Chapter Report General Theory of Law and State by Hans Kelsen about The Legal Person


SUBJEK HUKUM

 A.  Substansi dan Kualitas

       Konsep subjek hukum digunakan dalam penggambaran hukum positif dan berkaitan erat dengan konsep kewajiban dan hak hukum.  Yang dimaksud dengan subjek hukum ialah pemikul hak dan kewajiban. Dalam pemikiran hukum, harus ada sesuatu yang “mempunyai” hak dan kewajiban sehingga tidak hanya terbatas pada melakukan atau tidak melakukan tindakan yang membentuk isi dari kewajiban atau hak. Dalam pemikiran tersebut, kualitas yang dapat diamati secara empirik ditafsirkan sebagai kualitas dari suatu objek atau substansi, dan menurut tatanan bahasa kualias-kualitas tersebut digambarkan sebagai predikat dari suatu objek. Subjek tatanan bahasa yang menunjukkan hanyalah simbol dari fakta bahwa kualitas-kualitas membentuk satu kesatuan, jadi ada suatu simbol yang mewakili dari kualitas-kualitas tersebut dan keseluruhannya adalah merupakan satu kesatuan.

       Jadi subjek hukum adalah substansi yang memiliki hak dan kewajiban yang berkaitan dengan hubungan antara substansi dengan kualitas. Meski demikian, dalam kenyataannya, subjek hukum bukanlah suatu entitas yang terpisah di samping hak dan kewajiban-“nya”, melainkan hanyalah kesatuannya yang dipersonifikasikan dari seperangkat norma hukum.

Komentar :

       Kami sependapat dengan Hans Kelsen yang mengatakan bahwa subjek hukum ialah pemikul hak dan kewajiban yang berkaitan dengan hubungan antara substansi dengan kualitas dalam satu kesatuan.

       Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum mendefinisikan subjek hukum ialah pihak-pihak yang (perilakunya) diatur, yakni yang diberikan akibat hukum berupa kewenangan atau hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan tertentu. Jadi yang dimaksudkan dengan subjek hukum adalah pemegang atau pengemban dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban.[1]

       C.S.T Kansil mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan subjek hukum yaitu sesuatu  yang mempunyai hak dan kewajiban. Dari pendapat-pendapat para ahli di atas apabila dibandingkan, pada intinya pengertian subjek hukum ialah sama yaitu pembawa hak dan kewajiban.[2]

 

B.   Subjek Hukum Bersifat Fisik

  1. Pribadi Fisik dan Manusia

       Ada dua jenis subjek hukum, yaitu pribadi fisik dan pribadi hukum atau badan hukum.  Pribadi fisik adalah seorang manusia, sedangkan badan hukum bukan.

       Austin memberi suatu definisi : “seorang manusia dianggap dianugerahi dengan hak, atau dipandang sebagai subjek dari kewajiban”. Hal ini berarti tindakan tertentu dari seorang individu / manusia, secara khusus merupakan isi dari norma hukum. Norma hukum ini hanya menentukan suatu tindakan atau penghindaran tindakan tertentu dari individu tersebut, bukan keseluruhan eksistensinya. Bahkan seluruh tatanan hukum tidak pernah menetukan seluruh eksistensinya dari seorang manusia yang menjadi subjek tatanan tersebut., atau mempengaruhi seluruh fungsi mental dan jasmaninya. Atau untuk lebih jelasnya,  orang sebagai subjek hukum hanya ada sepanjang dia “mempunyai” hak dan kewajiban, jika terpisah dari hak dan kewajiban, orang itu tidak memiliki eksistensi apapun. Menurut Austin, mendefinisikan pribadi fisik sebagai manusia adalah keliru, karena seorang manusia dan seorang pribadi bukan hanya dua konsep yang berbeda melainkan juga sebagai akibat dari dua jenis  pertimbangan yang sepenuhnya berbeda. Manusia sebagai konsep alam, sedangkan pribadi adalah suatu konsep ilmu hukum.

       Pengertian pribadi fisik adalah personifikasi seperangkat norma hukum yang megatur tindakan manusia karena merupakan hak dan kewajiban yang mengandung tindakan seorang “pribadi” dan manusia yang sama, dan hak yang menuntut individu lain berbuat menurut cara tertentu ini dikatakan sebagai juris in rem. Dari pengertian tersebut Austin memenpatkan “manusia” sebagai pedoman hak pribadi fisik karena hak dan kewajiban tersebut menunjuk pada perbuatan manusia.

Komentar :

       Bahwa  Austin  memberi pemaknaan yang berbeda antara “manusia” dan “pribadi” dalam pengertian bahwa pribadi tidak sama dengan manusia karena istilah manusia itu sebagai konsep biologi dan fisiologi atau konsep ilmu alam, sedangkan pribadi adalah konsep ilmu hukum dari analisis norma-norma hukum. Namun Austin tidak mengemukakan perbedaan konsekuensi  antara pemaknaan penggunaan kata manusia dengan pribadi.

       Menurut Austin, manusia itu bagian dari pribadi fisik dan manusia akan menjadi pribadi fisik ketika dia mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, manusia itu hanya sebagai pedoman bagi hak yang dimiliki oleh pribadi fisik, dilihat dari hak dan kewajiban yang terkandung dalam konsep pribadi fisik yang seluruhnya menunjuk pada perbuatan manusia.

       Dari pernyataan Austin di atas, secara tidak langsung Austin mengatakan bahwa pribadi fisik itu ada ketika manusia “mempunyai” hak dan kewajiban yang tidak terlepas dari perbuatan manusia. Dengan demikian istilah pribadi fisik itu tidak akan pernah ada apabila tidak ada perbuatan manusia terkait dengan hak dan kewajibannya, jadi pada intinya pribadi fisik dengan manusia menunjuk pada konsep yang sama yaitu sebagai subjek hukum.  Apabila dikatakan bahwa penyebutan subjek hukum “pribadi fisik” berbeda dengan “manusia” sedangkan konsep pribadi fisik merujuk pada perbuatan “manusia” berarti hanya manusia yang cakap hukum baru bisa dikatakan sebagai subjek hukum padahal dalam hukum perdata bayi dalam kandungan (apabila lahir hidup) telah memiliki hak misalnya dalam pembagian harta warisan padahal terang saja bahwa calon bayi tersebut tidak melakukan perbuatan hukum dalam bentuk apapun, namun memiliki hak layaknya subjek hukum yang telah cakap hukum. Dari pernyataan Austin di atas, kami sependapat bahwa manusia dan pribadi fisik itu berasal dari konsep yang berbeda, namun dari pendapat Austin di atas, bahwa pribadi fisik itu tidak dapat dipisahkan dengan konsep manusia sehingga pribadi fisik yang dimaksud tersebut tidak lain adalah manusia juga.

   

2. Pribadi Fisik : Badan Hukum.

       Kekeliruan dari pernyataan bahwa “pribadi fisik adalah seorang manusia”, juga dapat kita pahami dari fakta bahwa apa yang berlaku bagi “pribadi” fisik tersebut.  Pernyataan bahwa seorang manusia mengatur perbuatan manusia tersebut dengan cara tertentu. Di pihak lain, pernyataan bahwa seorang pribadi mempunyai hak dan kewajiban, tidak mengandung suatu pengertian atau hanya sebagai tautologi yang hampa makna.  Pernyataan ini berarti bahwa hukum membebankan kewajiban kepada kewajiban dan memberikan hak kepada hak. Kewajiban dapat dibebankan dan hak dapat diberikan hanya kepada manusia yang dapat menjadi isi dari norma hukum. Penyamaan manusia dengan “pribadi” fisik berakibat fatal mengaburkan prinsip ini yang fundamental bagi ilmu hukum yang bebas dari fiksi. Jadi, pribadi fisik  bukan realitass alami melainkan suatu konstruksi pemikiran hukum.

Komentar :

       Dalam melakukan perbuatan hukum, badan hukum memang diwakili oleh para pengurusnya (pribadi fisik). Namun pribadi fisik yang dimaksud tidak merujuk pada manusia secara individual melainkan pribadi fisik-pribadi fisik pengurus badan hukum tersebut.  Setiap pribadi fisik badan hukum tersebut merupakan “manusia” yang melakukan perbuatan hukum. Hanya saja pribadi fisik yang dimaksud bukan manusia secara individual tetapi mewakili organisasinya sebagai badan hukum. Jadi kami tidak setuju dengan pernyataan Austin tersebut.

C.   Pribadi Hukum

       Menurut Austin, konsep “pribadi” fisik hanya sebagai konstruksi pemikiran hukum dan sepenuhnya berbeda dari konsep “manusia”, maka yang disebut “pribadi” fisik, sesungguhnya adalah “pribadi” hukum, maka tidak ada perbedaan essensial dia antara keduanya yang lazim dianggap sendiri-sendiri. Begitu juga dalam ilmu hukum tradisional, namun demikian, di dalam mendefinisikan “pribadi” fisik  sebagai manusia dan “pribadi” hukum bukan manusia, ilmu hukum tradisional mengaburkan lagi persamaannya yang essensial.

 Komentar :

       Austin memberi pendapat yang sedikit membingungkan karena menurut beliau bahwa pribadi fisik berbeda dari konsep manusia, tetapi pribadi fisik itu memiliki makna yang sama dengan pribadi hukum. Di sisi yang lain, Austin menyatakan bahwa pribadi hukum memiliki hubungan yang lebih erat dengan manusia daripada hubungan antara pribadi fisik dengan manusia. Padahal, Austin juga mengatakan pribadi fisik sama dengan pribadi hukum. Dengan demikian secara tidak langsung manusia itu memiliki hubungan yang erat dengan pribadi fisik maupun pribadi hukum namun Austin tetap membedakan pribadi fisik dengan manusia.

  1. Korporasi

       Korporasi adalah sekelompok individu yang oleh hukum diperlakukan sebagai satu kesatuan , yakni sebagai “pribadi” yang mempunyai hak dan kewajiban individu-individu yang membentuknya. Korporasi dipandang sebagai “pribadi” karena peraturan hukum menetapkan hak dan kewajiban tertentu menyangkut kepentingan anggota korporasi tetapi bukan merupakan hak dan kewajiban dari para anggota, dan karena itu ditafsirkan sebagai hak dan kewajiban dari korporasi itu sendiri. Alasan yang menetukan mengapa korporasi dipandang sebagai “pribadi” hukum adalah fakta bahwa pertanggungjawaban atas delik perdata dari korporasi, pada prinsipnya, dibatasi kepada harta kekayaan dari korporasi itu sendiri.

 Komentar :

       Mochtar Kusumaatmaja dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah sekumpulan orang yang untuk hubungan-hubungan hukum tertentu demi mewujudkan tujuan memperoleh keuntungan tertentu bersepakat untuk bertindak sebagai  satu kesatuan , yakni sebagai satu subjek hukum mandiri.  Sedangkan menururt R. Soeroso, yang dimaksud dengan korporasi ialah suatu gabungan orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama sebagai satu subyek hukum tersendiri (personifikasi). Pada intinya defisini korporsi dari para ahli ini adalah sama, secara garis besar ialah suatu wadah yang terdiri dari sekelompok orang yang bertindak demi kepentingan badan hukum. Maka kami sependapat dengan pengertian koporasi tersebut.[3]

 2. Hak dan Kewajiban Badan Hukum sebagai Hak dan Kewajiban Manusia.

       Tindakan dari suatu badan hukum selalu merupakan tindakan dari manusia yang ditunjukkan sebagai tindakan badan hukum. Tindakan-tindakan ini adalah tindakan dari para individu yang bertindak sebagai organ dari badan hukum tersebut.  Tindakan dan penghindaran tindakan dari sebuah badan hukum, merupakan tindakan atau penghindaran tindakan dari manusia-manusia yang terlibat di dalamnya.

Karena peraturan hukum dapat membebankan kewajiban dan memberikan hak hanya kepada manusia, karena hanya perbuatan manusia yang dapat diatur oleh peraturan hukum, maka hak dan kewajiban sebuah korporasi sebagai badan hukum mesti juga merupakan hak dan kewajiban manusia perorangan.

 

3. Anggaran Dasar Korporasi (peraturan dan komunitas)

       Seorang individu bertindak sebagai organ korporasi/asosiasi jika tindakannya, menurut cara tertentu, berhubungan dengan peraturan khusus yang membentuk korporasi tersebut.  Peraturan atau organisasi inilah yang membentuk asosiasi. Peraturan atau organisasi yang membentuk asosiasi ini adalah Anggaran Dasar  atau statutanya, yakni seperangkat norma yang mengatur perbuatan dari para anggotanya. Maka korporasi hanya ada melalui anggaran dasar.  Korporasi dan anggaran dasarnya, yakni peraturan normatif yang mengatur pebuatan individu dan asosiasi (komunitas) yang dibentuk oleh  peraturan tersebut, bukan hal yang berbeda, keduanya identik. Individu-individu baru dikatakan “termasuk” ke dalam atau memebentuk sebuah asosiasi jika perbuatan mereka diatur oleh peraturan “dari” asosiasi tersebut. Selama perbuatannya tidak diatur oleh peraturan tersebut, individu-individu ini tidak “termasuk” anggota korporasi.

Komentar :

Kami sependapat dengan Hans Kelsen bahwa peraturan yang disebut Anggaran Dasar itu harus ada sebagai syarat terbentuknya suatu korporasi. Tanpa suatu peraturan yang melandasi dan mengikat, perkumpulan dari individu-individu tersebut hanyalah merupakan perkumpulan dari individu-individu biasa, bukan merupakan suatu korporasi.

 4.  Organ Komunitas

       Seorang individu bertindak sebagai organ komunitas hanya jika tindakannya itu ditentukan oleh peraturan menurut suatu cara tertentu. Kualitas seorang individu sebagai organ komunitas sepenuhnya terletak pada hubungannya dengan individu lainnya.  Pernyataan bahwa tindakan seseorang  ditafsirkan sebagai tindakan komunitas berarti bahwa tindakan individu tersebut diarahkan kepada pearturan yang digambarkan sebagai satu satuan, yang berarti diarahkan kepada komunitas sebagai personifikasi dari peraturan tersebut.

Komentar :

       Maksud dari pernyataan Hans Kelsen di atas ialah seorang individu dikatakan sebagai organ komunitas jika ia bertindak menurut peraturan komunitas tersebut dan dalam kepentingan komunitas tersebut.

 

5. Hubungan dengan Peraturan.

       Hubungan antara tindakan seorang individu dengan komunitas berkaitan dengan hubungan  antara suatu fakta dengan peraturan hukum yang menentukan fakta ini menurut cara tertentu, yakni peraturan hukum yang diperlakukan sebagai satu satuan.

Hubungan ini memungkinkan kita untuk berbicara tentang komunitas sebagai “pribadi” yang bertindak. Hubungan dengan komunitas ini mengandung personifikasi peraturan yang dianggap sebagai satu satuan.

 6. Badan Hukum sebagai Personifikasi Peraturan.

       Badan hukum merupakan  tatanan hukum yang mengatur perbuatan sejumlah individu , yaitu hal umum mengenai imputasi dari semua tindakan yang ditentukan oleh tatanan hukum tersebut. dalam hal ini yang disebut  “pribadi” fisik adalah personifikasi dari sejumlah norma yang mengatur perbuatan seorang individu tersebut. Dasar dari personifikasi pada prinsipnya adalah sama bagi kedua subyek hukum ini. Perbedaannya hanya terdapat di antara unsur-unsur yang memberi kesatuan kepada kompleksitas norma yang dipersonifikasikan. Disini ditekankan bahwa korporasi adalah bagian dari tatanan hukum yang membentuk Negara. Dengan demikian tatanan hukum yang membentuk suatu Negara berada dalam satu hubungan dengan badan hukum yang menundukan diri kepadanya bukanya dengan individu-individu yang oleh tatanan hukum ini dibebani kewajiban dan diberi hak.

Komentar :

       Hans Kelsen mengemukakan bahwa Anggaran Dasar Korporasi merupakan bagian dari hukum Negara. Hubungan antara keduanya ialah badan hukum menundukkan    diri kepada hukum Negara. Hukum Negara yang memberikan hak dan membebankan  kewajiban kepada badan hukum. Kami sependapat dengan pernyataan Hans Kelsen tersebut.

 7. Pembebanan Kewajiban dan Pemberian Wewenang kepada Badan Hukum.

       Hukum Negara yang membebankan kewajiban dan memberikan hak badan hukum, menjadikan perbuatan-perbuatan manusia sebagai isi dari kewajiban hukum dan objek dari hak hukum yang pelaksanaannya dilakukan secara tidak langsung. Tatanan hukum keseluruhan yang membentuk suatu Negara  hanya menentukan unsure  “orang “ (subyek) kepada tatanan hukum bagian yang membentuk korporasi , yakni  menyerahkannya kepada anggaran dasar korporasi. Tatanan ini menentukan individu yang melakukan tindakan penciptaan hak dan kewajiban korporasi, dan menggunakan hak dan kewajiban korporasi. Dengan adanya kewajiban maka diberi wewenang , tetapi fungsi membebani kewajiban dan memberi hak dibagi di antara dua tatanan hukum ini, dimana tatanan hukum bagian melengkapi tatanan hukum keseluruhan. Yang berfungsi sebagai penengah dalam proses ini adalah fungsi khas dari tatanan hukum bagian yang dipersonifikasikan sebagai badan hukum korporasi.

 Komentar :

       Untuk lebih jelasnya, hukum Negara mengatur organ korporasi secara langsung, hukum Negara membebankan kewajiban dan memberikan wewenang melalui Anggaran Dasar Korporasi yang menjadi landasan bagi organ-organ korporasi untuk melakukan suatu tindakan hukum.

 

8. Konsep Badan Hukum sebagai Konsep Bantu.

       Suatu tatanan hukum yang mengatur perbuatan sejumlah individu dapat dipandang sebagai “pribadi” (badan) yang berarti dapat dipersonifisikasikan. Badan hukum menurut pengertian teknis yang sempit diasumsikan jika organ-organ yang dianggap sebagai “pribadi” mampu menggambarkan korporasi dari sudut hukum, yakni individu-individu yang mampu melakukan transaksi hukum, yang mengikat semua anggota atas nama komunitas, yakni atas nama individu-individu yang termasuk dalam korporasi, jika tanggung jawab komunitas dibatasi menurut suatu cara tertentu. tanggung jawab komunitas dibatasi pada harta kekayaan badan hukum yang merupakan harta kekayaan bersama dari para anggotanya, dengan demikian para anggota badan hukum hanya bertanggung jawab terhadap kekayaan bersama, yaitu harta yang mereka miliki sebagai anggota korporasi tidak terhadap harta kekayaan perorangannya. Hal ini dimungkinkan jika “hukum Negara” memberikan kepribadian hukum kepada korporasi.

       Konsep bantu bermanfaat terutama ketika “hukum Negara” memberi efek-efek seperti yang diatas kepada pembentukan suatu korporasi, yaitu organ korporasi cakap melakukan transaksi-transaksi hukum atas nama korporasi, yakni atas nama anggotanya dan tanggung jawab perdata anggotanya terbatas atas kekayaan korporasi. Bila demikian, akan timbul hak dan kewajiban yang merupakan mlik para anggota korporasi yang sangat berbeda dengan hak dan kewajiban yang mereka miliki secara terpisah dari keanggotaannya. Maka akan memunculkan perbedaan, perbadaan ini terletak dalam fakta bahwa hak dan kewajiban yang disajikan sebagai hak dan kewajiban korporasi adalah hak dan kewajiban yang dimiki para individu anggota korporasi menurut cara tertentu, yakni cara yang berbeda dari cara mereka memiliki hak dan kewajiban tanpa menjadi anggota suatu korporasi.

9. Hak dan kewajiban dalam Hukum: Hak dan Kewajiban Kolektif dari Orang-Orang.

       Korporasi dianggap sebagai badan hukum yang mempunyai kewajiban untuk menjalankan suatu perbuatan tertentu maka individu yang dalam kapasitasnya sebagai organ korporasi harus melaksanakan kewajiban tersebut, ditentukan oleh  tatanan hukum bagian yang membentuk korporasi. Kewajiban dipikul oleh seorang individu tertentu. Tetapi karena individu-individu ini ditetapkan oleh tatanan hukum bagian yang membentuk korporasi,  individu ini harus melaksanakan kewajiban tersebut sebagai organ korporasi, maka dimungkinkan untuk menghubungkan kewajibannya dengan korporasi, yakni, “kewajiban korporasi”. Faktanya korporasi mempunyai kewajiban untuk melaksanakan suatu perbuatan tertentu berarti juga jika kewajiban itu tidak dipenuhi, maka sanksi  dapat ditujukan terhadap harta kekayaan yang dianggap sebagai harta kekayaan korporasi. Korporasi mempunyai mempunyai hak relative dan absolut seorang individu atausejumlah individu tidak terbatas melakukan perbuatan tertentu terhadap korporasi  dan jika kewajiban itu tidak terpenuhi maka timbul suatu sanksi dalam bentuk gugatanyang diajukan oleh “korporasi”. Hak korporasi dijalankan oleh individu-individu dalam kapasitasnya sebagai anggota yang berarti organ korporasi dalam arti luas. Namun biasanya hak dapat dijalankan idividu sesuai kehendak individu itu sendiri sedangkan anggaran dasar korporasi mengatur  hak yang dianggap sebagai hak korporasi yang harus dilaksanakan para anggotanya.  Dalam korporasi  hak tidak dalam bentuk perseorangan, melainkan secara kolektif. Hak suatu badan hukum adalah hak kolektif dari individu-individu yang perbuatannya diatur oleh tatanan hukum bagian yang membentuk komunitas yang digambarkan sebagai badan hukum.

Komentar :

Kami sependapat dengan hans Kelsen, hak-hak koperasi selalu dijalankan oleh individu-individu karena hanya manusia yang dapat menjalankan hak. Namun hanya individu-individu yang termasuk ke dalam korporasi yang mempunyai hak yang ditafsirkan sebagai hak korporasi dan kesemuanya telah diatur dalam Anggaran Dasar Korporasi.

 

10. Delik Perdata Suatu Badan Hukum

       Suatu badan hukum mempunyai kewajiban hukum berarti jika kewajiban hukum ini tidak dipenuhi maka sanksi akan dikenakan terhadap harta kekayaan badan hukum tersebut atas dasar gugatan oleh pihak yang mempunyai hak yang berkaitan dengan kewajiban badan hukum tersebut. ketika seseorang organ suatu badan hukum melakukan delik, biasanya organ ini tidak bertindak dalam kapasitasnya sebagai organ badan hukum. Delik tidak dituduhkan kepada badan hukum. Namun demikian suatu korporasi bisa bertanggung jawab atas delik yang dilakukan oleh salah seorang anggotanya jika delik itu berada dalam suatu hubungan tertentu dengan fungsi yang harus dijalankan oleh anggota tersebut sebagai organ korporasi. Dalam kasus demikian sanksi dapat ditujukan terhadap harta kekayaan korporasi, itu berarti bahwa para anggota korporasi bertanggung jawab secara kolektif atas delik yang harus dilakukan oleh salah seorang dari mereka. Dan korporasi bertanggung jawab atas delik dari korporasi itu sendiri.

 

11. Delik Pidana Suatu Badan Hukum.

       Ada ungkapan badan hukum tidak dapat bertanggung jawab atas sanksi pidana yang didasarkan atas fakta badan hukum tidak mempunyai perasaan bersalah, karena badan hukum bukan merupakan “pribadi” yang nyata. Argumentasi ini tidak sepenuhnya benar, jika dimungkinkan utuk menuduhkan suatu tindakan fisik yang dilakukan oleh seorang manusia kepada badan hukum walau badan hukum itu tidak memiliki fisik, maka mesti dimungkinkan untuk menuduhkan tindakan-tindakan fisik kepada badan hukum walaupun badan hukum itu tidak mempunyai jiwa. Badan hukum seringkali dihukum denda karena penipuan pajak yang didakwakan kepada badan hukum tersebut. tetapi dari sudut pandang kita, hukuman denda pada dasarnya tidak berbeda dari sanksi-sanksi perdata; keduanya ditujukan terhadap harta kekayaan dari badan hukum terhadap. Menjatuhkan hukuman denda kepada korporasi, tentu saja, tidak lebih problematik daripada menjatuhkan hukuman denda kepada korporasi, tentu saja , tidak lebih problematik daripada menjatuhkan sanksi perdata terhadap harta kekayaanya. Namun demikian, tampak tidak mungkin untuk menjatuhkan hukuman badan seperti hukuman mati atau penjara. Hanya manusia yang dapat dicabut nyawa atau kebebasannya. Tetapi kita menganggap korporasi sebagai “pribadi” (subyek hukum) yang bertindak karena kita menuduhkan tndakan-tindakan manusia kepada korporasi tersebut.  Hukuman badan dapat dijatuhkan kepada korporasi, mengandung masalah yang sama seperti  pertanyaan apakah korporasi dapat bertindak. Menuduhkan penderitaan mati atau penjara kepada korporasi yang anggotanya adalah individu-individu ini menafsirkan fakta ini sebagai hukuman korporasi. Sanksi yang diberikan terhadap korporasi tidak ditentuka secara perseorangan, melainkan kepada sekelompok individu yang ditentukan secara kolektif oleh peraturan hukum. Itulah makna dari pernyataan bahwa sanksi ditujuan kepada badan hukum dalam hal ini korporasi.

12. Badan Hukum dan Perwakilan.

       Saat ini sebagian besar ahli hukum menyadari bahwa badan hukum tidak bisa mempunyai kehendak sebagaimana seorang manusia mempunyai kehendak. Oleh karena itu mereka menjelaskan bahwa manusia, organ dari badan hukum, berkehendak atas nama badan hukum tersebut , bahwa organ-oragan ini yang mewujudkan kehendak, “bukan badan hukum itu sendiri. Pejelasan ini didukung dengan merujuk pada hubungan yang dianggap sama antara seorang anak kecil atau orang gila dengan walinya. Bada hukum itu sendiri tidak memiliki kehendak , tetapi menyerahkan hak dan kewajibannya kepada kehendak organnya persis seperti seorang anak dan orang gila yang tidak memiliki kehendak dan menyerahkan hak dan kewajibanya kepada walinya. Organ korporasi dianggap sebagai  satu jenis wali bagi korporasi begitu pula korporasi dianggap sebagai anak kecil atau orang gila. Namun demikian ada perbedaan esensial bahwa hubungan antara wali dengan orang yang berada dibawah perwalianya adalah hubungan antara dua individu , sedangkan hubungan antara organ dan badan hukum tidak demikian. Hubungan organ dengan organ dengan korporasi adalah hubungan antara seorang individu dengan suatu tatanan hukum khusus. Organ itu menciptakan hak dan kewajiban kolektif  bagi para anggota korporasi, organ itu bukan wakil dari korporasi melainkan wakil dari para anggotanya.

 Komentar :

Badan hukum mempunyai kehendak, walaupun hanya sebuah fiksi, kehendak itu diwakilkan oleh oragan-organ badan hukum tersebut yang merupakan manusia yang dapat berkehendak, hubungan ini dinamakan hubungan konsensual, kami sependapat dengan hans Kelsen mengenai hubungan badan hukum dan perwakilan ini.

 

13. Badan Hukum sebagai Entitas/Organisme Nyata.

       Teori bahwa badan hukum mempunyai kehendak, walaupun hanya sebuah fiksi, yakni kehendak organ yang dipertautkan kepadanya,oleh sebab itu tidak begitu berbeda dari teori bahwa badan hukum, khususnya korporasi, adalah suatu entitas nyata, organism, atau “superhuman” yang mempunyai kehendaknya sendiri yang bukan kehendak dari anggotanya, bahwa kehendak badan  hukum adalah kehendak nyata yang diakui oleh hukum Negara dan harus diakui. Gagasan korporasi adalah manusia nyata dengan kehendak nyata adalah gagasan dari tahap kepercayaan animisme yang menyebabkan manusia primitif memberikan “jiwa” kepada benda-benda di alam. Seperti animisme, teori hukum ini melakukan duplikasi objeknya pertama, tatanan hukum yang mengatur perbuatan individu-individu dipersonifikasikan, dan kemudian personifikasi ini dipandang sebagai entitas baru yang berbeda dari individu tetapi masih dalam bentuk misterius yang dibentuk oleh individu-individu tesebut. Hak dan kewajiban para individu yang ditetapkan oleh tatanan hukum ini kemudian dipertautkan kepada ”zat adi manusia” yang terdiri atas manusia-manusia. Dengan demikian  yang lainnya dihipostatiskan, yakni tatanan hukum itu dibuat menjadi substansi,dan substansi ini danggap sebagai  barang tersediri, suatu makhluk yang berbeda dari tatanan hukum dan manusia-manusia yang perbuatannya diatur oleh tatanan hukum ini.

 

14. Korporasi sebagai Kumpulan Manusia

       Menurut Gray “korporasi adalah suatu kumpulan orang-orang yang terorganisir yang diberikan kekuasaan oleh Negara untuk melindungi kepentingannya sendiri, dan kehendak yang menggerakan kekuasaan ini adalah kehendak orang-orang tertentu yang ditetapkan menurut organisasi korporasi” . Keunggulan definisi ini terlihat pada usahanya menghindarkan hipostatisi yang biasa. Tetapi dia mendekatinya secara berbahaya ketika dia mendefinisikan korporasi sebagai kumpulan orang-orang . Korporasi bukanlah kumpulan orang yang terorganisir melainkan organisasi orang-orang, yakni tatanan hukum yang mengatur perbuatan orang-orang. Pernyataan Gray bahwa Negara memberi kekuasaan kepada korporasi mengandung dua kali kekeliruan bukan Negara melainkan tatanan hukum nasional yang disebut Negara yang member kekuasaan, dan tatanan hukum nasional memberikan kekuasaan bukan kepada korporasi melainkan kepada orang-orang yang perbuatannya ditetapkan oleh organisasi korporasi.

 Komentar :

       Definisi korporasi menurut Hans Kelsen, korporasi adalah sekelompok individu  yang oleh hukum diperlakukan sebagai satu kesatuan , yakni sebagai “pribadi” yang mempunyai hak dan kewajiban individu-individu yang membentuknya. Sedangkan definisi korporasi menurut Gray ialah suatu kumpulan orang-orang yang terorganisir yang diberikan kekuasaan oleh Negara untuk melindungi kepentingannya sendiri, dan kehendak yang menggerakan kekuasaan ini adalah kehendak orang-orang tertentu yang ditetapkan menurut organisasi korporasi.

       Kami sependapat dengan Hans Kelsen yang mengemukakan bahwa pernyataan Gray mengandung kekeliruan. Gray menggunakan istilah orang-orang yang teroganisir, menurut kami kata “terorganisir” ini terdapat unsur paksaan, jadi orang-orang tersebut terkesan dipaksa untuk berorganisasi, bukan berkehendak untuk membuat suatu organisasi. Mengenai pernyataan Gray bahwa negara memberi kekuasaan kepada korporasi, hal ini juga keliru, menurut kami penggunaan istilah negara terlalu luas dalam hal ini, lebih tepat menggunakan istilah hukum negara karena terkait dengan pemberian kekuasaan/kewenangan.

Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Kelsen Hans, General Theory of Law and State, Russel&Russel, New York, 1973.

Kelsen Hans, Pengantar Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010

Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009.

R. Soeroso, PengantarIlmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006


[1]Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2009,hlm 76-80

[2] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 117

[3] R. Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar grafika, Jakarta, 2006, hlm 241

Categories: Pemikiran Penulis | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: