Tanggung Jawab PT terkait Masalah Penggunaan Fidusia dan Saham


       Menurut Henry Campbell, “saham adalah suatu bagian proporsional dari hak-hak tertentu dalam manajemen dan profit dari suatu perseroan selam perseroan tersebut masih eksis dan juga dari assetnya ketika perseroan dibubarkan”.

       Ada beberapa tipe dari saham, termasuk Saham Biasa (common stock), Saham Preferen (preferred stock), Saham Harta (treasury stock), dan saham kelas ganda (dual class stock). Saham preferen biasanya memiliki prioritas lebih tinggi dibanding saham biasa dalam pembagian Deviden dan aset, dan kadangkala memiliki hak pilih yang lebih tinggi seperti kemampuan untuk memveto penggabungan atau pengambilalihan atau hak untuk menolak ketika saham baru dikeluarkan (yaitu, pemegang saham preferen dapat membeli saham yang dikeluarkan sebanyak yang dia mau sebelum saham itu ditawarkan kepada orang lain). Saham yang biasa dijual di Bursa Efek adalah saham biasa dan saham preferen tidak diperjualbelikan di bursa efek. Struktur kelas ganda memiliki beberapa kelas saham masing-masing dengan keuntungan dan kerugiannya sendiri-sendiri. Saham harta adalah saham yang telah dibeli balik dari masyarakat[1]

Cara pemindahan saham yaitu ada saham perusahaan target yang berpindah tangan, sehingga diperlukan transaksi peralihan hak atas sah atau alternatifnya dapat juga pengisian saham barupa pihak perusahaan yang menganbil oleh pengontrolan dalam perusahaan target [2].

      Fidusia adalah pegalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang baik kepemilikannya dialihkan tetap dalam penguasaan pemilik benda. Sedangkan Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yag memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya. Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan benda fidusia[3]

       Fidusia terjadi dengan mengadakan perjanjian kredit yang mengandung klausul untuk memberikan benda bergerak sebagai jaminan fidusia dan diikuti dengan perjanjian pinjaman pakai antara kreditur yangbersangkutan sebagai pemilik  atas dasar kepercayaan dan debitur sebagai peminjam pakai [4]. Objek fidusia meliputi benda bergerak atau tidak yaitu; barang bergerak, berwujud atau tidak berwujud, rumah susun berupa tanah tempat bangunan itu berdiri, suatu rumah susun yang dibangun di atas tanah hak pakai milik Negara, tanah hak pakai atas tanah Negara beserta rumah susun yang tidak terdaftar, perumahan dan tanah girik[5].

      Penggunaan fidusia dalam mekanisme yang dijalankan dalam Perseroan Terbatas juga ada pada kewenangan Direksi Perseroan. Seorang pemegang kuasa yang melaksanakan kewajibannya berdasarkan kepercayaan yang diberikan oleh pemberi kuasa untuk bertindak sesuai dengan perjanjian pemberian kuasa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab direksi sebagai pemegang fiduciary duties dari pemegang saham perseroan. Dalam hal ini punya tanggung jawab penuh  atas pengurusan dan pengelolaan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan dan untuk menjalankan tugas dan kewajiban yang diberikan oleh anggaran dasar perseroan serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lalu yang menjadi permasalahan ialah apakah yang seharusnya menjadi tanggung jawab PT terkait masalah penggunaan fidusia dan saham?

        Paul Scholten berpendapat pertanggung jawaban yang terbatas itu bukan syarat mutlak untuk menentukan ada tidaknya kedudukan badan hukum. Dengan adanya pertanggung jawaban yag terbatas atau tertutupnya pertanggung jawaban secara individual sudah tentu badan itu adalah suatu badan hukum tapi dalil ini tidak dapat kita gunakan[6]

       Berkaitan dari kedudukan Direksi PT dalam dua hubungan hukum menurut penulis bukan masalah sepanjang kedua hubungan hukum tersebut dapat diterapkan secara konsisten dan sejalan. Dalam hubungan hukum yang dirumuskan untuk Direksi PT di satu sisi diperlakukan sebagai penerima kuasa dari perseroan untuk menjalankan perseroan sesuai dengan kepentingannya untuk mencapai tujuan perseroan sebagaimana telah digariskan dalam dalam anggaran dasar perseroan dan di sisi lain diperlakukan sebagai karyawan perseroan. Dalam hubungan atasan-bawahan suatu perjanjian perburuhan yang mana berarti Direksi tidak diperkenankan untuk melakukan sesuatu yang tidak atau bukan menjadi tugas dan tanggung jawabnya. Disinilah sifat pertanggung jawaban renteng dan pertanggung jawaban pribadi Direksi PT menjadi sangat relevan. Dalam hal Direksi melakukan penyimpangan atas “kuasa” dan “perintah” perseroan untuk kepentingan perseroan. Hal ini juga mengindikasikan bahwa tanggung jawab dari Direksi PT yang secara internal dan eksternal dapat dijalankan secara bersamaan. Dalam praktek sering terjadi sengketa yuridis terkait tanggung jawab yang melibatkan pihak ketiga dengan penggunaan prinsip fidusia.

       Trust adalah kepercayaan yang diberikan kepada seseorang dalam hal ini kepada trustee untuk kepentingan pihak lain yang disebut “Cestui Que Trust’. Trust merupakan suatu hubungan fiduciary dalan hubungan dengan suatu harta benda yang melibatkan seseorang yang menguasai harta benda tersebut dan punya tugas-tugas secara equity untuk mengadakan pengurusan atas harta benda tersebut untuk kepentingan pihak lain. Menurut penulis “trust” inilah yang melatar belakangi terjadinya prinsip fidusia dalam mekanisme menjalankan sebuah keberlangsungan Perseroan Terbatas (PT). Mekanisme hukum yang jelas harus dilakukan dalam menjalankan pengalihan saham dengan prinsip fidusia ini. Dalam prakteknya, dalam perjanjian jaminan fidusia diberi penjelasan bahwa barang itu diterima pihak penerima fidusia pada tempat barang-barang itu terletak dan pada saat itu juga kreditor menyerahkan barang-barang itu kepada pemberi fidusia yang atas kekuasaan penerima fidusia telah menerimanya dengan baik untuk dan atas nama penerima fidusia sebagai penyimpan. Berkenaan dengan hal ini maka Direksi dan Komisiaris PT hanya punya kewenangan sejauh yang diberikan oleh undang-undang dan atau anggota dasar jika ada hal-hal yang tidak tercantum dalam peraturan dan atau anggaran dasar persroan maka terjadi kewenangan RUPS (teori residu) sebagai kekuatan yang tertinggi dalam suatu perseroan. Prinsip fidusi juga dapat digunakan dalam jual beli saham/akusisi yaitu pihak pembeli saham tidak memegang saham di perusahaan target para pemegang saham tersebut melakukan divestasi yakni keluar dar perusahaan tersebut dengan membawa uang tunai berupa kompensasi atau harga penjualan sahamnya.

Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.


[1] .(www.emperordeva.blog.com)

[2] Munir, Fuady, Hukum Tentang Merger, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002 hal. 9-10

[3] Gunawan Widjaja.2000:122-123

[4] Prof,Dr.Maria,Danun Badrulzaman.1994:78

[6] Ridho.R Ali, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan,Perkumpulan,Koperasi, Yayasan,Wakaf, Alumni, Bandung 1977, Hal. 72

Categories: Pemikiran Penulis | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: