Pembangunan perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional, perlu didukung oleh kelembagaan perekonomian yang kokoh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Peningkatkan pembangunan perekonomian nasional dan sekaligus memberikan landasan yang kokoh bagi dunia usaha dalam menghadapi perkembangan perekonomian dunia dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi pada masa mendatang, perlu didukung oleh suatu undang-undang yang mengatur tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat PT) yang dapat menjamin terselenggaranya iklim dunia usaha yang kondusif.
Perseroan terbatas sebagai salah satu pilar pembangunan perekonomian nasional perlu diberikan landasan hukum untuk lebih memacu pembangunan nasional yang disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan. Selama ini perseroan terbatas telah diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disingkat UU No. 1 Tahun 1995), Namun, dalam perkembangannya ketentuan dalam Undang-undang tersebut dipandang tidak lagi memenuhi perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat, karena keadaan ekonomi serta kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi sudah berkembang begitu pesat, khususnya pada era globalitasi. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (yang selanjutnya disingkat UU No. 40 Tahun 2007 ) adalah peraturan hukum baru yang mengatur Tentang Perseroan Terbatas. Undang-undang ini disahkan oleh Presiden dan di undangkan di Jakarta oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus 2007, yang terdiri dari 14 Bab dan 161 pasal dan mulai berlaku sejak tanggal diundangkan. Berdasarkan ketentuan Pasal 160 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentantg Perseroan Terbatas dinyatakan bahwa : Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3587), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
Perlu diperhatikan bahwa selama perseroan belum memperoleh status badan hukum, semua pendiri, anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris bertanggung jawab secara tanggung renteng atas perbuatan hukum tersebut. Selagi perseroan belum memperoleh status badan hukum, tidak dapat diadakan RUPS dimana keputusan diambil berdasarkan suara setuju mayoritas. Karenanya setiap perubahan akta pendirian perseroan hanya dapat dibuat apabila disetujui oleh semua pendiri dan perubahan tersebut harus dituangkan dalam akta notaris yang merupakan akta partij dalam Bahasa Indonesia yang ditanda tangani oleh semua pendiri atau kuasa mereka yang sah. Perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri perseroan sebelum perseroan didirikan yaitu pada saat perbuatan hukum pendiri yang mengatasnamakan perseroan setelah perseroan berdiri berbentuk dengan akta pendirian yang dibuat oleh notaris, kesemuanya akan beralih menjadi tanggung jawab perseroan makakala perseroan telah disahkan sebagaimana badan hukum. Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul akibat perbuatan hukum yang dilakukan oleh pendiri beralih menjadi hak dan kewajiban dari perseroan. Pendiri sudah terlepas dari hak dan kewajibannya yang timbul akibat perbuatan hukum yang dilakukannya terhadap pihak ketiga.
A. Badan Hukum Perseroan Terbatas
Pengertian Perseroan Terbatas (PT) menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor : 40 Tahun 2007 dinyatakan bahwa : “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.[1]
Untuk dapat disebut sebagai perseroan terbatas suatu badan usaha harus mempunyai ciri-ciri antara lain harus mempunyai kekayaan sendiri, ada pemegang saham sebagai pemasok modal yang tanggung jawabnya tidak melebihi dari nilai saham yang diambilnya (modal yang disetor) dan harus ada pengurus yang terorganisir guna mewakili perseroan dalam menjalankan aktivitasnya dalam lalu lintas hukum di luar maupun di dalam pengadilan dan tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap perikatan-perikatan yang dibuat oleh perseroan terbatas. Ini berarti bahwa badan usaha disebut perseroan harus menjadi dirinya sebagai badan hukum, sebagai subyek hukum yang berdiri sendiri mempunyai harta kekayaan tersendiri terpisah dari harta kekayaan para pendirinya, pemegang saham, dan para pengurusnya. Menurut Sumarti[2], walaupun dalam peraturan lama tidak secara tegas menyatakan perseroan terbatas adalah badan hukum, namun dari pasal 40 (2) KUHD yang menyatakan bahwa : “Pesero-pesero atau pemegang saham tidak bertanggung jawab lebih dari pada jumlah penuh saham-saham itu”, dan dari bunyi Pasal 45 ayat 1 K.U.H.D yang menyatakan : “Pengurus tidak bertanggung jawab lebih dari pelaksanaan yang pantas dari beban yang diperintahkan kepadanya; mereka tidak terikat secara pribadi kepada pihak ketiga berdasarkan perikatan-perikatan yang dilakukan oleh perseroan”. Dapat disimpulkan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum. Baik dalam UU No. 40 Tahun 2007 dan UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang perseroan terbatas dinyatakan dengan tegas didalam pasal 1 ayat (1) seperti diatas bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum. Dengan demikian, kedudukan perseroan terbatas (PT) sebagai badan hukum tidak perlu lagi disimpulkan sebagaimana halnya dalam KUHD sebab telah dinyatakan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) yang menegaskan bahwa perseroan terbatas adalah badan hukum[3].
B. Perseroan Terbatas Sebagai Subyek Hukum Terpisah
Dalam dunia hukum perkataan orang (persoon) berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban dan disebut subjek hukum Dewasa ini subyek hukum itu terdiri dari :[4]
- manusia (natuurlijke persoon )
- badan hukum (rechtspersoon)
Dengan status PT sebagai badan hukum, maka sejak saat itu hukum memperlakukan pemilik atau pemegang saham dan pengurus atau Direksi, terpisah dari PT itu sendiri yang dikenal dengan istilah “separate legal personality” yaitu sebagai individu yang berdiri sendiri. Dengan demikian maka pemegang saham tidak mempunyai kepentingan dalam kekayaan PT, sehingga oleh sebab itu juga tidak bertanggung jawab atas utang-utang perusahaan atau PT. Ini dikenal dengan sebutan Corporate Personality, yang esensinya adalah suatu perusahaan mempunyai personalitas atau kepribadian berbeda dari orang yang menciptakannya. Maksudnya meskipun bila orang yang menjalankan perusahaan terus berganti, perusahaannya tetap memiliki identitas sendiri terlepas dari adanya penggantian para anggota pengurus ataupun pemegang sahamnya. Demikian pula kepentingan perusahaan tidak berhenti ataupun diulang kembali setiap terjadi pergantian manajer atau perubahan pemegang saham perusahaannya. Perusahaan dengan tanggung jawab terbatas, tidak hanya kepemilikan kekayaan oleh perusahaan saja yang terpisah dengan uang yang dimiliki oleh orang yang menjalankan perusahaan, melainkan juga pemegang saham perusahaan tidak bertanggung jawab atas utang-utang perusahaan atau PT. PT bisa mempunyai harta, serta hak dan kewajiban sendiri terlepas atau terpisah dari harta serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh para pesero pengurus atau pendiri.[5]
C. Tanggung Jawab Pemegang Saham
Tanggung jawab pemegang saham, dalam UUPT di atur dalam pasal 3, sedangkan dalam UUPTL di ataur dalam pasal 3, dan dalam WvK terdapat pada pasal 40 ayat (2). Berdasarkan pada pasal 3 UUPT dapat di ketahui bahwa pemegang saham PT bertanggung jawab terbatas sebasar saham yang di milikinya. Disebutkan dalam pasal 3 ayat (1) UUPT:
“pemegang saham perseruan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang yang di buat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki”
Pada dasarnya hal sama di atur pula dalam pasal 3 ayat (1) UUPT dengan kalimat melebihi saham yang di ambilnya, sedangkan pasal 3 ayat (1) UUPT dengan kalimat melebihi saham yang di miliki.
Sehubungan dengan tanggung jawab pemegang saham tersebut, WvK juga mengatur yang sama yaitu tanggung jawab pemegang saham adalah tanggung jawab terbatas tapi dengan redaksi yang berbeda. Pasal 40 ayat (2) wVk menyatakan, para persero atau pemegang saham atau andil tersebut tidak bertanggung jawab untuk lebih dari pada jumlahnya penuh andil andil itu”. Persamaan dari ketiga undang undang tersebut adalah selalu menggunakan kalimat negatif: tidak bertanggung jawab dan bukan dengan kalimat positif bertanggung jawab.
Mengenai istilah perseroan terbatas, kata terbatas di sebabkan berlakunya tanggung jawab pemegang saham dari suatu perseroan. Dengan demikian, yang terbatas bukan besarnya modal atau kegiatan usahanya tetapi penunjukan adanya tanggung jawab terbatas dari pemegang saham dan ini merupakan ciri khas dari suatu PT, seperti halnya pada persekutuan firma yaitu adanya tanggung jawab rentang atau menenaggung atau bertanggung jawab secara pribadi dan untuk sepenuhnya (pasal 18 Wvk) dari para sekutu persekutuan tersebut.
Tentang tanggung jawab terbatas pemegang saham menurut pasal 3 ayat (1) UUPT di atas terdapat penerobosannya yang diatur dalam pasal 3 ayat (2) UUPTL. Menurut kedua ketentuan tersebut bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi tidak berlaku apabila:[6]
- persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
- pemegang saham bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi
- pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan atau
- pemegang saham yang bersangkutan baimlangsung atau tidak langsung secara melawan hukum hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.
D. Tanggung Jawab antar Para Pihak dalam Perusahaan.
Undang-Undang Perseroan Terbatas memperkenalkan beberapa macam sistem otoritas bagi para pihak dalam suatu perseroan. Perbedaan sistem otoritas ini pula yang membedakan tanggung jawab diantara masing-masing pihak tersebut. Sistem otoritas dalam uupt dibedakan sebagai berikut:[7]
- Sistem majelis
Seseorang tidak dapat bertindak sendiri terlepas satu sama lain dalam hal mewakili suatu kelompok. Melainkan harus bertindak secara bersama-sama (majelis). Sistem otoritas secara majelis ini ini tidak berlaku bagi direksi perusahaan. Sistem ini hanya berlaku bagi organ komisaris seperti di tegaskan dalam pasal 94 ayat (3) UUPT maka jika komisaris lebih dari satu orang , maka mereka merupakan sebiuah majelis. Kemudian ditegaskan lagi dalam penjelasan atau pasal 94 ayat (3) UUPT bahwa sebagai majelis, maka kosaris tidak dapat bertindak sendiri-sendiri untuk mewakili perseroan. Dengan demikian sejauh perbuatan tersebut dilakukan secara majelis, maka tanggung jawab hukumpun di tanggung secara bersama-sama (renteng)
2. Sistem individual representatif
Sistem individual representatif memperkenalkan secara otoritas dengan mana seseorang bertindak dengan sendiri untuk mewakili suatu kelompok. Sistem otoritas seperti inilah yang pada prinsipnya diberlakukan oleh UUPT terhadap organ direksi. Berlakunya sistem sistem individual representatif ini bagi seseorang direktur muncul dalam dua segi sebagai berikut :
a. Dalam kewenangan untuk mewakili perseroan.
Dalam hal ini seperti yang disebutkan dalam pasal 83 ayat (1) UUPT bahwa jika direktur lebih dari satu orang, maka berwenang untuk mewakili perseroan adalah setiap anggota direksi,kecuali ditentukan lain oleh :
(1) UUPT sendiri, misalnya seperti yang dimaksud dalam pasal 84 ayat (1) nya, dan/ atau (2) Anggaran dasar.
b. Dalam hal ada kesalahan direktur
Jika seorang anggota direksi melakukan kesalahan (termasuk kelalaian) dalam menjalankan tugasnya, maka dia akan bertanggung jawab penuh secara pribadi (bukan tanggung jawab bersama) jadi pada prinsipnya anggota direksi yang lain terbebas dari tanggung jawabnya. Liat pasal 85 ayat (2) UUPT.
3. Sistem kolegial.
Berbeda dengan organ komisaris yang melaksanakan tuçi secara majelis, maka organ direksi melaksanakan tugas-tugas perseroan secara kolegial.” Lihat penjelasan atas Pasal 83 ayat dan UUPT. lni berarti bahwa dalam hal lebih dan seorang diri sungguhpun dibuka kemungkinan bagi seorang direktur untuk mewakili perseroan tanpa perlu ikut direktur yang lainnya, tetapi sejauh masih merupakan tindakan perseroan dan tidak melanggar prinsip “tugas semi Fiduciary” tersebut dalam Pasal 85 UUPT, maka menurut Pasal 82 juncto Pasal 83 UUPT, direktur yang lainnya yang sebenarnya tidak ikut berbuat, juga ikut bertanggung jawab secara bersama-sama (renteng). lnilah makna sistem perwakilan “kolegial” dari direktur.
4. Prinsip Presumsi Kolegial
Prinsip ini berlaku tidak ubahnya dengan prinsip umum dan tanggung jawab kolegial, yakni tanggung jawab renteng, misalnya di antara para direktur, jika salah seorang direktur menyebabkan kerugian bagi orang lain sejauh hal tersebut dilakukannya tidak dalam hal melanggar anggaran dasar, atau melanggar “tugas semi fiduciary” dari direktur. Hanya saja, terhadap prinsip presumsi kolegial ini dibuka kemungkinan pengecualiannya dengan sistem pembuktian terbalik (ompkering van bewijst last). Artinya kepada anggota direktur diberikan kemungkinan untuk mengelak dari tanggung jawab renteng jika dia dapat membuktikan bahwa dia tidak bersalah.
5. Prinsip Tanggung jawab Individual Non Representatif.
Pada prinsipnya seseorang harus bertanggung jawab individu atas segala tindakan yang dilakukannya secara individu pula. lnilah yang disebut prinsip tanggung jawab individual non representatif. Demikian juga kewenangan (diikuti dengan tanggung jawab) yang diberikan kepada setiap pemegang saham, tanpa melihat berapa persen saham yang diwakilinya, dapat menggugat perseroan ke Pengadilan karena ketidakadilan atau ketidakwajaran yang dilakukan oleh Rapat Umum Pemegang Saham, direksi atau komisaris vide Pasal 54 ayat (2) UUPT.
6. Prinsip Tanggung Jawab Representatif Pengganti.
Seorang pekerja dalam hal melakukan tugasnya menerbitkan kerugian bagi orang lain, maka dalam hal ini tidak berlaku prinsip tanggung jawab non representatif. Karena, sungguhpun teori vicarious liability (tanggung jawab pengganti) tidak dengan tegas dianut oleh sistem hukum kita, tetapi sudah mulai ada yurisprudensi maupun hukum kerja yang mengarah ke sana. Karena itu pula, jika seorang pekerja dalam melakukan tugasnya ternyata kemudian menimbulkan kerugian kepada pihak lain, maka ada kemungkinan atasannya, termasuk direktur yang membawahinya, atau bahkan perusahaannya yang harus menanggung beban tanggung jawab. Dalam hal ini sudah berlaku prinsip tanggung jawab representatif pengganti. “Representatif ” karena pekerja tersebut bertindak untuk perusahaan (dalam menjalankan tugasnya), dan pengganti karena atasannya atau perusahaannya harus mengambil alih tanggung jawabnya.
7. Sistem Tanggung Jawab Kolektif Representatif
Suatu kelompok orang tertentu yang ikut terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas perseroan dapat mewakili atau menjalankan tugas perseroan secara bersama-sama, dengan tanggung jawab juga bersama. Sistem seperti ini dapat disebut dengan sistem tanggung jawab secara kolektif representatif
8. Sistem Tanggung Jawab Kolektif Non Representatif.
Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah bahwa sekelompok orang tertentu yang merupakan pihak yang terlibat dalam perusahaan diberikan kewenangan secara kelompok tetapi tidak untuk mewakili atau bertindak untuk dan atas nama perseroan, dan selanjutnya kelompok tersebut juga ikut memikul tanggung jawab secara kelompok pula. UUPT memperkenalkan sistem tanggung jawab kolektif yang non representatif ini yang diberikan kepada pihak yang terlibat dalam perseroan, yaitu kepada kelompok pemegang saham dan kelompok pekerja.
Implikasi Status Badan Hukum PT terhadap Tanggung Jawab Organ Perseroan Terbatas
Dengan dimulainya status badan hukum PT, maka ada beberapa implikasi yang timbul terhadap beberapa pihak yang terkait di dalam PT. Implikasi tersebut berlaku terhadap pihak pihak berikut ini:
A. Pemegang Saham PT
Setelah PT berstatus sebagai badan hukum, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) UUPT maka pemegang saham PT tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan serta tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang telah diambilnya. Dengan demikian, pertanggungjawaban pemegang saham dalam PT itu terbatas, pemegang saham dalam PT secara pasti tidak akan memikul kerugian hutang PT lebih dari bagian harta kekayaan yang ditanamkannya dalam PT. Sebaliknya, tanggung jawab dari perusahaan (PT) itu sendiri tidak terbatas, apabila terjadi hutang atau kerugian-kerugian dalam PT, maka hutang atau kerugian itu akan semata-mata dibayar secukupnya dari harta kekayaan yang tersedia dalam PT. Hal tersebut dikarenakan adanya doktrin corporate separate legal personality yang esensinya bahwa suatu perusahaan, dalam hal ini PT, mempunyai personalitas atau kepribadian yang berbeda dari orang yang menciptakannya. Doktrin dasar PT adalah bahwa perseroan merupakan kesatuan hukum yang terpisah dari subjek hukum pribadi yang menjadi pendiri atau pemegang saham dari perseroan tersebut. Ada suatu tabir (veil) pemisah antara perseroan sebagai suatu legal entity dengan para pemegang saham dari perseroan tersebut. Berkaitan dengan keterbatasan tanggung jawab pemegang saham PT seperti tersebut di atas, dalam hal-hal tertentu dapat ditembus atau diterobos, sehingga tanggung jawab pemegang saham menjadi tidak lagi terbatas. Penerobosan atau penyingkapan tabir keterbatasan tanggung jawab pemegang saham PT (corporate veil) itu dikenal dengan istilah piercing the corporate veil atau lifting the corporate veil. Doktrin piercing the corporate veil yang notabene merupakan doktrin hukum perseroan di Common Law System itu telah diintegrasikan ke dalam UUPT yang ide dasarnya dituangkan dalam Pasal 3 ayat (2) UUPT. Dalam ketentuan tersebut dikeahui bahwa untuk terjadinya piercing the corporate veil dipersyaratkan beberapa hal, sebagai berikut:
- persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi
- pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan semata-mata untuk kepentingan pribadi;
- pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau
- pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang perseroan.
Dari ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT itu dapat diketahui bahwa tanggung jawab pemegang saham yang sifatnya terbatas di dalam PT yang sudah berstatus badan hukum itu menjadi tidak berlaku lagi apabila pemegang saham melakukan hal-hal seperti tercantum dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b sampai dengan d seperti tersebut di atas.
B. Pendiri PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap keterbatasan tanggung jawab dari para pendiri PT. Berdasarkan Pasal 11 UUPT, setelah PT berstatus sebagai badan hukum maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri PT pada masa sebelum PT disahkan sebagai badan hukum, yaitu: pertama, perbuatan hukum tersebut mengikat PT setelah PT menjadi badan hukum, dengan persyaratan:
- PT secara tegas menyatakan menerima semua perjanjian yang dibuat oleh pendiri;
- PT secara tegas menyatakan mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat pendiri walaupun perjanjian tidak dilakukan atas nama PT; atau
- PT mengukuhkan secara tertulis semua perbuatan hukum yang dilakukan atas nama PT.
Kemungkinan yang kedua, perbuatan hukum tersebut tidak diterima, tidak diambil alih atau tidak dikukuhkan oleh PT, sehingga masing-masing pendiri yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat yang timbul. Kalau kemungkinan kedua ini yang terjadi maka pertanggungjawaban dari pendiri terhadap PT menjadi tanggung jawab pribadi.
C. Direksi PT
Direksi PT menurut ketentuan Pasal 1 butir 4 UUPT adalah organ perseroan yang bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sebagaimana halnya tanggung jawab terbatas pemegang saham PT, keterbatasan tanggung jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT. Hal tersebut dapat diketahui dari Pasal 85 ayat (2) UUPT yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Dari ketentuan itu secara acontrario dapat diartikan bahwa apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggung jawab penuh secara pribadi. Selama direksi menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, maka anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari PT. Sebaliknya, oleh karena menjadi anggota direksi adalah berarti menduduki suatu jabatan, maka orang yang menduduki jabatan itu harus memikul tanggung jawab apabila kemudian tugas dan kewajibannya tersebut dilalaikan atau jika wewenangnya disalahgunakan.
Berkaitan dengan hal tersebut, UUPT sudah mengatur bentuk pertanggungjawaban direksi atas kelalaian ataupun kesalahannya di dalam menjalankan pengurusan PT, yaitu:
- Pasal 23 UUPT, yang menyatakan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan 22 belum dilakukan, maka direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan perseroan.
- Pasal 85 ayat (2) UUPT, yang mengatur bahwa setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Menurut Pasal 85 ayat (3) UUPT, direksi atas kesalahan atau kelalaiannya menyebabkan kerugian pada perseroan bahkan dapat digugat di Pengadilan Negeri oleh pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara sah.
- Pasal 90 ayat (2) UUPT, yang menentukan bahwa dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan kekayaan perseroan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan tersebut, maka setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas kerugian itu, kecuali apabila direksi dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena kesalahan atau kelalaiannya, maka direksi tidak bertanggung jawab secara tanggung renteng.
D. Komisaris PT
Status badan hukum PT juga berpengaruh terhadap tanggung jawab komisaris PT. Sebagaimana dalam Pasal 97 UUPT, komisaris bertugas mengawasi kebijaksanaan direksi dalam menjalankan perseroan serta memberikan nasihat kepadadireksi. Sesusi dengan Pasal 100 ayat (1) UUPT, di dalam Anggaran Dasar juga dapat ditentukan tentang pemberian wewenang kepada komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu. Selain itu, menurut Pasal 100 ayat (2), berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan RUPS, komisaris dapat melakukan tindakan pengurusan perseroan dalam keadaan tertentu untuk jangka waktu tertentu. Dalam kondisi demikian, maka berlaku semua ketentuan mengenai hak, wewenang dan kewajiban direksi terhadap perseroan dan pihak ketiga. Oleh karena itu, ketentuan mengenai tanggung jawab terbatas direksi PT juga berlaku terhadap komisaris tersebut. Secara implisit, tanggung jawab komisaris juga terbatas sebagaimana tercantum dalam Pasal 98 ayat (2) UUPT, bahwa atas nama perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu per sepuluh) bagian dari seluruh saham dengan hak suara yang sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri terhadap komisaris yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada perseroan.
Beberapa perubahan dan penambahan proses pendirian perseroan terbatas sebagaimana dalam UU No. 40 Tahun 2007, dibandingkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1995 dan KUHD secara garis besar adalah :
|
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas, maka penulis simpulkan bahwa dalam perkembangan ketiga peraturan perundang-undangan tersebut dari Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tidak terdapat perubahan yang mendasar mengenai tanggung jawab pemegang saham dalam perseroan terbatas. Perubahan hanyalah dari rumusan kata-kata yang digunakan, sedangkan dari segi makna secara substansial adalah sama yaitu tanggung jawab pemegang saham perseroan hanya sebatas pada nilai saham yang dimilikinya pada perseroan tersebut.
Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Budiarto, Kedudukan hukum dan tanggung jawab pendiri perseroan terbatas, Ghalia Indonesia, Tahun 2002
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dn tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Tahun 1989
Hardijan Rusli, Perseroan Terbatas dan Aspek Hukumnya, Pustaka Sinar Harapan Jakarta 1997
Man S Sastrawidjaja, Perseroan Terbatas Menurut Tiga Undang-Undang, Alumni, Bandung, 2008
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996
Siti Sumarti Hartono, Perseroan Terbatas Dalam Pendirian, Kertas Kerja Dalam Siminar Sehari Hukum Perseroan dan Hukum Pertanggungan (Asuransi) Dalam Kenyataan dan Harapan. Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. 1988.
Widjaya, Ray I.G, Berbagai peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Usaha, Hukum Perusahaan, Megapoin 2006
Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang perseroan terbatas
Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas
Lembar Negara Nomor 4756, Tambahan Nomor : 106/2007
[1] Indonesia, Undang-undang Tentang Perseroan Terbatas, Nomor 40 Tahun 2007, Lembar Negara Nomor 4756, Tambahan Nomor : 106/2007
[2] Siti Sumarti Hartono, Perseroan Terbatas Dalam Pendirian, Kertas Kerja Dalam Siminar Sehari Hukum Perseroan dan Hukum Pertanggungan (Asuransi) Dalam Kenyataan dan Harapan. Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta. 1988. Hal. 6.
[3] Agus Budiarto, Kedudukan hukum dan tanggung jawab pendiri perseroan terbatas, Ghalia Indonesia, Tahun 2002, hal.26-27
[4] C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dn tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Tahun 1989, hal 117
[5] Widjaya, Ray I.G, Berbagai peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Usaha, Hukum Perusahaan, Megapoin 2006, hal. 128-132
[6] Man S Sastrawidjaja, Perseroan Terbatas Menurut Tiga Undang-Undang, P.T Alumni, Bandung, 2008, hal.29
[7] Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.74