Pentingnya pajak sebagai fondasi kekuatan ekonomi dan kinerja sistem pemerintahan negara bahwa di beberapa negera berkembang pajak menempati posisi terpenting sebagai stabilisator kekuatan ekonomi dan kinerja sistem pemerintahan negara. Pajak menempati posisi terpenting di sebagian besar negara berkembang karena pajak merupakan sumber utama penerimaan negara. Tanpa pajak, sebagian besar kegiatan negara sulit untuk dapat dilaksanakan. Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Uang pajak juga digunakan untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan masyarakat. Setiap warga negara mulai saat dilahirkan sampai dengan meninggal dunia, menikmati fasilitas atau pelayanan dari pemerintah yang semuanya dibiayai dengan uang yang berasal dari pajak. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu negara menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan dan pembiayaan pembangunan.
Untuk mengumpulkan uang dari sektor pajak tersebut tentu bukan suatu pekerjaan yang mudah, sehingga diperlukan suatu kesadaran yang tinggi baik oleh masyarakat wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan didukung oleh aparatur perpajakan yang tangguh serta sistem administrasi perpajakan yang memadai disamping juga adanya piranti hukum yang memberikan rasa keadilan serta kepastian hukum.
Kewajiban untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu atau membayar pajak kepada negara merupakan suatu kewajiban bagi warga negara, mengingat negara mempunyai kekuatan untuk memaksa warga negara agar membayar pajak atas dasar Undang-Undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Problematika yang terjadi di lingkungan masyarakat saat ini ialah kurangnya kesadaran warga negara akan kewajiban pembayaran pajak, bahkan bagi sebagian orang, pemungutan pajak dirasa sebagai suatu pemaksaan bagi warga negara. Memang ketika membayar pajak, wajib pajak tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung, namun perlu kita ketahui bahwa kewajiban untuk membayar pajak tersebut diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan, yang artinya bahwa pemungutan pajak tersebut tidak lain diperuntukkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat termasuk wajib pajak tersebut.
Dalam pemungutan pajak harus dilakukan sesuai dengan syarat-syarat pemungutan pajak yang telah ditetapkan, mengingat membebankan pajak kepada masyarakat bukanlah suatu hal yang mudah. Bila terlalu tinggi, masyarakat akan enggan membayar pajak. Namun bila terlalu rendah, maka pembangunan tidak akan berjalan karena dana yang kurang. Pemungutan pajak harus dilaksanakan secara adil yang berarti bahwa pemungutan pajak harus dilakukan dengan mengatur hak dan kewajiban para wajib pajak, pajak diberlakukan bagi setiap warga negara yang memenuhi syarat sebagai wajib pajak, serta adanya sanksi atas pelanggaran pajak diberlakukan secara umum sesuai dengan berat ringannya pelanggaran. Selain syarat keadilan dalam pemungutan pajak, Pemungutan pajak harus diusahakan sedemikian rupa agar tidak mengganggu kondisi perekonomian, pemungutan pajak harus efisien dan sistem pemungutan pajak harus dilakukan dengan sederhana. Jika pemungutan pajak dilakukan tanpa mengabaikan syarat-syarat pemungutan tersebut di atas maka dapat terjadi kemungkinan adanya berbagai hambatan dalam pemungutan pajak di Indonesia.
Pemungutan pajak di Indonesia dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pajak yang kewenangan pemungutannya berada di tangan pemerintah pusat dinamakan pajak negara, sedangkan pajak yang kewenangan pemungutannya berada di tangan pemerintah daerah disebut dengan pajak daerah. Menurut Tony Marsyahrul (2005: 5), secara umum perpajakan di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pajak pusat dan pajak daerah. Pajak pusat adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah pusat (Dirjen Pajak) dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai APBN. Contohnya pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea materai. Sedangkan pajak daerah adalah pajak yang dikelola oleh pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota yang hasilnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran rutin serta pembangunan daerah (APBD)
Setiap pemungutan pajak harus meliputi seluruh wajib pajak. Tidak seorang atau sebuah badan yang lolos dari pengenaan pajak. Pengenaan pajaknya tidak boleh diskriminasi, harus sama dan diterapkan peraturan pajak yang sama, sebagaimana dimaksud dalam teori keadilan secara horisontal.[1]
Dalam pemungutan pajak diperlukan mekanisme yang tepat baik dari aparat yang melakukan pengawasan pemungutan pajak maupun kendala- kendala yang dihadapi dalam mekanisme pengawasan pemungutan pajak, masih banyak kendala yang dihadapi para aparat pengawas pemungutan pajak dalam usaha intensifikasi pemungutan pajak menjadi suatu hal yang melemahkan pemungutan pajak baik pemungutan pajak pusat maupun pajak daerah.
Jenis pajak berdasarkan kewenangan pemungutannya terdiri dari pajak pusat atau pajak Negara dan pajak daerah:
Pajak Pusat, yakni pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah pusat. Tergolong jenis pajak ini antara lain :
1. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
- Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
- Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
- Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
- Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
- Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat.
5. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
6. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
7. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTP adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTP dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Menurut Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.”
Perpajakan Daerah oleh K. J. Davey dapat diartikan sebagai berikut:
- Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;
- Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
- Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.
Dapat disimpulkan bahwa pajak daerah yakni pajak yang kewenangan pemungutannya berada pada pemerintah daerah, baik pada pemerintah proponsi maupun pemerintah kebupaten/kota.
Kriteria Pajak daerah secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 (empat) hal yakni :
- Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan yang dilaksanakan oleh daerah itu sendiri;
- Pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan dari pemerintah pusat tetapi penetapan besarnya tarif pajak oleh pemerintah daerah;
- Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri;
- Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat, tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Pajak daerah di Indonesia dapat di golongkan berdasarkan tingkatan Pemerintah Daerah, yaitu pajak daerah tingkat Provinsi dan pajak daerah tingkat Kabupaten/Kota. Penggolongan pajak seperti tersebut di atas diatur dalam Undang-undang No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-undang Republik Indonesia tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2 ayat 1 dan 2) serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang obyek, subyek, dasar pengenaan pajak dan ketentuan tarif dari pajak daerah yang berlaku, baik sebelum maupun sesudah berlakunya Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000. Selanjutnya Pajak Daerah saat ini yang hak kewenangan pemungutnya dapat diklasifikasikan menurut wilayah pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :
- Jenis Pajak Propinsi terdiri dari:
- Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air;
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas air;
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
- Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan air permukaan.
2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari:
Menurut Undang-undang No.34 tahun 2000, tentang pajak daerah dan retribusi daerah, menyebutkan jenis-jenis pajak kabupaten terdiri dari :
- Pajak Hotel. Pajak hotel merupakan pajak yang dipungut atas pelayanan hotel. Obyek pajaknya adalah setiap pelayanan yang disediakan dengan pembayaran hotel. Seperti fasilitas penginapan atau tempat tinggal dalam waktu sementara atau jangka pendek. Subyek pajak dari pajak hotel adalah orang pribadi atau badan usaha yang melaksanakan pembayaran atas pelayanan hotel. Sedang wajib pajaknya adalah pengusaha hotel.
- Pajak Restoran. Pajak restoran merupakan pajak yang dipungut atas pelayanan yang disediakan restoran, seperti makanan dan minuman. Subyek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang melaksanakan pembayaran atas pelayanan restoran. Sedangkan wajib pajaknya adalah pengusaha restoran.
- Pajak Hiburan. Pajak hiburan merupakan pajak yang dipungut dari semua jenis pertunjukan permainan, dan atau keramaian dengan nama dan bentuk apapun yang ditonton, dinikmati oleh setiap orang. Obyek pajaknya adalah penyelenggaraan hiburan, subyek pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang mendengar, menonton dan atau menikmati hiburan. Sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan yang menyelenggarakan hiburan.
- Pajak Reklame. Pajak reklame merupakan pajak yang dipungut atas penyelenggaraan reklame. Obyek pajaknya adalah penyelenggaraan reklame, subyek pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang menyelenggarakan reklame atau memesan reklame. Sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang menyelenggarakan reklame.
- Pajak Penerangan Jalan. Pajak penerangan jalan merupakan pajak yang dipungut atas penyelenggaraan penerangan jalan, yakni setiap penggunaan tenaga listrik. Obyek pajaknya adalah setiap pengguanaan tenaga listrik, subyeknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang menggunakan tenaga listrik. Sedangkan wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang menjadi pelanggan tenaga listrik.
- Pajak Pengambilan bahan Galian Golongan C. Pajak pengambilan bahan galian golongan C merupakan pajak yang dipungut atas kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C. Obyek pajaknya adalah kegiatan eksploitasi bahan galian golongan C, misalnya asbes, batu, granit, garam batu dll. Subyek pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang mengeksploitasi atau mengambil bahan galian golongan C. Wajib pajaknya adalah orang pribadi atau badan hukum yang menyelenggarakan eksploitasi.
- Pajak Parkir. Pajak parkir merupakan pungutan atas tempat atau lahan yang digunakan parkir untuk kendaraan baik roda dua (2) atau roda empat (4). Obyek pajaknya adalah tempat penyelenggaraan parkir, wajib pajaknya adalah orang pribadi yang mendapatkan fasilitas parker
Di samping yang telah disebutkan di atas, masih dimungkinkan adanya pajak kabupaten/kota yang lain asalkan memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang seperti misalnya sifatnya pajak dan bukan restribusi, objek pajaknya bukan menjadi objek pajak propinsi, dan sebagainya
Hal-hal yang Melemahkan Pemungutan Pajak Daerah.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pasal 7 ayat (1) pemungutan pajak daerah dilakukan dengan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Disini terlihat, bahwa ada 2 (dua) pilihan dalam pemungutan pajak, yaitu :
- dilakukan dengan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah
- dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.
Dokumen lain yang digunakan dalam pemungutan pajak daerah tersebut adalah Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding.
Pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan pemungutan, mengenai tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembentulan, dan Surat Keputusan Keberatan diatur dengan Keputusan Kepala Daerah. Demikian pula mengenai tata cara pengisian dan penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, penerbitan Surat dalam pemungutan pajak daerah dapat digunakan pemungutan berdasarkan penetapan Kepala Daerah (Bupati) atau Wajib Pajak membayar sendiri
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 mengatur berbeda mengenai pemungutan pajak daerah sebagaimana yang telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997, dimana dalam pemungutan pajak daerah dengan penetapan Kepala Daerah maupun Wajib Pajak membayar sendiri, keduanya menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah sebagai dokumen dalam pendaftaran Wajib Pajak.
Salah satu tugas negara adalah penagihan uang pajak dan pengelolaan dana tersebut untuk kepentingan pembiayaan tugas-tugas negara, sehingga negara bisa memaksa setiap warganya untuk mentunaikan pembayaran pajak yang diatur dengan Undang-Undang, namun bagi petugas pajak daerah tidak semudah apa yang diamanahkan dalam undang-undang, seringkali petugas pajak daerah menjumpai kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak daerah, hal-hal yang melemahkan pemungutan pajak daerah tersebut antara lain :
1. Realisasi pengawasan peraturan daerah tentang pajak daerah relatif lemah.
Ketentuan UU Nomor 34 Tahun 2000 mengamanatkan bahwa peraturan daerah tentang pajak dan restribusi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah harus disampaikan kepada pemerintah pusat, yaitu ke Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan paling lama 15 (lima belas) hari sejak ditetapkan.[2] Berdasarkan pemantauan, tidak semua provinsi dan kabupaten/kota menyampaikan peraturan daerah ke pemerintah pusat, masih banyak provinsi dan kabupaten/kota yang tidak memperhatikan amanat dalam ketentuan Undang-Undang tersebut.
Sebagai contohnya, selama kurun waktu Agustus 2001 sampai dengan Januari 2003 terdapat 9 provinsi dan 83 kabupaten/kota yang telah menyampaikan peraturan daerah dengan jumlah peraturan daerah masing-masing adalah 27 peraturan daerah provinsi dan 861 peraturan daerah kabupaten/kota. Provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mengirimkan peraturan daerahnya adalah 21 dari 30 jumlah provinsi dan 287 dari 370 jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia atau dengan presentase masing-masing asalah 70% dan 77,6%. Data tersebut memperlihatkan bahwa kesadaran daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/kota untuk memenuhi amanat undang-undang berkaitan dengan kewajiban mengirim atau menyampaikan peraturan daerahnya kepada Menteri Keuangan masih relatif rendah.[3]
Kurangnya kesadaran Provinsi maupun Kabupaten/kota dalam memenuhi amanat undang-undang tersebut pastinya melemahkan pemungutan pajak daerah, dengan tidak adanya penyampaian peraturan daerah tersebut dapat terjadi kmungkinan terbitnya peraturan daerah yang di kemudian hari ternyata bermasalah karena kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Apabila peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar atau acuan dalam pemungutan pajak tidak sesuai dengan kepentingan umum, maka akan melemahkan pemungutan pajak daerah.
2. Sentralisasi kekuasaan pemerintah pusat dalam pengawasan pemungutan pajak daerah.
Semua aktivitas pelaksanaan pemerintahan di daerah tetap diperlukan adanya suatu sistem pengawasan dari pemerintah pusat namun pengawasan hendaknya tidak lagi menyisakan celah bagi pemerintah pusat untuk menerapkan sentralisasi kekuasaan yang nantinya dapat menimbulkan konflik antarpusat dan daerah atau antar provinsi dan kabupaten/kota, karena jika demikian makna otonomi daerah menjadi kabur.
Pengawasan oleh Pemerintah Pusat yang terlalu ketat dapat melemahkan pemungutan pajak dikarenakan dengan adanya pengawasan Pemerintah Pusat yang terlalu ketat dapat membatasi keleluasaan pemerintah dan masyarakat daerah sehingga pemerintah daerah tidak dapat mandiri dalam mengelola aspek kehidupannya sesuai dengan aspirasi, rasa keadilam dan budaya masing-masing.
3. Kurang siapnya daerah dalam menangani sengketa pajak.
Daerah kabupaten dan kota telah diberikan wewenang untuk menetapkan jenis pajak daerah dan restribusi daerah sesuai dengan criteria yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000. Permasalahan yang timbul dalam sengketa pajak pada umumnya ialah bagaimana menentukan jenis pajak daerah yang tepat dikenakan (langsung atau tidak langsung) , kepada siapa dan di tingkat pemerintahan mana (kabupaten atau kota). Sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dan pejabat pajak yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada pengadilan pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasar Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Adanya sengketa pajak tersebut baik sengketa regulasi, sengketa ketetapan pajak maupun sengketa pelaksanaan penagihan pajak secara otomatis melemahkan pemungutan pajak.
4. Pemberian perizinan, rekomendasi dan pelaksanaan pelayanan umum yang kurang atau tidak sesuai dengan ruang lingkup tugasnya;
5. Kurangnya pembinaan terhadap seluruh perangkat Dinas;
6. Kurangnya pengkoordinasian pendapatan terhadap unit kerja penghasil pendapatan daerah.
7. Kurangnya kemampuan untuk mendengar, menanggapi dan mencari solusi dari keluahan staf, baik yang bertugas sebagai pendata, penganalisis data, perhitungan, penerbitan SKPD, ataupun penagihan
8. Belum dapat diterapkannya sistem self assessment system dalam pemungutan pajak daerah.
Kendala dalam Pemungutan Pajak secara Umum.
Dalam pemungutan pajak secara umum baik pajak pusat maupun pajak daerah, seringkali terdapat kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak. Kendala-kendala tersebut antara lain:
1. Berbagai peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan undang-undangnya.
Melaksanakan tax reform lebih pelik dan makan waktu dibandingkan dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang, apabila peraturan pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak konsisten dengan undang-undang, tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal dalam pemungutan pajak.
2. Kurangnya pembinaan antara pajak daerah dengan pajak nasional.
Pajak daerah dan pajak nasional merupakan satu sistem perpajakan Indonesia, yang pada dasarnya merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijaksanaan perpajakan tersebut dapat memberikan beban yang adil. Sejalan dengan perpajakan nasional, maka pembinaan pajak daerah harus dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional. Pembinaan harus dilakukan secara terus menerus, terutama mengenai objek dan tarif pajaknya supaya antara pajak pusat dan pajak daerah saling melengkapi.
3. Database yang masih jauh dari standar Internasional.
Kendala lain yang dihadapi aparatur pajak adalah database yang masih jauh dari standar internasional. Padahal database sangat menentukan untuk menguji kebenaran pembayaran pajak dengan sistem self-assessment. Persepsi masyarakat, bahwa banyak dana yang dikumpulkan oleh pemerintah digunakan secara boros atau dikorup, juga menimbulkan kendala untuk meningkatkan kepatuhan pembayar pajak. Berbagai pungutan resmi dan tidak resmi, baik di pusat maupun di daerah, yang membebani masyarakat juga menimbulkan hambatan untuk menaikkan penerimaan pajak.
4. Lemahnya penegakan hukum (law enforcement) terhadap kepatuhan membayar pajak bagi penyelenggara negara.
Law enforcement merupakan pelaksanaan hukum oleh pejabat yang berwenang di bidang hukum, misalnya pelaksanaan hukum oleh polisi, jaksa, hakim dan sebagainya. Tidak kalah penting untuk disoroti pelaksanaan hukum di lingkungan birokrasi, khususnya badan pemerintahan di bidang perpajakan) dalam melakukan pemeriksaan terhadap para penyelenggara negara, ternyata belum ada gebrakannya. Seharusnya bila dilakukan tentu membantu dalam mewujudkan good governance dalam bentuk pemerintahan yang bersih.[4]
Penegakan hukum pajak dilakukan dalam bentuk penjatuhan sanksi terhadap pelanggar hukum pajak untuk melindungi kepentingan Negara untuk memperoleh pembiayaan dari sector pajak mengingat hukum pajak tidak melindungi kepentingan wajib pajak tetapi bahkan melindungi sumber pendapatan Negara yang terokus pada pemenuhan kewajiban wajib pajak untuk membayar lunas pajak yang terutang. Penegakan hukum di bidang perpajakan dapat dikatakan masih lemah, hal ini dapat dilihat dari banyaknya wajib pajak yang tidak membayar pajak, maraknya kejahatan korupsi di bidang perpajakan dan para penegak hukum yang tidak becus dalam menegakkan hukum. Kasus korupsi Gayus merupakan salah satu contoh lemahnya penegakan hukum di Indonesia, dengan adanya kasus korupsi tersebut berdampak negatif bagi pemungutan pajak di Indonesia, timbul anggapan bahwa membayar pajak nantinya tidak sampai ke negara tetapi hanya akan dikorupsi oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti Gayus.
Sampai saat ini belum terlihat bagaimana Ditjen Pajak menyikapi secara terbuka mengenai kepatuhan membayar pajak (tax compliance) para penyelenggara Negara (dalam hal dilakukaknnya pemeriksan oleh KPKPN terhadap para penyelenggara Negara dikaitkan dengan kepatuhan membayar pajak). Seharusnya Ditjen pajak dapat memanfaatkan momentum itu dalam melakukan pemeriksaan berdasarkan kriteria menurut peraturan perundang-undangan perpajakan. Seperti itu karena tidak tertutup kemungkinan di samping ada indikasi ketidakwajaran dalam LKPN yang diserahkan kepada KPKPN, juga tidak tertutup kemungkinan Laporan SPT-nya juga bermasalahn, karena perlu diketahui daftar kekayaan dalam LKPN seharusnya sama dengan laporan dalam Lampiran SPT.[5]
Penegakan hukum pajak sangat dipengaruhi berbagai faktor, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Faktor-faktor itu dapat berupa sebagai sarana pendorong atau sarana penghambat terhadap bekerjanya system hukum sebagai suatu proses yang dikatakan oleh Lawrence M. Friedman (2001: 7-8) terdiri dari : 1) substansi hukum; 2) struktur hukum;dan 3) budaya hukum. Hal ini juga dikemukakan oleh Soerjono Soekento (2004:8) bahwa ada lima faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum. Kelima faktor tersebut adalah :
- Faktor hukumnya sendiri (dibatasi pada undang-undang saja);
- Penegak hukum; yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hokum;
- Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
- Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; dan
- Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. [6]
Kelima faktor tersebut dirasa belum mendukung sepenuhnya dalam pemungutan pajak di Indonesia yang kemudian menjadi kendala dalam pemungutan pajak baik pajak pusat maupun pajak daerah.
5. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat.
Dalam pemungutan pajak dituntut kesadaran warga negara untuk memenuhi kewajiban kenegaraan. Kurangnya atau tidak adanya kesadaran masyarakat sebagai wajib pajak untuk membayar pajak ke negara mengakibatkan timbulnya perlawanan atau terhadap pajak yang merupakan kendala dalam pemungutan pajak sehingga mengakibatkan berkurangnya penerimaan kas negara.
Perlawanan terhadap pajak tersebut terdiri dari perlawanan aktif dan perlawanan pasif, yaitu :
a. Perlawanan Pasif.
Perlawanan yang inisiatifnya bukan dari wajib pajak itu sendiri tetapi terjadi karena keadaan yang ada di sekitar wajib pajak itu. Perlawanan pasif terdiri dari hambatan-hambatan yang mempersukar pemungutan pajak dan yang erat hubungannya dengan struktur ekonomi suatu negara, perkembangan intelektual dan moral penduduk, dan dengan teknik pemungutan pajak itu sendiri.[7]
1) Struktur ekonomi
Struktur ekonomi suatu Negara mempengaruhi pemungutan pajak di negara tersebut. Hal ini terkait dengan penghitungan pendapatan netto oleh wajib pajak sesuai dengan norma perhitungannya.
2) Perkembangan moral dan intelektual penduduk
Perlawanan pasif yang timbul dari lemahnya sistem kontrol yang dilakukan oleh fiscus ataupun karena objek pajak itu sendiri sulit untuk dikontrol.
3) Cara hidup masyarakat di suatu Negara
Cara hidup masyarakat di suatu negara mempengaruhi besar kecilnya penghasilan yang mereka peroleh dan besar kecilnya penghasilan tersebut mempengaruhi besar kecilnya penerimaan kas negara.
4) Teknik pemungutan pajak.
Cara perhitungan pajak yang rumit dan memerlukan pengisian formulir yang rumit menyebabkan adanya penghindaran pajak, prosedur yang berbelit-belit yang menyulitkan pembayar pajak dan membuka celah untuk negosiasi antara petugas dan pembayar pajak juga dapat mengakibatkan adanya penghindaran pajak, maka perlu diadakan penyuluhan pajak untuk menghindari adanya perlawanan pasif terhadap pajak.
b. Perlawanan aktif
Perlawanan aktif adalah perlawanan yang inisiatifnya berasal dari wajib pajak itu sendiri. Hal ini merupakan usaha dan perbuatan yang secara langsung ditujukan terhadap fiscus dan bertujuan untuk menghindari pajak atau mengurangi kewajiban pajak yang seharusnya dibayar. Ada tiga cara perlawanan aktif terhadap pajak, yaitu:
1) Penghindaran Pajak (Tax Avoidance)
Penghindaran yang dilakukan wajib pajak masih dalam kerangka peraturan perpajakan. Penghindaran pajak terjadi sebelum SKP keluar. Dalam penghindaran pajak ini, wajib pajak tidak secara jelas melanggar undang-undang sekalipun kadang-kadang dengan jelas menafsirkan undang-undang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pembuat undang-undang. Penghindaran pajak dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
a) Menahan Diri, yang dimaksud dengan menahan diri yaitu wajib pajak tidak melakukan sesuatu yang bisa dikenai pajak.
b) Pindah Lokasi, yaitu memindahkan lokasi usaha atau domisili dari lokasi yang tarif pajaknya tinggi ke loksi yang tarif pajaknya rendah.
c) Penghindaran Pajak Secara Yuridis
Perbuatan dengan cara sedemikian rupa sehingga perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terkena pajak. Biasanya dilakukan dengan memanfaatkan kekosongan atau ketidak jelasan undang-undang. Hal inilah yang memberikan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Celah undang-undang merupakan dasar potensial penghindaran pajak secara yuridis. Suatu undang-undang dirumuskan tidak jelas karena kesengajaan maupun ketidaksengajaan pembuat Undang-Undang. Kesengajaan pembuat undang-undang terjadi karena latar belakang pembuat undang-undang tersebut adalah pemerintah dan parlemen, di mana parlemen mewakili berbagai kepentingan yang berbeda dan bisa saling bertolak belakang antara satu dan yang lainnya. Dua kepentingan yang paling dominan di parlemen adalah anggota parlemen yang mewakili kelompok buruh dan pemilik modal. Apabila diajukan undang-undang yang menyinggung dua pihak tersebut, diusahakan dicarikan jalan kompromi terhadap substansi masalahnya. Namun ini sulit dilakukan kaena menyangkut kepentingan yang berbeda. Lalu dicarilah jalan kompromi terhadap perumuasn yang bisa diterima oleh semua pihak. Masing-masing pihak bebas menafsirkan undang-undang tersebut sesuai dengan kepentingan masing-masing pihak. Pada akhirnya, undang-undang tersebut mengambang. Bisa saja wajib pajak menafsirkan sesuai kepentingannya dan fiscus menafsirkan sesuai dengan kepentingan negara.
2) Pengelakan Pajak (Tax Evasion)
Pengelakan pajak dilakukan dengan cara-cara yang melanggar Undang-Undang. Pengelakan pajak terjadi sebelum SKP dikeluarkan. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap undang-undang dengan maksud melepaskan diri dari pajak/mengurangi dasar penetapan pajak dengan cara menyembunyikan sebagian dari penghasilannya. Wajib pajak di setiap negara terdiri dari wajib pajak besar (berasal dari multinational corporation yang terdiri dari perusahaan-perusahaan penting nasional) dan wajib pajak kecil (berasal dari profesional bebas yang terdiri dari dokter yang membuka praktek sendiri, pengacara yang bekerja sendiri, dll).
Secara umum tindakan yang dilakukan untuk mengelakkan diri dari pajak adalah sebagai berikut [8]:
a) Pergeseran, yaitu menggeserkan beban pajak kepada pihak lain seperti yang berlaku dalam Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dengan sistem mekanisme kredit pajak.
b) Kapitalisasi, yaitu pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli seperti yang berlaku dalam Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
c) Transformasi, yaitu pengelakan pajak yang dilakukan oleh perusahaan industri dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya. Penghindaran ini lebih dikenal dengan mekanisme transfer pricing (pemindahan hak) dimana harga jual diturunkan sesuai dengan kepentingannya sehingga pajak dikenakan terhadapnya. Penghindaran ini lebih dikenal dengan mekanisme transfer pricing (pemindahan hak) dimana harga jual diturunkan sesuai dengan kepentingannya sehingga pajak yang dibayar oleh pembeli menjadi lebih kecil
d) Tax avoidance, yaitu penghindaran pajak dengan cara-cara yang legal dan diperbolehkan menurut peraturan perpajakn melalui celah-celah atau peluang dalam pelaksanaan peraturan perpajakan sehingga pajak yang dibayar menjadi kecil.
e) Tax Evasion, yaitu penghindaran pajak dengan cara menghilangkan data-data keuangan serta pengecilan omset , memperbesar biaya sehingga lebanya menjadi kecil,. Pengelakan seperti ini akan dikenakan dengan sanksi yang berat.
3) Melalaikan Pajak
Melalaikan pajak dilakukan dengan cara menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas yang harus terpenuhi. Melalaikan pajak terjadi setelah SKP keluar. Melalaikan pajak adalah menolak membayar pajak yang telah ditetapkan dan menolak memenuhi formalitas-formalitas yang harus dipenuhi oleh wajib pajak dengan cara menghalangi penyitaan.
Selain bentuk-bentuk perlawanan di atas, H. J. Hofstra, ahli hukum pajak dari Belanda, menambahkan bahwa salah satu bentuk perlawanan aktif pajak yaitu pelimpahan pajak. Hal ini biasa dilakukan oleh wajib pajak dengan melimpahkan kewajiban pajak langsungnya ke pihak lain atau pihak ke tiga. Hal ini adalah pelanggaran undang-undang karena pajak langsung dikenakan kepada wajib pajak untuk wajib pajak itu sendiri tidak boleh dilimpahkan kepada orang lain. Karena wajib pajak itu sendiri merupakan destinator.
Reaksi lain sebagai gejala perlawanan terhadap pajak yaitu kompensasi pajak secara negatif. Kompensasi pajak secara negatif yaitu melepaskan pekerjaan sampingan untuk menghindari tarif pajak yang lebih tinggi. Kompensasi pajak secara positif bukan merupakan perlawanan terhadap pajak. Hal ini bahkan menguntungkan bagi kas negara.
[1] B.boediono, Perpajakan di Indonesia, Diadit Media, Jakarta, 2000, hal. 46
[2] Pasal 5A ayat (1) dan 25A ayat (1) UU no. 34 Tahun 2000.
[3] Laporan Direktorat Jenderal Pendapatan Daerah, Sekretaris Tim Pengkajian Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Restribusi Daerah Tahun 2003 dalam buku Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Yellow Printing, Jakarta, 2007, hlm. 119-120
[4] Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, Refika Aditaman, Bandung,hlm. 129-130
[5] Ibid
[6] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 114-115
[7] R.Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Eresco, Bandung. 1986, hlm. 13
[8] Hilarious Abut, Perpajakan, Diadit Media, Jakarta, 2005, hlm. 24-25
Reblogged this on Jojo ItammatI.
You actually make it appear so easy with your presentation however
I in finding this topic to be actually one thing which I feel I
would by no means understand. It kind of feels too complex and very
broad for me. I’m looking forward for your next put up, I’ll try to
get the hang of it!
thank you, you can ask me about a topic which you dont understand
THANK YOU FERYMACH
Anda mempublish artikel ini pada tanggal 17 Julin 2011, padahal pada tahun 2009, Pemerintah dan DPR telah menetapkan UU Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan retribusi Daerah yang menghapus UU Nomor 34 Tahun Tahun 2004, dimana UU No. 28 Tahun 2009 telah mengalihkan PBB dan BPHTB menjadi Pajak daerah, sehingga menurut saya, sebagian dari artikel anda sdh tidak aktual lagi. Demikian. Terima Kasih.
teima kasih banyak atas koreksinya.. Salam.
Boleh minta sumber dr kendala-kendala yang melemahkan dalam pemungutan pajak daerah? Dari buku apa dan tahun brp yaa? Terima kasih..