anggota  syirkah  harus  menyertakan modal  berupa  uang  tunai  atau  barang  berharga.  Jika  barang  berharga  atau kekayaan  lain  dari  anggota  dijadikan  sebagai modal  syirkah, maka  barang berharga  atau  kekayaan  tersebut  harus  dijual  atau  ditentukan  dinilainya terlebih  dahulu  sebelum  melakukan  akad  kerjasama.  Dengan  demikian perseroan terbatas yang merupakan persekutuan modal adalah sama dengan al-syikar amwal  ini. Dalam Pasal 139 ayat  (1) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dinyatakan bahwa syirkah abdan dapat berupa kerjasama dilakukan antara  pemilik modal  dengan  pihak  yang mempunyai  keterampilan  untuk menjalankan  usaha.  Sedangkan  syirkah  wujuh  yaitu  kerjasama yang dilakukan  antara pemilik benda dengan pihak pedagang karena  saling mempercayai.

KESIMPULAN

Hukum perjanjian menurut KUH Perdata pada umumnya  sama dengan hukum perjanjian syariah, oleh kerenanya dapat diterapkan dalam pendirian perseroan terbatas  syariah  sepanjang  tidak menyalahi  atau  bertentangan  dengan  prinsip syariah. Kekuatan mengikat hukum perjanjian syariah berlaku sama tehadap perjanjian yang  dibuat  antar  sesama  muslim  maupun  antara  seoarang  muslim  dengan bukan muslim berdasarkan asas “almuslimuuna ala syurutihim”. Tatacara pendirian, anggaran dasar, organ dan badan hukum perseroan terbatas sebagaimana  diatur  dalam  Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  dapat diterapkan  dalam  pendirian  perseroan  terbatas  syariah  berdasarkan  asas hukum:”antum  a`lamu  biumuuri  dunyaakum”  dan  asas  “  al-ashlu  fil muamalati al-ibaahah hatta yadullu al-daliilu alaa al-tahriimi”. Perseroan  Terbatas  sebagai  persekutuan  modal  menurut  Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 adalah sama dengan perjanjian (akad )Syirkah Amwaal dalam Hukum Ekonomi Syariah.  Undang-undang  Nomor  40  Tahun  2007  tentang  Perseroan  Terbatas  dalam Pasal 109 hanya mengatur  tentang penerapan prinsip  syaraiah bagi perseroan terbatas  yang  melaksanakan  usahanya  berdasarkan  prinsip  syariah,  belum mengatur  tentang  kelembagaan  perseroan  terbatas  syariah  sebagaimana ketenuan  Pasal  1  angka  1  Undang-undang  Nomor  21  Tahun  2008  tentang Perbankan  Syariah,  oleh  karena  itu  untuk  masa  yang  akan  datang  undang-undang  perseroan  terbatas  perlu  disempurnakan  dengan  memasukkan 109 pengaturan  tentang  kelembagaan  perseroan  terbatas  syariah  sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah.

Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.


[1] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis Prinsip dan Pelaksanaannya di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 33

[2] Ahmad Abu Al-Fath, Kitab al-Muamalat fi asy-Syari’ah al-Islamiyah wa al-Qawanin al-Mishriyyah (Mesir: Matba’ah al-Busfir, 1913), I: 139

[3] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo, Jakarta, 2007, hlm. 68

[4] Agus Prawoto, Hukum Asuransi dan Kesehatan Perusahaan Asuransi : Guide Line untuk Membeli Polis Asuransi yang Tepat dari Perusahaan Asuransi yang Benar, BPFE, Yogjakarta, 1995, hlm. 19

[5] Gemala Dewi, Aspek-aspek Hukum dalam Perbankan dan Perasuransian Syariah di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2006, hlm. 206

[6] Abdul Ghofur Anshori, 2006, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Islam di Indonesia, Citra Media, Yogjakarta, hal. 24

[7] Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Raja Grafindo, bandung, 2007, hlm. 43-44

[8] Ibid, hlm. 48

[9] As-Sanhuri, Mashadir al-Haqq fi al-Fiqh al-Islami, Dirasah Muqaranah bi al-Fiqh al-Garbi(Ttp.: Dar al-Hana li ath-Thiba’ah wa an-Nasyr, 1958), I : 9-10.

[10] As-Sayuthi, al-Asybah wa an-Nazha’ir (Beirut: Dar al-Kutub al-“Ilmiyah, 1403H), hlm. 53

[11] Subekti, Hukum Perikatan, Intermasa, 1979, hlm.1

[12] Abdul Manan,Hukum Kontrak dalam Sistem Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung RI hal 18-19.,

[13] Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta, Kencana 2003, hal. 14. 107

[14] Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Ri, Jakarta, 2008, hal.8.

[15] Ibid, hlm. 35

Categories: Pemikiran Penulis | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: