Setujukah jika Indonesia diterapkan Liberalisasi Jasa dibidang Hukum?


       Pada akhir abad 18, pandangan perdagangan dari sitem perdagangan merkantilisme mengalami pergeseran ke arah sistem perdagangan yang lebih bebas (liberalisasi pasar). Tokoh-tokoh utama yan mempelopori system perdagangan bebas yaitu Adam Smith (melalui teori keunggulan absolut, dalam bukunya yang berjudul “The Weakt of  Natoions”) dan David Ricardo (melalui teori keunggulan kompratif).[1]

       Dasar pemikiran mengenai perdagangan bebas muncul pada masa perkembangan tokoh-tokoh aliran klasik. Aliran klasik merupakan aliran yang beranggapan bahwa suatu perekonomian akan sejalan secara efisien, apabila tidak ada campur tangan pemerintah dan setiap individu dalam masyarakat diberikan kebebasan yang luas untuk berusaha sendiri. Untuk mengatur hubungan antar negara yang mempunyai yurisdiksi dan kepentingan, maka dibutuhkan suatu lembaga multilateral yang khusus untuk mengatur hubungan negara-negara tersebut dalam pelaksanaan perdagangan di antara mereka. Hal inilah yang mendasari dilaksanakannya konferensi internasional multilateral di Bretton Woods.[2]

      Perdagangan bebas merupakan tantangan masa kini yang harus dihadapi dengan jalan moderat, namun cerdas melalui perbaikan aturan main hukum ekonomi internasional, dengan tujuan untuk menciptakan tatanan ekonomi internasional yang berkeadilan dengan memperhatikan keseimbangan dan kesetaraan hubungan antara negara maju maupun negara berkembang.[3]

     World Trade Organisation (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia adalah badan antar-pemerintah, yang mulai berlaku 1 Januari 1995. Tugas utamanya adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan internasional; penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya.[4]

       Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi. Struktur dasar persetujuan WTO, meliputi:[5]

  1. Barang/ goods (General Agreement on Tariff and Trade/ GATT)
  2.  Jasa/ services (General Agreement on Trade and Services/ GATS)
  3. Kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/ TRIPs)
  4.  Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements)

       Praktek perdagangan internasional yang secara standard dan praktis menjadi pedoman dalam satu form sederhana memotong batasan-batasan hukum kontrak yang tradisional dan rumit.[6]

       Pasal 2 Konvensi Wina Tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian menyatakan bahwa treaty merupakan suatu perjanjian dimana dua atau lebih negara mendirikan atau berusaha membangun suatu hubungan di antara mereka berdasarkan hukum Internasional. Bertolak dari itu maka dapat ditegaskan bahwa perjanjian WTO merupakan salah satu bentuk dari treaties sehingga mengikat negara yang meratifikasinya. Sementara itu GATS merupakan salah satu annex dari Perjanjian WTO yaitu annex 1B. Pasal 1 ayat (2) Perjanjian WTO menegaskan bahwa “The agreement and associated legal instruments included in Annexes 1, 2 and 3 are integral parts of this agreements, binding on all members”.  Dengan demikian, bila suatu negara menandatangani dan mengesahkan Perjanjian WTO, dengan sendirinya ketentuan-ketentuan yang diatur dalam GATS juga mengikat negara tersebut.[7]

       GATS (General Agreement Trade in Services) adalah salah satu perjanjian di bawah WTO yang mengatur perjanjian umum untuk semua sektor jasa-jasa.  Aturan GATS mengharuskan anggota WTO untuk lebih melakukan liberalisasi perdagangan jasa.

       GATS memberikan kesempatan bagi negara anggotanya untuk mengadakan revisi dan merancang ketentuan perundangan yang mempengaruhi perdagangan jasa agar sejalan dengan prinsip-prinsip GATS juga GATT. Prinsip-prinsip utama GATS diantaranya yaitu prinsip non-diskriminasi yang terdiri dari most favoured nation principle (MFN Principle) dan national treatment, prinsip liberalisasi akses pasar, serta prinsip transparansi. Sedangkan prinsip-prinsip WTO yang mempengaruhi perdagangan jasa diantaranya prinsip MFN, national treatment, dan government procurement.[8]

       GATS berisikan dua kumpulan kewajiban utama, yaitu kumpulan tentang konsep, prinsip dan aturan yang menetapkan kewajiban yang berlaku bagi seluruh “measures” yang mempengaruhi perdagangan jasa dan kumpulan kewajiban khusus hasil negosiasi yang merupakan komitmen yang berlaku untuk sektor jasa dan sub sektor jasa yang terdaftar pada “Schedule of Commitment”.[9]

       Perundingan mengenai perumusan ruang lingkup (coverage) GATS merupakan salah satu topik utama pada  waktu perundingan Putaran Uruguay. Permasalahannya adalah apakah GATS akan mencakup seluruh sektor jasa atau tidak. Sebagian besar anggota, termasuk negara sedang berkembang menginginkan universal approach, artinya GATS mencakup seluruh sektor jasa dengan pertimbangan untuk menciptakan keseimbangan kepentingan dan untuk mencegah dikeluarkannya suatu sektor jasa tertentu yang merupakan kepentingan sesuatu negara. Sebagaimana yang terjadi pada sistem GATT 1947 yang mengesampingkan pertanian dan tekstil.[10] Sektor hukum, merupakan salah satu sektor yang menjadi perdebatan saat ini karena sistem hukum antara negara-negara anggota WTO tidak sama, sebagian merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental, sebagian menganut sistem hukum Anglo Saxon. Dalam cakupan GATS sektor hukum tidak secara tegas disebutkan, namun sektor ini dapat dimasukkan dalam kategori sektor jasa yang pertama yaitu sektor jasa professional.

       Liberalisasi perdagangan merupakan  “pedang bermata dua” bagi negara manapun di dunia.[11]   Di satu sisi ia memberikan kesempatan yang lebih luas dan lebih mudah kepada setiap negara untuk melakukan ekspansi usaha serta sekspor tenaga kerja ke negara lain, di samping meningkatkan potensi Foreign Direct Investment (FDI).  Di sisi lain, ia menjadi ancaman karena perusahaan dan tenaga kerja dari negara lain dapat membanjiri suatu negara sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan persaingan antara perusahaan dan tenaga kerja asing.[12]

       Komitmen liberalisasi sektor jasa jelas akan mempunyai dampak terhadap kebijakan dan pelaksanaan pembangunan nasional. Menilik berbagai pengalaman yang telah terjadi, liberalisasi sektor jasa hanya akan menguntungkan negara-negara maju, Implementasi GATS semakin menyudutkan posisi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia yang umumnya sangat lemah dalam sektor jasa termasuk sektor jasa di bidang hukum. Terkait dengan hal tersebut, setujukah anda jika di Indonesia didakan liberalisasi jasa di bidang hukum?

       Sebelum membahas mengenai liberalisasi jasa di bidang hukum tersebut, sekilas penulis akan mengingatkan pada GATS yang diberlakukan sebagai komitmen negara yang meratifikasinya, termasuk Indonesia.

A.    Sejarah GATS

       General Agreement Trade in Services (GATS) adalah salah satu perjanjian di bawah WTO (World trade organization) yang mengatur perjanjian umum untuk semua sektor jasa-jasa. Tujuannya adalah memperdalam dan memperluas tingkat libralisasi sektor jasa di Negara-negara anggota. Sehingga diharapkan perdagangan jasa di dunia bisa meningkat.

       Sejarah masuknya GATS dalam perjanjian dalam perjanjian WTO. yaitu dari Perjanjian Umum Bea Masuk dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tarif and Trade) yang didirikan tahun 1947, sebagai bagian dari kesepakatan di Bretton Woods, Amerika. Sejak 1947 ada delapan perundingan dagang dimana Putaran Uruguay adalah perundingan paling akhir yang terpanjang (berlangsung dari September 1986 hingga April 1994), rumit dan penuh kontroversi sebelum melahirkan WTO akhirnya pada tanggal 1 january 1995 WTO berdiri dan semua kesepakatan perjanjian GATT kemudian diatur di dalam WTO plus isu-isu baru yang sebelumnya tidak diatur seperti perjanjian TRIPs (Hak atas Kekayaan Intelektual yang terkait dengan perdagangan), Jasa (GATS), dan aturan investasi (TRIMs). Dan perjanjian-perjanjian ini tidakj statis bisa berubah-rubah.

       GATS (General Agreement on Trade in Services atau Perjanjian Perdagangan Jasa) adalah salah satu dari 15 Perjanjian Putaran Uruguay yang diwajibkan oleh WTO Kerangka GATS dinegosiasikan selama 1986-1994 perundingan perdagangan internasiona. Negara-negara maju ingin seperangkat aturan perdagangan internasional mirip dengan GATT (Perjanjian Umum tentang Perdagangan dan Tarif, hal yang kami sebelum WTO, yang berurusan dengan perdagangan barang) yang akan berlaku untuk perdagangan jasa – khususnya perbankan, telekomunikasi, dan jasa keuangan. Banyak negara berkembang ingin aturan untuk menjamin warga mereka dapat mengambil tenaga kerja mereka ke negara-negara maju untuk dimasukkan.

       Hasilnya adalah GATS saat ini, yang membawa efek pada 1 Januari 1995 bersama dengan semua lain perjanjian WTO dan aturan. GATS mengharuskan Anggota WTO untuk memulai tambahan negosiasi untuk lebih liberalisasi perdagangan jasa. Putaran terakhir perundingan GATS adalah diluncurkan pada tahun 2000. Negosiasi saat ini program kerja WTO disepakati di Doha, Qatar, pada bulan November dan sekarang dikenal sebagai “Doha Development Round“, seperti yang seharusnya untuk mengatasi isu-isu pembangunan berkelanjutan di seluruh dunia.

       Pembahasan masalah-masalah baru perdagangan internasional dalam Putaran Uruguay tidak lepas dari prakasa negara-negara maju dilatarbelakangi oleh kepentingan mereka dalam bidang-bidang tersebut. Pada masa itu negara-negara maju berupaya keras agar bidang-bidang perdagangan sektor jasa, investasi, dan bidang hak kekayaan intelektual dimasukkan dalam agenda perundingan mengingat mereka adalah pengekspor terbesar perdagangan dalam bidang-bidang tersebut. Hal ini tentu saja mendapat perlawanan yang cukup kuat dari negara-negara berkembang yang merasa bahwa liberalisasi dalam bidang-bidang tersebut hanya akan mendapatkan kerugian bagi mereka. Pertentangan anatara negara meju dan negara berkembang tersebut dikenal dengan konflik Utara (negara-negara maju) – Selatan (negara-negara berkembang).

       Perundingan mengenai perdagangan jasa merupakan salah satu perundingan yang berlangsung cukup alot. Perbedaan pandangan antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang mengenai penempatan perdagangan jasa dalam kewenangan WTO didasarkan pada kepentingan ekonomi yang berbeda. Bagi negara maju yang sebagian besar bertindak sebagai pengekspor jasa ke negara berkembang, dimasukkannya perdagangan jasa dalam wewenang WTO akan sangat menguntungkan mereka karena mereka akan dapat memperdagangkan jasa secara lebih leluasa dan terbuka. Sebaliknya bagi negara-negara berkembang yang mayoritas bertindak sebagai pengimpor jasa liberalisasi dalam perdagangan jasa berarti merugikan industri lokal mereka sendiri mengingat indusrti jasa merupakan industri yang masih muda dan baru berkembang sehingga dapat dipastikan bahwa industry mereka belum siap untuk menghadapi persaingan dengan perusahaan sejenis yang merupakan perusahaan asing yang berpengalaman.[13]

 

B.     Kumpulan Kewajiban GATS

       Secara garis besar GATS berisikan dua kumpulan kewajiban. Pertama adalah kumpulan tentang konsep, prinsip, dan aturan yang menciptakan kewajiban yang berlaku bagi seluruh measure yang mempengaruhi perdagangan jasa. Kedua adalah kumpulan-kumpulan tentang kewajiban khusus hasil negosiasi yang merupakan komitmen yang berlaku untuk sektor jasa dan sub-sektor jasa yang terdaftar pada Schedule of Commitment negara anggota. Di samping itu, perjanjian ini juga berisikan lampiran tentang sektor-sektor jasa tertentu yang mempunyai karakteristik khusus serta keputusan-keputusan dan Understanding.[14]  Kedua komponen ini merupakan satu kesatuan yang berlaku dan mengikat seluruh anggota WTO termasuk Indonesia.

       Kumpulan pertama GATS berisikan kewajiban umum yang beberapa di antaranya berlaku untuk seluruh sektor jasa (misalnya most favoured nation dan transparansi) dan beberapa hanya berlaku untuk Schedule of Commitment (misalnya Pasal XI tentang Payment and Transfer). Sementara itu, kumpulan kedua berupa komitment pembukaan akses pasar yang ditawarkan kepada anggota lain sebagai hasil perundingan. Secara lebih rinci GATS terdiri dari 6 Bagian, 29 Pasal dan 8 Lampiran (annex) yang dapat dikelompokkan ke dalam enam kelompok yaitu:[15]

  1. Kewajiban umum yang berlaku bagi semua anggota;
  2. Kewajiban khusus yang tercantum dalam Schedule of Commitment masing-masing anggota;
  3. Ketentuan pengecuailan terhadap kewajiban;
  4. Isu-isu untuk perundingan mendatang;
  5. Annex dan keputusan menteri yang menjelaskan berbagai aspek GATS;
  6. Masalah-masalah teknis, prosedural, dan administratif.

 

C.    Ruang Lingkup GATS

       Pasal 1 ayat (1) dan (2) GATS mengatur mengenai ruang lingkup perdagangan jasa. Perdagangan jasas menurut GATS meliputi empat mode pasokan, yaitu:

  1. Mode 1 adalah pasokan lintas batas (cross border supply) yaitu penyediaan jasa di dalam suatu wilayah negara anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota lainnya.
  2. Mode 2 adalah konsumsi luar negeri (consumtion abroad) yaitu penyediaan jasa dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah negara anggota lainnya.
  3. Mode 3 adalah kehadiran komersial (commercial presence) yaitu penyediaan jasa oleh penyedia jasa dari suatu negara anggota melalui kehadiran perusahaan jasa di dalam wilayah negara anggota lainnya.
  4. Mode 4 adalah pergerakan manusia (movement of natural person) yaitu pernyediaan jasa oleh penyedia jasa dari satu negara anggota melalui kehadiran natural person[16] dari suatu negara anggota di dalam wilayah negara anggota

       Cakupan GATS adalah semua sektor jasa, dalam perjanjian disebutkan minimal ada 12 sektor yang terdiri atas yaitu:

  1. Jasa bisnis termasuk jasa professional dan jasa computer;
  2. Jasa komunikasi.
  3. Jasa konstruksi dan teknik terkait;
  4. Jasa distribusi;
  5. Jasa pendidikan;
  6. Jasa lingkungan;
  7. Jasa keuangan (termasuk asuransi dan perbankan);
  8. Jasa kesehatan dan sosial;
  9. Jasa wisata dan perjalanan;
  10. Jasa rekreasi, budaya dan olah raga;
  11. Jasa transportasi dan;
  12. Jasa-jasa lainya kecuali jasa non komersil

 

D.    Prinsip-Prinsip GATS

       Prinsip-prinsip dalam GATS antara lain:

1. GATS mencakup seluruh sektor jasa yang diperdagangkan secara internasional.

2. Perlakuan most favoures nation (non discrimination).

Prinsip ini menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non diskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.[17] Sesuatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam Pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPs) dan tercantum pula dalam Pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).[18] Dalam GATS, negara-negara anggota WTO diwajibkan untuk memberlakukan perlakuan yang sama (MFN treatment) terhadap jasa-jasa atau para pemberi jasa dan suatu negara dengan negara lainnya.[19] Dalam perjanjian GATS, prinsip ini berlaku bagi seluruh sektor jasa kecuali sektor-sektor yang masih dinyatakan dikecualikan untuk sementara.

3.      National Treatment.

Menurut prinsip ini, produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.[20] Prinsip national treatment merupakan suatu kewajiban dalam GATS yang mana negara-negara secara eksplisit harus menerapkan prinsio ini terhadap jasa-jasa atau keegiatan jasa-jasa tertentu. Oleh karena itulah prinsip national treatment atau perlakuan nasional ini pada umumnya merupakan hasil dari negosiasi atau perundingan di antara negara-negara anggota.[21]

4. Transparansi

Prinsip transparansi diatur dalam Pasal III GATS yang mewajibkan semua anggota mempublikasikan semua peraturan perundangan, pedoman pelaksanaan, serta semua keputusan dan ketentuan yang berlaku secara umum yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang mempunyai  dampak pada pelaksanaan GATS.[22]

    • Peraturan harus obyektif dan beralasan.
    • Pembayaran internasional secara umum tidak terbatas.
    • Komitmen suatu negara (individual countries commitment) harus sebagai hasil perundingan dan diikat.

       Komitmen spesifik yaitu komitmen yang memuat daftar sektor yang dibuka dan  berapa besar akses pasar diberikan untuk sektor-sektor tersebut. Komitmen spesifik suatu negara dimuat dalam schedule of commitments.[23]

5. Peningkatan partisipasi negara berkembang;

       Hal ini dapat dilihat pada perlakuan khusus yang diberikan kepada negara sedang berkembang dalam penyampaian Schedule of Commitment. Di samping itu, kepada negara sedang berkembang juga diberi kemudahan dalam rangka meningkatan partisipasinya mmelalui perundingan Schedule of Commitment yang menyangkut:[24]

    • Peningkatan kapasitas jasa dalam negeri antara lain melalui akses kepada teknologi secara komersial;
    • Perbaikan akses terhadap jaringan distribusi dan informasi; dan
    • Liberalisasi akses pasar untuk sektor-sektor dan cara pemasokan yang menjadi kepentingan bagi ekspor negara berkembang (Pasal IV ayat 1 GATS).

        Kemudahan lainnya yang diberikan kepada negara sedang berkembang adalah dalam rangka negosiasi selanjutnya untuk membuka pasar. Kepada mereka diberikan fleksibilitas yang sukup untuk membuka sektor yang lebih sedikit, melakukan perluasasn akses apsar secara bertahap sejalan dengan situasi pembangunannya (Pasal XIX ayat (2) GATS). Selanjutnya dalam rangka membantu negara sedang berkembang, negara maju diwajibkan untuk mendirikan “contact point” untuk membantu negara berkembang dalam mengakses infromasi mengenai pasar masing-masing negara maju. [25]

6. Liberalisasi progresif

       Liberalisasi bertahap tersebut  dilakukan dengan mewajibkan semua anggota WTO untuk melakukan putaran negosiasi secara berkesinambungan yang dimulai paling lambat lima tahun sejak berlakunya Perjanjian WTO (sejak 1 Januari 1995). Negosiasi tersebut harus dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan measures yang berdampak buruk terhadap perdagangan jasa.[26]

7. Integrasi ekonomi;

       Kriteria yang diatur oleh Pasal V GATS tersebut dimaksudkan untuk memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan setiap kemungkinan yang dapat merugikan sebagai akibat dibentuknya kerjasama ekonomi regional. Secara umum, ketentuan tersebut dimaksudkan agar tingkat tariff atau non tariff barries yang rendah di antara sesame anggota kerja sama ekonomi regional tersebut tidak merugikan yang bukan anggota. Hambatan perdagangan sesudah kerja sama ekonomi regional tersebut terbentuk tidak boleh lebih tinggi dari sebelum kerja sama tersebut dibentuk.[27]

8. Keadaan darurat.

       Escape Clauses merupakan ketentuan penting dalam suatu perjanjian internasional. Escape Clauses membolehkan suatu  anggota dalam kondisi tertentu, untuk sementara menghindar dari satu aspek perjanjian tanpa merusak tujuan dar perjanjian tersebut secara keseluruhan. Escapa clause dalam suatu perjanjian memberikan kepastian bagi penandatanganan bahwa dalam situasi darurat, mereka dibenarkan untuk sementara menghindar dari komitmen yang telah diberikan.[28]

 

E.     Instrumen GATS.

       GATS sendiri terdiri dari beberapa instrumen yang menggunakan nama yang berbeda satu dengan lain, yaitu agreement untuk GATS, Decision untuk Ministerial Decision dan Understanding untuk Understanding Financial Services. Meskipun demikian baik agreement, ministerial decision maupun understanding, mengikat (binding) dengan alasan:

  1. Pasal xxix GATS yang menetapkan bahwa “lampiran –lampiran dari perjanjian ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian ini….;
  2. Final act yang menyatakan bahwa ketiga ketiga instrumen itu “embody the result of their negotiations and form integral part of this final act.
  3. Dalam Informal Note by the Chairman Group Negotiations on services (GNS) perihal MFN Exemptions and Negotiations of Initial Commitments, tanggal 30 Januari 1992 dijelaskan bahwa  “…..the adoption of the GATS means the adoption of the articles of the agreement, its annexes, decisions and understanding and the national schedules of commitments”.

       Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang dari sudut hukum internasional, bentuk dan nama adalah tidak relevan, namun sepanjang instrumen itu dicantumkan sebagai hasil perundingan Putaran Uruguay dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Perjanjian WTO, maka akan mengikat negara-negara peserta.[29]

             

LIBERALISASI JASA DI BIDANG HUKUM BAGI INDONESIA 

       Indonesia adalah Negara berkembang dengan 210 juta penduduk dan itu menjadi daya tarik bagi para penyedia jasa baik nasional maupun internasianal. Sejak tahun 1995 Indonesia telah menjadi anggota WTO menjadi kewajiban menaati aturan, perjanjian, kesepakatan yang di buat oleh WTO apabila melanggar akan mendapatkan sangsi karena keterikatanya secara legal dan tidak bisa ditarik lagi. Salah satu perjanjian itu adalah GATS dalam mengimplementasikanya dalam bidang jasa terbukanya sektor jasa–jasa asing di Indonesia mencakup dunia keuangan atau jasa perbankkan masuknya bank asing (Citybank,HSBC, dll.). Di dunia pendidikan banyak berdirinya lembaga-lembaga pendidikan asing dan sektor jasa lainya dan semua itu legal dan pada tahun 2007 disahkannya UU No. 25 tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Asing bagaimana para pemodal asing lebih leluasa dalam menanamkan modal mereka di Indonesia.[30]

       Kesepakatan Umum atas Perdagangan Sektor Jasa (GATS) mengatur bagaimana sektor jasa di seluruh 149 negara anggota WTO di liberalisasi. Sektor ini menjadi kepentingan negara maju karena sekitar 75 persen dari pasokan jasa di dunia berasal dari negara-negara tersebut.  Oleh karenanya pembukaan pasar jasa memang diinginkan oleh negara maju dan menguntungkan pemasok jasa yang terutama berasal dari perusahaan-perusahaan multinasional.

       Sektor jasa yang diliberalisasi untuk pemasok dari negara lain adalah semua sektor tanpa kecuali. Perundingan jasa telah melewati satu periode awal dimana setiap negara telah membuat komitmen berdasarkan tingkat dan kapasitas pasokan jasa yang dimilikinya. Komitmen ini disusun ketika WTO disahkan tahun 1994. Walaupun komitmen berdasar kapasitas  masing-masing Negara mungkin bias, karena sebagian besar Negara berkembang tidak mengetahui secara persis kapasitas pasokan jasa dan nilai impor yang sebenarnya. Sifat perdagangan jasa yang tidak terlihat apalagi jika dibandingkan dengan perdagangan barang, membuat sektor ini sulit dihitung secara tepat. Misalnya Indonesia dikenal mengekspor jasa tenaga kerja ke berbagai Negara, nilai pendapatannya haruslah diperhitungkan dengan devisa yang harus dibayar Indonesia untuk tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia.

       Secara de facto liberalisasi jasa di bidang hukum telah dilakukan di Indonesia dengan kondisi aparat penegak hukum yang carut marut seperti kondisi saat ini. Indonesia tidak dapat lagi menutup diri dari pembukaan kantor-kantor konsultan hukum atau lembaga pendidikan asing di Indonesia. Ahli-ahli asing akan banyak memberikan training-training untuk pihak-pihak yang membutuhkan di Indonesia.

       Seperti diketahui, pemerintah melalui Kemenkum HAM mencari masukan dari para advokat tentang rencana diberlakukannya liberalisasi jasa konsultan hukum. Hal tersebut dilakukan untuk menentukan sikap pemerintah atas kesepakatan penerapan liberalisasi jasa konsultan hukum pada 2015 di ASEAN. Sementara, data dari Kemenkum HAM menyebutkan, bahwa saat ini advokat asing yang berpraktik di Indonesia sudah mencapai 50 orang advokat, yang tersebar di 23 kantor advokat yang ada. Dan keberadaan para advokat asing tersebut diatur oleh Kepmen Menkum HAM No: M.11-HT.04.02 Tahun 2004 yang menggantikan Kepmen No: M.01-HT.04.02 Tahun 1997, tentang penggunaan ahli hukum warga negara asing oleh kunsultan hukum di Indonesia.

       Penulis tidak sepakat dengan liberalisasi jasa di bidang hukum, dengan alasan:

1. Liberalisasi adalah bungkus yang digunakan oleh negara-negara modern agar dapat dengan bebas menjalankan misi imperialismenya.

       Liberalisasi merupakan bungkus dari misi imperialisme negara-negara maju. Pada prakteknya, sistem liberalisasi perdagangan jasa  tunduk pada konsep-konsep Amerika. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya tekanan negara maju dalam perdagangan Internasional. Salah satu contohnya ialah dalam mempercepat dan menjamin hasil-hasil perundingan sektor jasa, negara-negara maju seperti Uni-Eropa (UE), dan Amerika Serikat (AS) mengupayakan adanya metode baru dalam perundingan jasa untuk memperluas pembukaan pasar jasa. Pendekatan baru itu disebut benchmarking atau tolak ukur atau juga disebut sebagai pendekatan komplementer atau complementary approach’. Pendekatan itu menekankan keharusan suatu negara menentukan titik dasar terendah dalam meliberalisasi sektor jasa. Proposal negara maju untuk menerapkan pendekatan minimal berarti menghilangkan fleksibilitas negara-negara anggota WTO dalam mengambil keputusan untuk menyerahkan komitmen atau tidak.

       Selain hal tersebut, angka pengangguran tenaga kerja di Amerika tergolong cukup tinggi. Amerika sendiri kebingungan membuang graduate-graduate negara mereka agar dapat bekerja. Hal ini dapat dilihat dari survei sensus penduduk di AS:

Year Total Population (Thousans) Civilian labor force (Thousands)
1950

1955

1960

1965

1970

1975

1980

1985

1990

1995

2000

2005

2010*152,271

165,931

180,671

194,303

205,052

215,973

227,726

238,466

250,132

266,557

282,194

295,896

309,65362,208

65,023

69,628

74,455

82,771

93,774

106,940

115,461

125,840

132,304

142,583

149,320

157,695

    U.S. Population and Labor Force, 1950 to 2010[31]

* Projected

Sources: U.S. Census Bureau, 2008 Statistical Abstract of the United States: table 2, “Population: 1900 to 2006” (www.census.gov/compendia/statab/tables/08s0002.xls, accessed May 6, 2008); U.S. Census Bureau Population Estimates: table 1, “Annual Estimates of the Population for the United States, Regions, States, and Puerto Rico: April 1, 2000 to July 1, 2007” (www.census.gov/popest/states/tables/NST-EST2007-01.xls); Pew Hispanic Center, U.S. Population Projections: 2005-2050 (http://pewhispanic.org/fles/reports/85.pdf, accessed May 6, 2008); Bureau of Labor Statistics, “Employment Status of the Civilian Noninstitutional Population, 1942 to date” (www.bls.gov/cps/cpsaat1.pdf, accessed May 6, 2008); and Bureau of Labor Statistics, “Medium-Term Pro-jections to 2016” (www.bls.gov/emp/emplab1.htm, accessed May 6, 2008).

       Dari hasil survei di atas, menunjukkan bahwa setiap tahunnya pertambahan penduduk di AS semakin meningkat dan secara otomatis angkatan kerja juga semakin bertambah. Jumlah pengangguran tenaga kerja di AS meliputi pengangguran orang terdidik dan pengangguran orang tidak terdidik.

Unemployment Rates by Race/Ethnicity and Education, 2007

       Menurut hasil survei USCollegeSearch.com menunjukkan bahwa:[33]

  • Less than a High School Diploma: The average person who has not earned their high school diploma can expect a salary level of $426, and an unemployment rate of nine percent.
  • High School Graduate: The average high school graduate can expect a salary level of $591, and an unemployment rate of 5.7 percent.
  • Some college, no degree: The average person who has attended some college, but has not earned a degree, can expect a salary level of $645, and an unemployment rate of 5.1 percent.
  • Associate’s Degree: The average person who has  earned their  associate’s degree  can expect a salary level of $736, and an unemployment rate of 3.7 percent.
  • Bachelor’s Degree: The average person who has earned their Bachelor’s degree can expect a salary level of $978, and an unemployment rate of 2.8 percent.
  • Master’s Degree: The average person who has earned their Master’s degree can expect a salary level of $1,228, and an unemployment rate of 2.4 percent.
  • Professional Degree: The average person who has earned their professional degree can expect a salary level of $1,522, and an unemployment rate of 1.7 percent.
  • Doctoral Degree: The average person who has earned their Doctoral degree can expect a salary level of $1,555, and an unemployment rate of 2 percent.”

       Melalui GATS, Amerika dapat menjalankan misi imperalismenya yaitu dengan menyalurkan tenaga kerja mereka ke negara-negara berkembang. Hal ini tentu akan merugikan Indonesia karena di Indonesia sendiri jumlah pengangguran tergolong tinggi dan SDM lemah. Sebagai contohnya, di Amerika para mahasiswa S2 diajarkan teori-teori hukum Amerika yaitu Law in Action dengan critical legal studiesnya atau sosio legalnya  Sementara para mahasiswa di Indonesia hampir semuanya lemah di teori-teori kontinental. Dengan kapasitas SDM yang lemah, tentu akan kalah bersaing dengan SDM dari negara maju.

2. Masyarakat yang tidak mampu akan menjadi korban.

       Dengan diberlakukan liberalisasi jasa konsultan hukum maka secara otomatis para advokat asing bisa melakukan praktik di Indonesia. Mulai dari konsultan hukum perusahaan, pendampingan perkara perdata, pendampingan perkara pidana hingga prodeo. Namun jika libralisasi jasa di bidang hukum benar-benar diberlakukan di Indonesia, justru masyarakat tidak mampu akan menjadi korban. Terlebih lagi, masyarakat yang tergolong tidak mampu rata-rata menggunakan jasa advokat secara cuma-cuma atau gratis.

       Menggunakan jasa advokat secara cuma-cuma diatur dalam Undng-Undang Nomor. 18 Tahun 2003 tentang advokat. Dengan adanya liberalisasi  jasa di bidang hukum, maka advokat asing dapat melakukan praktik di Indonesia. Dampak dari advokat asing dapat melakukan praktik di Indonesia akan berdampak pada masyarakat yang tidak mampu yaitu mereka akan terasingkan karena tidak mampu membayar jasa advokat asing tersebut.

       Selain masyarakat tidak mampu yang akan dirugikan, para advokat asing yang berpraktik di Indonesia dikhawatirkan tidak dapat memahami hukum di Indonesia. Terlebih lagi jika para advokat asing tersebut akan membuka kantor praktik sendiri di Indonesia.

 

3. Dalam konsep GATS, prinsip MFN (Most Favoures Nation) tidak berlaku otomatis.

       Prinsip Most Favoures Nation ialah suatu prinsip yang menyatakan bahwa suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar nondiskriminatif. Menurut prinsip ini, semua negara anggota terikat untuk memberikan negara-negara lainnya perlakuan yang sama dalam pelaksanaan dan kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya.[34] Ia diberlakukan tanpa memandang struktur sosial-politik dan ekonomi negara peserta.[35]

       Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang diajukan kepada semua anggota GATT.[36] Oleh karena itu suatu negara tidak boleh memberikan perlakuan istimewa kepada negara lainnya atau melakukan tindakan diskriminasi terhadapnya. Prinsip ini tampak dalam Pasal 4 perjanjian yang terkait dengan hak kekayaan intelektual (TRIPS) dan tercantum pula dalam Pasal 2 Perjanjian mengenai Jasa (GATS).[37]

       Dalam konsep GATS, prinsip MFN tidak berlaku otomatis, Prinsip MFN berlaku bagi seluruh sektor jasa kecuali sektor-sektor yang masih dinyatakan dikecualikan untuk sementara. Sektor jasa di bidang hukum tidak dapat diberlakukan sama bagi semua negara anggota WTO karena sistem hukum antara negara-negara anggota WTO tidak sama, sebagian merupakan penganut sistem hukum Common Law, sebagian lagi menganut sistem hukum Civil Law.

4. Perbedaan sistem hukum dan sistem peradilan.

     Kita mengetahui bahwa legal sistem Indonesia berbeda dengan legal sistem negara-negara modern, begitu juga mengenai sistem peradilan. Di Indonesia menganut sistem hukum civil law, sedangkan di negara maju (Amerika) menganut sistem hukum common law.

       Hukum sipil (civil law) atau yang biasa dikenal dengan Romano-Germanic Legal System adalah sistem hukum yang berkembang di dataran Eropa. Titik tekan pada sistem hukum ini adalah, penggunaan aturan-aturan hukum yang sifatnya tertulis. Sistem hukum ini berkembang di daratan Eropa sehingga dikenal juga dengan sistem Eropa Kontinental. Kemudian disebarkan negara-negara Eropa Daratan kepada daerah-daerah jajahannya.[38] Indonesia yang merupakan negara jajahan daratan Eropa menganut sistem civil law,  sistem hukum dengan ciri-ciri adanya berbagai ketentuan-ketentuan dikodifikasi (dihimpun) secara sistematis yang akan ditafsirkan lebih lanjut oleh hakim. Sedangkan sistem common law ialah suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurisprudens, yaitu keputusan-keputusan hakim yang terdahulu yang kemudian menjadi dasar putusan hakim-hakim.

       Akar perbedaan yang substansial di antara kedua sistem hukum  itu terletak pada sumber hukum yang digunakan oleh Pengadilan dalam memutus sebuah perkara.  Sistem civil law menggunakan kodifikasi sebagai sumber hukum, sedangkan sistem common law menggunakan putusan hakim sebelumnya sebagai sumber hukum atau yang lebih dikenal dengan doktrin stare decisis. Perbedaan menonjol lainnya menyangkut peran pengadilan. Di negara civil law hakim merupakan bagian dari pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari sejarah yang melandasi terciptanya perbedaan itu. Sebelum revolusi, para hakim Perancis menjadi musuh masyarakat daripada pembela kepentingan masyarakat karena lebih mendukung kepentingan Raja. Kondisi inilah yang kemudian memicu revolusi Perancis yang dipimpin oleh Napoleon. Pengalaman sebelum masa revolusi tersebut menjadi inspirasi bagi Napoleon dalam meletakkan hakim di bawah pengawasan pemerintahan untuk mencegah “pemerintahan oleh hakim” seperti yang pernah terjadi sebelum revolusi. Hal ini membuat kekuasaan pemerintah di negara civil law menjadi sangat dominan. Sistem Hukum Romawi menggambarkan dengan jelas perbedaan antara hukum privat yang mengatur hubungan antara warga negara dan hukum publik yang mengatur hubungan antara warga negara dengan pemerintah. Perbedaan ini tetap dipertahankan dalam sistem civil law di daerah continental yang mewarisi tradisi Hukum Romawi. Di Perancis misalnya, pengadilan membedakan antara kasus kasus yang berhubungan dengan pemerintah dan memberlakukan hukum yang berbeda dengan hukum yang mengatur hubungan sektor privat. Posisi ini membuat pengadilan biasa di Perancis secara prosedural tidak mempunyai wewenang untuk mengkaji kebijakan pemerintah. Sebaliknya, negara common law yang berasal dari tradisi Inggris memiliki lembaga pengadilan yang independen. Oleh karenanya kekuasaan untuk menentukan hukum berada pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi.[39]

      Selain perbedaan antara kedua sistem di atas, perbandingan antara sistem hukum civil law di negara Indonesia dengan negara-negara lain di daratan Eropa berbeda. Negara penganut civil law seperti Perancis, Belanda, Itali, Spanyol dll mampu menerapkan hukum dengan baik sedangkan para hakim, jaksa dan polisi di Indonesia baru sampai pada taraf mencari siapa yang benar dan siapa yang salah atau siapa yang perlu disalahkan. Lebih tepatnya para penegak hukum di Indonesia baru mencapai taraf mencari kebenaran, bukan menegakkan keadilan.  Dari kondisi tersebut, maka dapat dilihat bahwa Indonesia belum siap apabila liberalisasi jasa di bidang hukum dilakukan.

5. GATS kurang memperhatikan kepentingan negara berkembang.

       Sekitar dua pertiga negara-negara anggota GATT adalah negara-negara sedang berkembang yang masih berada dalam tahap awal pembangunan mereka, pada tahun 1965, suatu bagian baru yaitu Part IV yang memuat tiga pasal (Pasal XXXVI-XXXVIII), ditambahkan ke dalam GATT.[40] Bagian ke IV ini mengakui kebutuhan negara sedang berkembang untuk menikmati akses pasar yang lebih menguntungkan. Bagian ini juga melarang negara-negara maju untuk membuat rintangan-rintangan baru terhadap ekspor negara-negara sedang berkembang. Negara-negara industri juga mau menerima bahwa mereka tidak akan meminta balasan dalam perundingan mengenai penurunan atau penghilangan tarif dan rintangan-rintangan lain terhadap perdagangan negara-negara sedang berkembang.[41]

     Dalam kenyataannya konsep ini hanya akan menguntungkan pemilik modal saja, dan modal hanya bergerak ke arah yang berpotensi melahirkan banyak keuntungan. Dengan kata lain hanya bergerak ke arah yang ada sumberdaya alam dan sektor jasa. Khususnya dalam hal sektor jasa, maka liberalisasi jasa dibidang hukum akan menjadi bidikan utama bagi liberalisasi. Tingginya kebutuhan terhadap perdagangan jasa dibidang hukum telah membuat pihak WTO untuk mendorong setiap Negara untuk meliberalisasikan jasa dibidang hukum di masing-masing Negara, sebagaimana yang disebut di atas dalam GATS. Indonesia merupakan salah satu anggota WTO setelah meratifikasinya melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Sebagai konsekuensi dari keanggotaannya, Indonesia semakin terbuka terhadap produksi asing, termasuk sekolah asing di Indonesia. Khususnya usai Indonesia pulih dari krisis ekonomi tahun 2000.[42]

 Dalam proporsi sederhana memang GATS mengutamakan kepentingan negara-negara maju dibandingkan dengan kepentingan negara-negara berkembang. Deregulasi dan akses pasar perusahaan jasa asing melalui GATS tidak akan memperkuat sasaran dan prioritas pembangunan di negara berkembang, karena orientasinya adalah pasar dan bukan mengatasi kebutuhan dan kepentingan warga negara. Pada saat yang sama, negara-negara berkembang berharap mendapatkan keuntungan besar dari mode 4, yang mengacu pada perpindahan perpindahan individu (movement of natural persons) ke negara lain untuk memasok jasa. Namun, jelas bahwa kebanyakan negara maju seperti AS tidak akan memberikan pembukaan pasar jasa tenaga kerja yang berarti, terutama dalam kaitannya dengan tenaga kerja tanpa ketrampilan.

       Selain hal di atas, tata cara pelaksanaan perundingan GATS dan pengalaman liberalisasi serta privatisasi sektor jasa selama ini telah membuat masyarakat kehilangan pekerjaan, ketidakamanan kerja, pembatasan hak-hak pekerja, penurunan pendapatan dan peningkatan fleksibilitas tuntutan kerja.

Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber dari buku-buku.

A.F. Elly Erawaty, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Citra Aditya Bakti, 2003

Benard Hoekman, “The General Agreement on Trade in Service”, dalam John H. Jakson et-al., Legal Problem of International Economic Relation, (St. Paul Minn: West Publishing Cp., 1995).

David Robertson, “GATT Rules for Emergency Protection”, Harvester Wheatsheaf, London, 1992.

George Soul, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka:Dari Aristoteles Hingga Keynes, Kanisius, Yogyakarta, 1994.

Gunther Jaenicke, “General Agreement on Tariffs and Trade (1946), dalam Bernbard (ed., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5, 1983.

Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2006.

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Pers, 2005.

Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005.

Ida Bagus Wyasa Putra, (et.al), Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, 2003.

Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, UI Press, Jakarta.

Oliver Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, (Martinus Nijhoff Publishers, 1987).

Paul H. Lindert dan Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, Erlangga, Jakarta, 1986.

Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2006.

Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Terence P.Stewart (Editor), The GATT Uruguay Round A. Negotiating  History (1986-1992), Vol. II: Commentary, (Deventer, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993).

 

Sumber-sumber lainnya.

Basuki Antariksa, “Cost and Benefit Analysis Dalam Rangka Liberalisasi Perdagangan Pada Sektor Pariwisata”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006.

Marlene A. Lee and Mark Mather, U.S. Labor Force Trends, Population Bulletin A Publication of the Population Reference Bureau, Vol. 63 No. 2 June 2008.

Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Pertanian, World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia, http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm, Diakses pada tanggal 10 Juli pukul 18:30 WIB

Bismar Nasution, Antara Civil Law dan Common Law, http://eko-ss.blogspot.com/2009/09/antara-civil-law-dan-common-law.html, Diakses pada hari Rabu, tanggal 13 Juli 2011 pukul 22:00 WIB

Kelsey, Higher Levels of Education Equal Lower Unemployment Rates, http://www.eduinreview.com/blog/2010/04/higher-levels-of-education-equal-lower-unemployment-rates/, Diakses pada Rabu, 13 Juli 2011 pukul 21:15 WIB

Sekilas WTO, http://www.binadesa.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1…, Diakses pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011 pukul 23:28 WIB.

Thamren Ananda, Liberalisasi di Indonesia, http://www.thamre.com. Diakses pada 6 Juli 2011 pukul 16.15 WIB

http://www.lukita@bapenas.go.jp/japanese/publish/apec/pdf/apec12_21st_04.pdf, diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 13:02 WIB

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_hukum_di_dunia, Diakses pada hari Rabu, 13 Juli 2011 pukul 21:52 WIb.

www. Institute For Global Justice. Com, Diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 12:55 WIB


[1] Paul H. Lindert dan Charles P. Kindleberger, Ekonomi Internasional, Erlangga, Jakarta, 1986, hlm. 18.

[2] George Soul, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka:Dari Aristoteles Hingga Keynes, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm. 73.

[3] A.F. Elly Erawaty, Globalisasi Ekonomi dan Perdagangan Bebas: Suatu Pengantar, dalam buku Aspek Hukum dari Perdagangan Bebas, Citra Aditya Bakti, 2003, hlm. 2.

[4] www. Institute For Global Justice. Com, Diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 12:55 WIB

[5] Biro Kerjasama Luar Negeri Departemen Pertanian, World Trade Organization (WTO)/ Organisasi Perdagangan Dunia, http://www.deptan.go.id/kln/berita/wto/ttg-wto.htm, Diakses pada tanggal 10 Juli pukul 18:30 WIB

[6] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Hukum Dagang Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 37

[7] Syahmin AK, Hukum Dagang Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.175

[8] Kartadjoemena, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan, UI Press, Jakarta, hlm. 106.

[9] Syahmin AK, op cit, hlm. 171

[10] Terence P.Stewart (Editor), The GATT Uruguay Round A. Negotiating  History (1986-1992), Vol. II: Commentary, (Deventer, Netherlands: Kluwer Law and Taxation Publisher, 1993), hlm. 2363-2364

[11] Basuki Antariksa, “Cost and Benefit Analysis Dalam Rangka Liberalisasi Perdagangan Pada Sektor Pariwisata”, Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006, hlm. 147

[12] Ibid.

[13] Kartadjoemena, op. cit, hlm. 22

[14] Benard Hoekman, “The General Agreement on Trade in Service”, dalam John H. Jakson et-al., Legal Problem of International Economic Relation, (St. Paul Minn: West Publishing Cp., 1995), hlm. 921.

[15] Syahmin AK, op cit hlm. 173-174.

[16] Natural person dalam tradisi Common Law mencakup orang peroerangan dan badan usaha firma, organisasi-organisasi professional, perusahaan patungan, asosiasi-asosiasi, perusahaan-perusahaan, perwakilan badan usaha, dan kuasa-kuasa usaha. Ida Bagus Wyasa Putra, (et.al), Hukum Bisnis Pariwisata, Refika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 36

[17] Oliver Long, Law and Its Limitations in the GATT Multilateral Trade System, (Martinus Nijhoff Publishers, 1987), hlm. 8-11

[18] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional,  Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 108-1109.

[19] Ibid, hlm. 112

[20]Oliver long, op cit,  hlm. 9

[21] Huala Adolf, op cit, hlm 112-113

[22] Syahmin AK, op cit, hlm 191

[23] Sekilas WTO, http://www.binadesa.or.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1…, Diakses pada hari Rabu tanggal 13 Juli 2011 pukul 23:28 WIB

[24] Syahmin AK, op cit, hlm. 192-193

[25] Ibid, hlm. 193

[26] Ibid, hlm 195

[27] Ibid, hlm 194

[28] David Robertson, “GATT Rules for Emergency Protection”, Harvester Wheatsheaf, London, 1992, hlm. 26

[29] Syahmin AK, op cit, hlm. 176

[30] http://www.lukita@bapenas.go.jp/japanese/publish/apec/pdf/apec12_21st_04.pdf, diakses pada tanggal 29 Juli 2011 pukul 13:02 WIB

[31] Marlene A. Lee and Mark Mather, U.S. Labor Force Trends, Population Bulletin A Publication of the Population Reference Bureau, Vol. 63 No. 2 June 2008, hlm. 4.

[32] Ibid, hlm. 6.

[33] Kelsey, Higher Levels of Education Equal Lower Unemployment Rates, http://www.eduinreview.com/blog/2010/04/higher-levels-of-education-equal-lower-unemployment-rates/, Diakses pada Rabu, 13 Juli 2011 pukul 21:15 WIB

[34] Cf Olivier Long, Dikutip dari Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 108

[35] Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 55

[36] Gunther Jaenicke, “General Agreement on Tariffs and Trade (1946), dalam Bernbard (ed., Encyclopedia of Public International Law, Instalment 5, 1983, hlm. 22

[37] Huala Adolf, op cit, hlm. 108-109

[38] http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_hukum_di_dunia, Diakses pada hari Rabu, 13 Juli 2011 pukul 21:52 WIB

[39] Bismar Nasution, Antara Civil Law dan Common Law, http://eko-ss.blogspot.com/2009/09/antara-civil-law-dan-common-law.html, Diakses pada hari Rabu, tanggal 13 Juli 2011 pukul 22:00 WIB

[40] Huala Adolf, op cit, hlm. 117.

[41] Loc cit.

[42] Thamren Ananda, Liberalisasi di Indonesia, thamre.com. Diakses pada 29 Juli 2011 pukul 02:02 WIB

Categories: Pemikiran Penulis | 1 Komentar

Navigasi pos

One thought on “Setujukah jika Indonesia diterapkan Liberalisasi Jasa dibidang Hukum?

  1. Ping-balik: Sistem Hukum Industri dan Perkembangannya dalam sistem hukum global | Industrial Engineering

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: