Implikasi ACFTA terhadap Perekonomian Indonesia


       Pada masa era globalisasi ini, melakukan suatu hubungan luar negeri sangatlah penting untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara. termasuk salah satunya dengan melakukan kegiatan perdagangan, yaitu perdagangan internasional. Dalam kegiatan perdagangan internasional, salah satu hal yang lazim menjadi tindakan dalam melakukan hubungan luar negeri adalah dengan melakukan perjanjian internasional. Perjanjian tersebut dapat dilaksanakan dengan negara atau subjek hukum internasional manapun baik bersifat bilateral, regional maupun internasional.[1]

       Perdagangan internasional adalah sebuah materi yang luas karena objeknya juga demikian luasnya, bukan saja mengenai perdangan barang dan jasa yang telah dikenal secara tradisional akan tetapi juga mengenai jenis barang dan jasa yang modern berwujud maupun yang bersifat maya. Perdagangan barang berwujudpun bermacam-macam jenisnya apalagi barang-barang yang bersifat maya seperti modal atau uang atau istilahnya penanaman modal serta rumusan-rumusan teknologi dan barang-barang seni lainya.[2]

Perdagangan Internasional, secara umum berkembang ke arah perdagangan yang lebih bebas dan terbuka. Negara-negara secara bilateral, regional maupun global, cenderung mengadakan kerja sama dalam bentuk penurunan atau penghapusan sama sekali hambatan-hambatan perdagangan, tarif maupun non tarif untuk menciptakan suatu mekanisme perdagangan yang lebih kondusif, agresif dan progresif. Negara-negara semakin memahami arti pasar bebas (Fhttps://ninyasmine.wordpress.com/wp-admin/post-new.phpree Trade), termasuk manfaat-manfaat yang dapat diperoleh dari mekanisme perdagangan demikan.[3]

       Menurut teori perdagangan internasional, perdagangan antar negara yang tanpa hambatan berpeluang memberi manfaat bagi masing-masing negara tersebut. Namun dalam faktanya tersebut, perdagangan bebas dapat menimbulkan fakta negatif di antaranya adalah eksploitasi terhadap negara berkembang, rusaknya industri lokal, keamanan barang jadi lebih rendah dan sebagainya.

       Indonesia telah meratifikasi Framework Agreement ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.[4] Perjanjian perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN dan China ini mulai berlaku tanggal 1 Januari 2010. Perjanjian tersebut sebenarnya telah ditandatangani pada tahun 2002, Pemerintah tetap memberlakukan perjanjian ACFTA tersebut dan akan tetap berkomitmen terhadap perjanjian tersebut. ACFTA diberlakukan dengan latar belakang untuk memajukan perekonomian melalui kegiatan perdagangan di negara ASEAN dan China diharapkan tercapai peningkatan kerjasama antara pelaku bisnis di negara-negara ASEAN dan juga China melalui pembentukan “aliansi strategis”, meningkatnya kepastian bagi produk unggulan Indonesia dalam memanfaatkan peluang pasar China, dan terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.

       Terkait dengan perdagangan bebas ACFTA, perjanjian tersebut  dapat menimbulkan dampak baik positif maupun negatif. Dampak positif dari perjanjian ACFTA tersebut akan dinikmati langsung oleh sektor yang produknya langsung ekspor ke China, sementara dampak negatif dirasakan oleh produsen dalam negeri yang produknya sejenis dengan produk impor China, yang dipasarkan di dalam negeri dan memiliki tingkat daya saing yang relatif kurang kompetitif.

       Data perdagangan antara Indonesia dan ASEAN-China sejak tahun 2005 menunjukan, netto perdagangan ekspor-impor antara Indonesia-China mulai mencatat defisit untuk Indonesia. Bahkan, khusus untuk tahun 2010, defisit perdagangan antara Indonesia-China mengalami kenaikan 37% per tahun.[5]

       Meskipun defisit di tahun 2010 senilai US$5,3 miliar masih lebih rendah dibandingkan defisit terbesar yang pernah terjadi di tahun 2008 yang sempat mencapai USS8 miliar. Namun, tetap saja kondisi defisit yang cenderung terus meningkat itu jelas menuai kegalauan di kalangan pemerintah dan khususnya kalangan industri.[6] Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi permasalahan ialah:

  1. Sejauh mana pengaruh ACFTA terhadap iklim investasi dan kedudukan pengusaha lokal dalam perekonomian Indonesia?
  2. Apakah secara yuridis dapat dilakukan renegosiasi dan revisi perjanjian ACFTA terkait dengan perekonomian di Indonesia?

 

SEKILAS TENTANG ACFTA

       ASEAN-Cina Free Trade Agreement (ACFTA) merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan Cina.

       Pada proses pembentukan ACFTA, para Kepala Negara Anggota ASEAN dan China telah menandatangani ASEAN-China Comprehensive Economic Coorperation pada tanggal 6 November 2001 di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. Sebagai titik awal proses pembentukan ACFTA para Kepala Negara kedua pihak menandatangani Framework Agreement on Comprehensive Economic Coorperation Between the ASEAN and People’s Republic of China di Phnom Penh, Kamboja pada tanggal 4 November 2002. Protokol perubahan Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 6 Oktober 2003, di Bali, Indonesia. Protokol perubahan kedua Framework Agreement ditandatangani pada tanggal 8 Desember 2006.

       Indonesia telah meratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.

       Peraturan-peraturan nasional yang terkait dengan perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China adalah:

  1.  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004 Tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the Association of Southeast Asean Nations and the People’s Republic of China.
  2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 355/KMK.01/2004 tanggal 21 Juli 2004 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk atas Impor Barang dalam rangka Early Harvest Package ASEAN-China Free Trade Area.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 57/PMK.010/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN China Free Trade Area.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.010/2006 tanggal 15 Maret 2006 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 04/PMK.011/2007 tanggal 25 Januari 2007 tentang Perpanjangan Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Normal Track ASEAN-China Free Trade Area.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 53/PMK.011/2007 tanggal 22 Mei 2007 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.
  7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 235/PMK.011/2008 tanggal 23 Desember 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka ASEAN-China Free Trade Area.

Landasan acfta

Dasar pemberlakukan ACFTA ialah:

  1.  Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between The ASEAN and People’s Republic of China ditandatangani oleh para Kepala Negara ASEAN dan China pada tanggal 4 November 2002 di Phnom Penh, Kamboja.
  2.  Protokol perubahannya telah ditandatangani oleh Para Menteri Ekonomi pada tanggal 6 Oktober 2003 di Bali.
  3.  Ratifikasi Framework Agreement ASEAN-China FTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15 Juni 2004.
  4.  Agreement on Trade in Goods dan Agreement Dispute Settlement Mechanism telah di tandatangani di  Vientiane, Laos oleh para Menteri Ekonomi Negara ASEAN dan China pada tanggal 29 November 2004.
  5.  Agreement on Investment of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between The People’s Republic Of China and The ASEAN
  6.  Agreement on Trade in Services of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between The ASEAN and The People’s Republic Of China

 

Kesepakatan Dalam ACFTA

      Pada perjanjian ACFTA disepakati beberapa persetujuan perdagangan diantaranya adalah:[7]

1.      Persetujuan Perdagangan Barang

Dalam ACFTA disepakati akan dilaksanakan liberalisasi penuh pada tahun 2010 bagi ASEAN dan China, serta tahun 2015 untuk serta Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar.

Penurunan Tarif dalam kerangka kerjasama ACFTA dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu:

a. Early Harvest Program (EHP)

       Pada tanggal 1 Januari 2006 tarif bea masuk ke China untuk semua produk-produk yang tercakup dalam Early Harvest Program (EHP) sudah menjadi 0%. Adapun cakupan produk tersebut adalah Chapter 01 sampai dengan 08  (yaitu 01. Live Animals; 02. Meat and Edible Meat Offal; 03. Fish; 04. Daily Products; 05. Other Animal Products; 06. Live Trees; 07. Edible Vegetables dan 08. Edible Fruits and Nuts) dengan pengecualian  Sweet Corn (HS 07 10 40000). Selain itu untuk menyeimbangkan nilai ekspor Indonesia dan China terhadap produk-produk di atas, disepakati produk-produk EHP yang dinegosiasikan secara bilateral sebanyak 47 pos tarif (10 digit) antara lain Kopi, Minyak kelapa (Kopra), Lemak dan minyak hewani, margarine, Bubuk Kakao (HS 1806.10.00.00), Sabun, perabotan dari rotan dan Stearic Acid. Dari beberapa produk dalam EHP mengalami pelonjakan nilai ekspor Indonesia ke China yang sangat nyata yaitu antara lain Maniok (HS 0714); Fish, Frozen (HS 0303); Kopra dan turunannya, (HS 1513); Margarine (HS 1517); Glass envelope (HS 7011) – lihat data ekspor terlampir.

b. Normal Track

       Program penurunan bertahap dan penghapusan tarif bea masuk produk-produk yang tercakup dalam Normal Track berlaku efektif mulai tanggal 20 Juli 2005, dengan cakupan produk yang menjadi andalan ekspor Indonesia ke China diantaranya produk  Coal (HS 2701); Polycarboxylic acids (HS 2917); Wood (HS 4409); Copper wire (HS 7408).

c. Sensitive Track

       Produk andalan Indonesia yang oleh China dimasukkan dalam Sensitive dan Highly Sensitive antara lain Palm Oil dan turunanya (HS 1511); Karet Alam (HS 4001); Plywood, vennered panels (HS 4412). Sebaliknya, Indonesia juga memasukkan produk-produk unggulan Ekspor China ke Indonesia antara lain Barang Jadi Kulit; tas, dompet; Alas kaki: Sepatu sport, Casual, Kulit; Kacamata; Alat Musik; Tiup, petik, gesek; Mainan: Boneka; Alat Olah Raga; Alat Tulis; Besi dan Baja; Spare part; Alat angkut; Glokasida dan Alkaloid Nabati; Senyawa Organik; Antibiotik; Kaca; Barang-barang Plastik; Produk Pertanian, seperti Beras, Gula, Jagung dan Kedelai; Produk Industri Tekstil dan produk Tekstil (ITPT); Produk Otomotif; Produk Ceramic Tableware.

Dalam menjadwalkan penurunan/penghapusan tarif dan menyusun daftar produk-produk yang tercakup dalam EHP, Normal Track dan Sensitive Track/Highly Sensitive antara masing-masing negara Anggota ASEAN dan China dilakukan dengan pendekatan bilateral, artinya masing-masing negara menjadwalkan penurunan/ penghapusan tarif dan menyusun produknya. Sehingga dalam implementasinya akan terjadi perbedaan tarif maupun cakupan produknya. Sebagai contoh: cakupan bilateral EHP masing-masing negara ASEAN dan China berbeda-beda, sehingga dalam implementasi konsesi penurunan tarif bea masuk ke China untuk EHP akan berbeda antara Indonesia dengan negara ASEAN lainnya.

Cakupan produk untuk Normal Track pada tahun 2010 secara umum tarif bea masuk ke China akan menjadi 0%. Namun karena masing-masing negara ASEAN menyusun cakupan produknya berbeda, sebagaimana ditunjukkan dalam penyusunan daftar produk dalam Normal Track 1 dan  dalam Normal Track 2. Penghapusan tarif  bea masuk untuk produk-produk dalam Normal Track 2 akan terjadi pada tahun 2012. Implikasinya adalah bahwa bagi negara-negara ASEAN yang memasukkan produknya dalam Normal Track 1 akan lebih dahulu menikmati konsesi tarif bea masuk 0% (pada tahun 2010), sedangkan yang memasukkan produk-produk tersebut dalam  Normal Track 2 akan menikmati konsesi tarif bea masuk 0% pada tahun 2012.

Demikian pula halnya dalam menyusun daftar produk-produk Sensitive Track dan Highly Sensitive. Penurunan tarif untuk produk-produk dalam Sensitive akan mulai dilakukan pada tahun 2012 dengan maksimum tarif bea masuk 20%. Implikasinya adalah bahwa negara yang memasukan suatu produk dalam Sensitive Track baru akan menikmati konsesi tarifnya pada tahun 2012, sedangkan apabila negara lain memasukkan produk tersebut dalam Normal Track sepanjang China tidak memasukan produk yang bersangkutan dalam daftar Sensitivenya, maka konsesi tarif bea masuk sudah dapat diimplemtasikan mulai 20 Juli 2005.

Dalam modalitas penurunan/penghapusan tarif dalam Sensitive Track, disepakati bahwa apabila tarif bea masuk untuk produk-produk dalam daftar Sensitive Track sudah pada tingkat tarif maksimum 10%, negara yang bersangkutan sudah dapat menikmati konsesi tarif bea masuk yang dijadwalkan dalam Normal Track pada tingkat tarif yang sama.

Penurunan tarif untuk produk-produk dalam Highly Sensitive akan mulai dilakukan pada tahun 2015 dengan maksimum tarif bea masuk 50%. Implikasinya adalah bahwa produk-produk yang tarif bea masuknya diatas 50%, maka pada tahun 2015 harus sudah menjadi 50%.

Rules of Origin didefinisikan sebagai kriteria yang digunakan untuk menentukan status asal barang dalam perdagangan internasional.dalam konteks ACFTA mereka menjamin bahwa hanya produk-produk yang memenuhi persyaratan Rules of Origin di bawah ACFTA yang dapat memperoleh kelonggaran tarif.

 

2. Persetujuan Perdagangan Jasa

Dengan adanya persetujuan ini para penyedia jasa di kedua wilayah akan mendapatkan manfaat perluasan akses pasar jasa sekaligus national treatment untuk sector dan subsector yang dikomitmenkan oleh masing-masing Pihak ACFTA.

 

3. Persetujuan Investasi

Melalui persetujuan investasi tersebut pemerintah negara-negara anggota ASEAN dan China secara kolektif sepakat untuk mendorong peningkatan fasilitasi, transparansi dan rezim investasi yang kompetitif dengn menciptakan kondisi investasi yang positif disertai berbagai upaya untuk mendorong promosi arus investasi dan kerjasama di bidang investasi.

 

4. Kerjasama Ekonomi

Di dalam Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperaton Between The ASEAN and People’s Republic of China, kedua pihak sepakat akan melakukan kerjasama yang lebih intensif di beberapa bidang seperti pertanian, teknologi informasi, pengembangan SDM, investasi, pengembangan Sungai Mekong, perbankan, keuangan, transportasi, industri, telekomunikasi, pertambangan, energi, perikanan, kehutanan, produk-produk hutan, dan sebagainya

 PENGARUH ACFTA TERHADAP IKLIM INVESTASI & PERKEMBANGAN USAHA LOKAL DI INDONESIA

       Berkembangnya kerjasama ekonomi regional sebagaimana dibuat ASEAN, yang akan menjadi Asean Free Trade Area seperti ditetapkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN menuntut Indonesia harus siap mengatur kegiatan investasi dan hukum investasi yang diharmonisasikan dengan ketentuan ACFTA tersebut. Oleh Karena itu berlakunya atau ditetapkannya ACFTA, baik sebagian maupun secara penuh akan membawa pengaruh pada perkembangan investasi dan hukum investasi di masa mendatang.

       Penetapan ACFTA sebagai suatu sistem perdagangan bebas dikawasan asia tenggara akan menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang investasi serta akan membawa dampak pengelolaan investasi ekonomi di Indonesia, dimana lalu lintas perdagangan akan bebas tanpa hambatan tarif bea masuk maupun non tarif, atinya barang hasil produksi negara-negara asean akan sangat bebas masuk pada setiap negara anggota ASEAN.

       Dampak ini akan lebih terasa setelah arus globalisasi ekonomi semakin dikembangkan oleh prinsip liberalisasi perdagangan lainnya, yang telah diupayakan secara bersama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk kerjasam regional maupun internasional.  Pada masa kini arus globalisasi ekonomi itu harus diikuti megingat kecenderungan globalisasi ekonomi tersebut berkembang melalui perundingan dan perjanjian internasional. Implikasi globalisasi ekonomi itu terhadap hukum juga tidak dapat dihindarkan sebab globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi tersebut, dalam arti substansi undang-undang dan perjanjian-perjanjian menyebar melewati batas-batas negara. Globalisasi itu dapat terjadi melalui perjanjian dan konvensi internasional, perjanjian privat, dan institusi ekonomi baru.

       Bagi Indonesia yang perekonomian bersifat terbuka akan pula terpengaruh dengan prinsip perkonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor, investasi baik yang sifatnya langsung atau tidak langsung, serta pinjam meminjam.

       Kompleksnya hubungan atau transaksi dagang internasional ini paling tidak disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi dagang semakin cepat berlangsung, batas-batas negara bukan lagi menjadi halangan dalam bertransaksi.[8]

       Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi. Disinilah diperlukan pembaharuan hukum investasi sebagai perangkat aturan untuk memberikan antisipasi kegiatan investasi di Indonesia pada era berlakunya ACFTA. Dengan ini perangkat hukum harus diperbaharui sesuai dengan ritme tuntutan ACFTA, guna menampung ketentuan-ketentuan ACFTA.

       Kembali mengenai perdagangan barang, China sudah memulai program standardisasi sejak lima tahun lalu. Semua produk mereka sudah memiliki standarisasi khusus. Karena itu ketika mau mengikuti SNI terbilang mudah bagi mereka. Produk ekspor Indonesia ke China sebagian besar bukan merupakan produk manufaktur melainkan sumber daya alam seperti tambang dan minyak sawit.[9]

       Negosiasi ulang harus dilakukan atas perjanjian perdagangan bebas tersebut. Menunggu direvisi, lanjut dia, program hilirisasi industri juga harus berjalan. Selain itu, program pengembangan enam koridor harus dipercepat serta pembenahan produksi dengan menggenjot peningkatan produk dalam negeri.

       Sementara itu, pengamat ekonomi Faisal Basri mengatakan masalah terkait perjanjian dagang dalam ACFTA hanya dialami Indonesia. Sedangkan negara lain seperti Thailand dan Filipina tidak mempersoalkan hal itu. Adapun persoalan yang dialami salah satunya bisa jadi karena nilai tukar yang menguat sangat lambat.[10]

       Dengan demikian dalam rangka memasuki era berlakunya ACFTA Indonesia harus sudah mantap persiapannya untuk menghadapi pengaruh yang timbul terhadap perekonomian atau perdagangan Indonesia dalam semua aspek, termasuk didalamnya aspek hukum, khususnya hukum investasi yang merupakan pranata hukum yang berisikan kebijakan untuk mengarahkan kegiatan investasi ke suatu arah ketentuan ACFTA, apalagi pada awal berlakunya beberapa ketentuan perjanjian ACFTA dan merupakan tenggang waktu bagi anggota negara-negara asean untuk memperbaharui atau mengharmonisasikan hukum investasinya masing-masing agar sejajar dengan ketentuan ACFTA.

 

renegosiasi & revisi acfta

       Pasca pemberlakuan ACFTA, terkait dengan kondisi perekonomian di Indonesia dengan banyaknya pengusaha-pengusaha lokal yang kalah bersaing dengan pengusaha-pengusaha dari China dan bahkan apabila sampai gulung tikar, maka pemerintah hendaknya segera mengajukan untuk mengadakan renegosiasi untuk kemudian merevisi ACFTA, yakni untuk mengundur berlakunya atau pelaksanaan perjanjian ACFTA tersebut. Indonesia sebagai penandatangan akan tetap berkomitmen terhadap perjanjian, secara yuridis memang tidak boleh tidak ada penundaan terkait dengan perjanjian yang telah disepakati bersama, namun secara yuridis kesepakatan tersebut dapat direnegosiasi asalkan dengan kesepakatan negara-negara penanda tangan lainnya. Adapun yang penting untuk direnegosiasikan adalah:

  1. Pemerintah Indonesia akan meminta pengertian China dan negara-negara ASEAN penanda tangan lainnya untuk memberikan pengecualian terhadap industri tertentu. Sehubungan dengan rencana perdagangan bebas tersebut, salah satunya termasuk produk baja dan tekstil.
  2. Adapun produk-produk yang tergabung dalam Sensitive Track (ST) dan High Sensitive Track (HST) tentu jangka waktunya disesuaikan lagi renegosiasi perjanjian harus dilakukan agar kebijakan itu bisa menumbuhkan daya saing produk lokal terhadap serbuan barang China yang sudah membanjiri pasar Indonesia.

       Seberapa jauh dampak perdagangan bebas antara ASEAN dan China yang menyangkut industri Indonesia. Tidak dapat dielakkan Indonesia harus memperkuat daya saing guna menaikkan posisi tawar produk-produk lokal. Pemerintah sudah mengindentifikasi beberapa sektor manufaktur yang bakal terkena dampak terparah. Untuk produk-produk primer, Indonesia cenderung tetap kuat.

       Pada perjanjian ACFTA, terdapat pembedaan pemberlakuan tarif yang dikurangi secara bertahap bagi enam negara ASEAN dan China, yang dibedakan dengan empat negara ASEAN lainnya yaitu Laos, Vietnam, Myanmar, dan Kamboja. Tak dapat dipungkiri, Indonesia belum sepenuhnya siap dalam menghadapi persaingan global, terutama dalam melawan arus produk perdagangan dari China. Indonesia masih membutuhkan waktu sebagaimana negara-negara berkembang lainnya untuk mempersiapkan infrastruktur perekonomian dan memperkuat daya saing pengusaha lokal dalam menghadapi perdagangan bebas, yang kemudian akan berimplikasi pula terhadap iklim investasi.

       Terkait dengan hal tersebut, dalam usaha untuk memperkuat daya saing barang-barang Indonesia, perbaikan infrastruktur mutlak perlu untuk mencegah biaya ekonomi tinggi. Hal ini penting dilakukan agar dalam waktu lima tahun yang akan datang industri dalam negeri mempunyai industri dengan dasar yang kuat. Sehingga, industri dalam negeri ke depannya bisa bersaing dengan China.

       Menunjuk Pasal 14 Kerangka Kerja Perjanjian ACFTA yang mengatur soal amandemen. Rumusannya: “The provisions of this Agreement may be modified through amendments mutually agreed upon in writing by the Parties”. Dalam rumusan berbeda bermakna sama, Pasal 19 Perjanjian Kerjasama ASEAN-China menegaskan: “This Agreement may be amended by the mutual written consent of the Parties”. Dengan kata lain, perjanjian ini dapatdiamandemen atau direvisi dengan persetujuan tertulis dari para pihak penanda tangan. Selain itu mengenai perubahan atau revisi atau dapat pula disebut modifikasi perjanjian, diatur pula dalam Pasal 6 Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between The ASEAN and The People’s Republic Of China, mengenai Modification and Concessions, yang berbunyi:

Any Party to this Agreement may, by negotiation and agreement with any Party to which it has made a concession under this Agreement, modify or withdraw such concession made under this Agreement.”

       Terjemahan bebas:

“Pihak dalam perjanjian dapat memodifikasi atau menarik konsesi yang dibuat berdasarkan perjanjian, dengan melakukan negosiasi yang disepakati pihak lainnya dalam perjanjian.“

       Jadi dengan demikian dimungkinkan secara yuridis untuk diadakan renegosiasi untuk merevisi perjanjian, yakni dengan persyaratan adanya persetujuan secara tertulis dari pihak-pihak lain penanda tangan perjanjian.

       Selain ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ACFTA sendiri sebagaimana diuraikan di atas, mengenai renegosiasi dan revisi perjanjian yang secara yuridis dapat dilakukan, mengacu pula kepada ketentuan hukum internasional, yakni konvensi internasional dan prinsip-prinsip hukum umum.

      Mengenai amandemen terhadap perjanjian khususnya perjanjian multilateral telah terdapat dalam Pasal 40 Konvensi Wina 1969,[11] yakni setiap usul untuk mengadakan perubahan terhadap perjanjian multilateral, semua pihak harus memberitahukan kepada semua negara pihak, dimana setiap negara akan mempunyai hak untuk ikut serta dalam:

  1. Keputusan tentang tindakan yang akan diambil mengenai usul tersebut.
  2. Perundingan dan persetujuan mengenai perubahan perjanjian tersebut.

        Adapun prinsip-prinsip hukum internasional tersebut yakni di antaranya adalah prinsip itikad baik dan prinsip pacta sunt servanda atau perjanjian berlaku mengikat bagi pihak-pihak yang menyetujuinya. Dengan adanya ketentuan-ketentuan di atas mengenai modifikasi atau amandemen perjanjian melalui renegosiasi, maka Indonesia secara yuridis dapat mengajukan renegosiasi atas ketentuan-ketentuan dalam ACFTA yang telah disepakati bersama.

KESIMPULAN

  1. Pengaruh ACFTA terhadap iklim investasi dan kedudukan pengusaha lokal dalam perekonomian Indonesia sampai saat ini cukup besar. Fakta bahwa Indonesia masih belum sepenuhnya siap terhadap persaingan dalam perdagangan bebas, membuat pemerintah harus membenahi infrastruktur perekonomian secara signifikan terutama di sektor-sektor manufaktur. Apabila tidak segera dilakukan, maka akan dapat menimbulkan dampak banyaknya pengusaha lokal Indonesia yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing dengan pengusaha negara lain terutama China, dan akan pula berdampak pada iklim investasi yang justru bukan tidak mungkin akan merugikan negara berkembang seperti Indonesia. Untuk itu terkait ACFTA, sebaiknya diadakan renegosiasi dan amandemen mengenai jangka waktu penghapusan tarif bea masuk.
  2. Secara yuridis, Indonesia dapat mengajukan  renegosiasi dan revisi atau amandemen perjanjian ACFTA, karena telah diatuir baik dalam kerangka ACFTA sendiri maupun dalam kerangka hukum internasional, bahwa atas perjanjian ini dapat dilakukan modifikasi atau amandemen, asalkan terdapat persetujuan tertulis dari pihak-pihak lain penanda-tangan perjanjian.

[1] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 252

[2] Gunarto Suhardi, Beberapa Elemen Penting Dalam Hukum Perdagangan Internasional, Universitas Atmajaya, Yogyakarta, 2004, hlm. 1.

[3] Ida Bagus Wyasa Putra, Aspek-aspek Hukum Perdata Internasional dalam Transaksi Bisnis Internasional, PT Refika Aditama, Bandung, 2000, Hlm. 3

[4] Direktorat Kerjasama Regional Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional, ASEAN-China Free Trade Area, 2010.

[5] Admin Situs, Perjanjian Perdagangan RI-China Harus Direvisi, http://bataviase.co.id, Diakses tanggal 6 Mei 2011.

[6] Loc.cit.

[7] Direktorat Kerjasama Regional, Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional

[8] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2005, hlm 1.

[9] Admin Situs RimaNews, Rugikan Pengusaha Dalam Negeri, ACFTA Harus Dinegosiasi Ulang, http://rimanews.com,  Diakses tanggal 6 Mei 2011.

[10] Loc. cit.

[11] Jongga Joe Ventoes, Amandemen dan Modifikasi Terhadap Perjanjian, http://www.scribd.com, Diakses tanggal 16 Mei 2011.

Categories: Pemikiran Penulis | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: