Manakah Pola Penyelesaian Sengketa yang Paling Tepat dalam Kejahatan Bisnis? Sanksi Perdata? Pidana? atau Administratif?


penyelesaian sengketa bisnis -Nin Yasmine Lisasih-       Liberalisasi perdagangan menuju era ekonomi global dan pasar bebas menghadirkan tantangan yang berat bagi negara-negara berkembang termasuk Indonesia karena di pasar bebas akan bertemu kekuatan-kekuatan yang tidak berimbang, yaitu negara-negara industri, New Indusrial Countries  (NIC’s), dan negara-negara yang sedang berkembang. Kemampuan antara negara satu dengan negara yang lainnya tidaklah sama dan negara maju tentu memiliki kekuatan dan keunggulan yang lebih tinggi di banding dengan Negara-negara berkembang.

       Kendatipun terdapat kekhawatiran bahwa liberalisasi perdagangan kurang lebih merupakan bentuk imperialisme baru (neo-imperialism), dalam arti bahwa keterlibatan negara-negara sedang berkembang dalam aktivitas perdagangan bebas mengandung resiko yang sangat besar,  namun keharusan ikut-serta dalam dunia ekonomi global dan perdagangan bebas merupakan sesuatu yang tidak mungkin dihindarkan tanpa resiko terkucilkan dalam percaturan kehidupan dunia. Sebagaimana dikemukakan Satjipto Rahardjo, berat sekali kalau negara-negara berkembang seperti Indonesia  harus menghadapi globalisasi kapitalisme dengan cara melawannya.  Sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia yang telah berlangsung sejak lama, pembagian kerja di dunia sudah berubah dan bangsa-bangsa di dunia harus pandai-pandai meninjau kembali siasat yang dipilihnya dalam rangka perubahan tersebut.[1]

       Dalam melakukan persiapan memasuki ekomomi  global dan perdagangan bebas abad 21 ini bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dari segi ekonomi mau tidak mau harus sesegara mungkin memperkokoh daya tahan ekonomi nasional (domestik) dari serangan ekonomi asing terhadap dalam negeri. Sementara itu, bagi bangsa Indonesia harus pula segera memperbaiki kelemahan-kelemahan baik dalam bidang ekspor maupun dalam bidang impor, serta mengembangkan potensi ekonomi nasional untuk meningkatkan ekspor dan mengurangi volume impor. Dalam kaitan ini juga tidak boleh diabaikan tujuan pembangunan ekonomi nasional yang harus tetap berorientasi pada ekonomi kerakyatan.[2]

       Sehubungan dengan besarnya potensi kekuatan yang terkandung di dalam aktivitas ekonomi berskala global dan perdagangan bebas ini, maka  antisipasi terhadap dampak negatif yang ditimbulkannya merupakan suatu keharusan pula. Pengabaian terhadap dampak negatif  aktivitas ekonomi yang liberal tersebut, sudah barang tentu berpotensi pada timbulnya korban-korban akibat lemahnya perlindungan hukum terhadap  warga masyarakat domestik. Dengan demikian, tanpa dimaksudkan untuk menghambat aktivitas perdagangan global tersebut, maka fungsionalisasi sistem hukum nasional merupakan suatu keniscayaan. Fungsionalisasi sistem hukum nasional ini, baik dalam arti untuk memfasilitasi  kelangsungan ekonomi nasional dalam berinteraksi secara intensif dengan aktivitas perdagangan global, maupun untuk mencegah timbulnya perilaku-perilaku yang menjurus pada timbulnya korban kerugian  ekonomi, serta fisik dan spiritual.[3]

       Gambaran tersebut menandakan bahwa eksistensi hukum bisnis baik dalam teori maupun praktik dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan yang cukup pesat. Hal ini salah satunya karena didorong pertumbuhan ekonomi nasional maupun global yang begitu cepat serta kompleks dengan melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama bisnis. Sejalan dengan hal tersebut, regulasi tata laksana hukum bisnis secara bertahap juga mengikutinya. Dalam melakukan bisnis tidak mungkin pelaku bisnis terlepas dari hukum karena hukum sangat berperan mengatur bisnis agar bisnis bisa berjalan dengan lancar, tertib, aman sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya kegiatan bisnis tersebut. Hal ini tidak terlepas dari semakin intens dan dinamisnya aktifitas bisnis dalam berbagai sektor serta mengglobalnya sistem perekonomian.

       Hukum sangat penting dalam dunia ekonomi atau bisnis sebagai alat pengatur bisnis tersebut. Kemajuan suatu ekonomi/bisnis tidak akan berarti kalau kemajuan tidak berdampak pada kesejahteraan dan keadilan yang dinikmati secara merata oleh rakyat. Negara harus menjamin semua itu. Agar tidak ada terjadi pengusaha kuat menindas pengusaha lemah, yang kaya semakin kaya yang miskin semakin miskin, sehingga tidak ada keseimbangan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Disinilah peran hukum membatasi hal tersebut. Maka dibuat perangkat hukum yang mengatur dibidang bisnis tersebut (hukum bisnis). Dengan telah dibuatnya hukum bisnis tersebut (peraturan perundang-undangan) imbasnya adalah hukum bisnis tersebut harus diketahui/dipelajari oleh pelaku bisnis sehingga bisnisnya berjalan sesuai dengan koridor hukum dan tidak mempraktikkan bisnis yang bisa merugikan masyarakat luas (monopoli dan persaingan usaha tidak sehat).[4]

       Mengingat kegiatan bisnis semakin meningkat dari hari ke hari, maka tidak mungkin dihindari terjadinya sengketa (dispute/difference) di antara para pihak yang terlibat. Sengketa muncul dikarenakan berbagai sebab dan alasan yang melatarbelakanginya, terutama karena adanya conflict of interest di antara para pihak. Sengketa yang timbul di antara pihak-pihak yang terlibat karena aktifitasnya dalam bidang bisnis atau perdagangan dinamakan sengketa bisnis.

       Romli Atmasasmita menegaskan bahwa pelanggaran-pelanggaran dalam kegiatan bisnis sudah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan jika tidak dapat dikatakan sudah mencapai titik nadir sementara perangkat hukum untuk menemukan pelakunya dan menghukumnya sudah tidak memadai lagi. (Romli Atmasasmita,  2003:24).

       Rukmana (2004) menilai praktik bisnis yang dijalankan selama ini masih cenderung mengabaikan etika, rasa keadilan dan kerapkali diwarnai praktik-praktik bisnis tidak terpuji atau moral hazard. Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang semakin meluas di masyarakat yang sebelumnya hanya di tingkat pusat dan sekarang meluas   sampai ke daerah-daerah, dan meminjam istilah guru bangsa  yakni Gus Dur, korupsi yang sebelumnya di bawah meja, sekarang sampai ke meja-mejanya dikorupsi adalah bentuk moral hazard di kalangan ekit politik dan elit birokrasi. Hal ini mengindikasikan bahwa di sebagian masyarakat kita telah terjadi krisis moral dengan menghalalkan segala mecam cara untuk mencapai tujuan, baik tujuan individu memperkaya diri sendiri maupun tujuan kelompok untuk eksistensi keberlanjutan  kelompok. Terapi ini semua adalah pemahaman, implementasi dan investasi etika  dan nilai-nilai moral bagi para pelaku bisnis dan para elit politik.[5]

       Setiap jenis sengketa bisnis yang terjadi selalu menuntut pemecahan dan penyelesaian yang tepat. Semakin luas dan banyak kegiatan dalam bidang bisnis dan perdagangan, frekuensi terjadinya sengketa juga semakin tinggi. Ini berarti semakin banyak sengketa yang harus diselesaikan dari waktu ke waktu. Membiarkan sengketa bisnis terlambat diselesaikan akan mengakibatkan perkembangan pembangunan ekonomi tidak efisien, produktifitas menurun, dunia bisnis mengalami kemerosotan, dan biaya produksi meningkat. Oleh karena itu, mekanisme penyelesaian sengketa bisnis juga mengalami berbagai dinamika perbaikan dan penyempurnaan, agar mekanisme penyelesaian sengketa tersebut dapat memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan (justiciabellen) khususnya dari kalangan dunia bisnis. Regulasi aturan bisnispun banyak dibuat disesuaikan dengan karakteristik tuntutan dan kebutuhan bisnis. Lalu yang menjadi pertanyaan disini adalah “Manakah yang paling tepat dalam menangani kejahatan bisnis yang marak terjadi di negara ini, pola penyelesaian dengan sanksi perdata, sanksi pidana atau sanksi administratif?”

 Mari kita ulas satu persatu!

     Dalam melakukan bisnis tidak mungkin pelaku bisnis terlepas dari hukum karena hukum sangat berperan mengatur bisnis agar bisnis bisa berjalan dengan lancar, tertib, aman sehingga tidak ada pihak-pihak yang dirugikan akibat adanya kegiatan bisnis  tersebut.  Keterkaitan antara Hukum dengan Ekonomis dan Bisnis semakin hari semakin erat. Hal tersebut dapat dilihat dari kegiatan Ekonomi dan Bisnis di sekitar kita. Oleh karena itu, para pelaku Ekonomi dan Bisnis semakin perlu memahami Hukum, terutama hal-hal yang berkaitan langsung dengan aktivitas keseharian masing-masing karena hukum sangat penting dalam dunia ekonomi/bisnis sebagai alat pengatur bisnis tersebut. Dengan telah dibuatnya hukum bisnis tersebut (peraturan perundang-undangan) imbasnya adalah hukum bisnis tersebut harus diketahui/dipelajari oleh pelaku bisnis sehingga bisnisnya berjalan sesuai dengan koridor hukum dan tidak mempraktikkan bisnis yang bisa merugikan masyarakat luas. Apabila terjadi perilaku bisnis yang negatif atau kejahatan bisnis, maka hukum diperlukan untuk menindak kejahatan bisnis tersebut.

    Menurut Romli Atmasasmita, kejahatan bisnis dalam peraturan perundang-undangan dalam bidang keuangan dan perbankan dapat diterapkan tiga sanksi yaitu sanksi administratif, sanksi keperdataan dan sanksi pidana.[6] Selanjutnya, Romli Atmasasmita juga menyatakan bahwa dalam hal terdapat suatu pelanggaran dalam praktek hukum keuangan dan perbankan, tidak ada urutan preferensi atau peraturan perundang-undangan yang menyatakan hukum manakah yang harus diberlakukan untuk mengadili perbuatan tersebut. Pada hal, penegasan mengenai preferensi tersebut adalah penting untuk mendapatkan dan memberikan kepastian hukum bagi para penegak hukum, pelaku bisnis maupun para stake holder yang terkait.[7] Romli Atmasmita juga menyatakan bahwa penyelesaian secara keperdataan dalam kasus yang mengandung unsur tindak pidana di Indonesia justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidak adilan.[8]

       Lebih lanjut, menurut Max Weber, jika hukum hendak difungsikan dalam memfasilitasi kehidupan ekonomi, maka harus diciptakan hukum yang memiliki beberapa karakteristik, yakni: predictability, stability, fairness, education, special ability of the lawyer.[9] Berikut ini akan dideskripsikan beberapa karakteristik hukum yang dimaksudkan oleh Max Weber.

        Pertama, predictability. Maksudnya bahwa hukum harus dapat memperkirakan persoalan yang akan timbul di masa yang akan datang dan memberikan gambaran mengenai langkah-langkah apa yang harus diambil, ketika masyarakat memasuki hubungan-hubungan ekonomi yang melampaui lingkungan sosial tradisional mereka. Hukum modern (Barat), sebagaimana dikemukakan oleh Leonard J. Theberge, memang didesain untuk ekonomi pasar yang berperan untuk membatasi tingkah laku pelaku ekonomi dalam masyarakat.[10]

       Di dalam sistem hukum Indonesia, pembatasan tingkah laku itu terrefleksi dalam asas legalitas, di mana seseorang hanya akan dituntut di pengadilan jika dia terbukti melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Dengan demikian, apabila hukum telah menyediakan aturan yang sesuai dengan keadaan di masa datang,  dan ternyata terjadi pelanggaran hukum, maka hukum akan dapat berfungsi efektif.

        Kedua, stability atau stabilitas. Maksudnya, hukum dibuat untuk menciptakan stabilitas. Hukum diciptakan dengan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Sebagai ilustrasi, dalam hal pemerintah menginginkan industrialisasi, sedangkan di sisi lain masyarakat ingin agar tanahnya tetap dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini hukum berfungsi mengkompromikan dua kepentingan yang berbeda tersebut, misalnya dengan ganti rugi yang layak, agar pertumbuhan ekonomi tetap dapat berlangsung.

       Ketiga, fairness atau keadilan seperti persamaan di depan hukum. Standar sikap pemerintah diperlukan untuk memelihara mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan. Tidak adanya standar tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil merupakan masalah besar yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang yang dalam jangka panjang, ketiadaan standar tersebut menjadi sebab utama hilangnya legitimasi pemerintah. Masalah keadilan ini sebenarnya tidak semata-mata menjadi masalah bagi negara-negara sedang berkembang, namun juga menjadi permasalahan bagi negara maju. Perbedaan warna kulit antara warga kulit hitam dan warga kulit putih yang berakibat perbedaan perlakuan di depan pengadilan, juga pernah terjadi di Amerika Serikat.[11] Keadaan tersebut berdampak pada peningkatan pelanggaran hukum sebagai akibat hilangnya legitimasi pemerintah.

       Keempat, education atau pendidikan. Dalam hal ini maksudnya adalah pendidikan (tinggi) hukum yang seharusnya dapat menjawab tantangan global. Sistem pendidikan yang hanya  menghafalkan pasal-pasal dan hanya melihat segi teori belaka harus segera ditinggalkan. Di Amerika Serikat bahkan timbul gagasan agar staf pengajar  pada perguruan tinggi hukum melakukan empirical research, yaitu pada masa liburan staf pengajar itu bekerja di kantor pengacara, kantor pemerintah dan pengadilan.[12]

       Kelima, special ability of the lawyer. Dalam hal ini maksudnya, para lawyer diharapkan mempunyai kemampuan yang baik dalam melakukan pekerjaan profesionalnya; tidak sekedar menjadi partner bagi penguasa, tukang stempel atau seseorang yang hanya mengurus soal finansial yang akan diterima saja.

       Demikian itu lima karakter sistem hukum yang disyaratkan oleh Max Weber, sehingga sistem hukum itu dapat berfungsi dengan baik aktivitas ekonomi. Prakondisi masyarakat di negara maju, tampaknya telah terpenuhi sesuai dengan lima karakter sistem hukum itu, sehingga dukungannya pada roda pertumbuhan dan kehidupan ekonomi dapat berfungsi dengan baik. Dalam konteks sosial negara-negara berkembang seperti Indonesia, di mana masyarakatnya memiliki corak paternalistik yang kuat dan kepemimpinan bercorak kharismatik,  kelima unsur atau karakter sistem hukum itu kendatipun sudah terpenuhi, tampaknya tidak dengan serta merta  dapat menjamin pertumbuhan ekonomi.

Mari lebih memperdalam ulasan dengan contoh kasus!

       Mengenai sanksi apakah yang paling tepat untuk dikenakan dalam penyelesaian suatu sengketa atau kejahatan dalam bisnis, maka lebih baik kita menganalisis suatu kasus terkait dengan kejahatan bisnis terlebih dahulu. Kasus yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

      Kasus BLBI bermula dari terjadinya gejolak moneter, yaitu merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah, mulai sejak Juli 1997 yang diikuti dengan rumor penutupan perbankan yang kalah kliring. Pemerintah pada 1 November 1997, menutup 16 bank. Tindakan pemerintah ini mengakibatkan psikologi masyarakat terhadap kepercayaan perbankan menurun drastis, sehingga masyarakat beramai ramai melakukan rush menarik simpanannya dari berbagai bank yang diisukan atau dipersepsikan akan ditutup oleh Pemerintah.

       Akibat kepanikan masyarakat tersebut, untuk mengatasinya termasuk untuk menjaga jangan sampai collapse sistem perbankan nasional, bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas Bank Indonesia sebagai lender of the last resort. Namun capital flight tetap terjadi, BLBI meningkat karena rush terus menerus, dan untuk menutupinya Bank Indonesia tetap menyuntikkan pinjaman kepada perbankan, sehingga jumlah perbankan yang bersaldo negatif bertambah banyak.

        Berbagai skema dilakukan oleh Pemerintah untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional. Di antara skema-skema tersebut adalah PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham), penerbitan Surat Utang Pemerintah untuk mengkonversi BLBI menjadi penyertaan modal sementara Pemerintah, pemberlakuan klausul release and discharge pada 21 September 1998, yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya melalui penyerahan asset hingga memperkenalkan obligasi rekap. Namun belakangan terungkap bahwa banyak ditengarai bahwa pemberian BLBI oleh Pemerintah tidak digunakan sesuai peruntukannya, yang potensial mengandung hal-hal yang bersifat kejahatan perbankan dan berkualifikasi pidana. Demikian juga pemberian release and discharge yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum, oleh sementara kalangan dianggap telah melampaui kewenangan perdata untuk penyelesaian kasus yang bersifat pidana.

       Solusi yang diambil Pemerintah sebagai lanjutan dari kebijakan BLBI adalah dengan menerbitkan obligasi rekap. Obligasi Rekap adalah penambahan penyertaan modal pemerintah di perbankan dengan memperlakukan penyertaan tersebut seperti pinjaman Pemerintah kepada perbankan (sisi debet) dan Penyertaan Modal Pemerintah (sisi kredit).  Atas penempatan obligasi tersebut, Pemerintah menjadi pihak berhutang kepada perbankan yang harus membayar bunga obligasi secara reguler kepada perbankan. Pemerintah berharap bahwa dengan obligasi rekap tersebut, perbankan memiliki kemampuan untuk menyalurkan kredit kepada masyarakat, membiayai operasional perusahaan, dan apabila telah beruntung dari selisih spread (selisih bunga simpanan yang diterima dengan yang bunga pinjaman yang disalurkan), pada waktunya perbankan akan mengembalikan Penyertaan Modal Pemerintah. Namun dalam perjalanan waktu, ternyata penyertaan Pemerintah dalam bentuk obligasi rekap justru menjadi menjerat Pemerintah. Pemerintah terikat untuk membayar bunga obligasi secara reguler dan melunasinya ke perbankan yang tercermin dalam beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Sebaliknya, bunga maupun cicilan obligasi rekap yang diperoleh perbankan dari topangan APBN, justru dipergunakan tidak  sesuai peruntukannya untuk penyaluran ke masyarakat dalam fungsi intermediaries perbankan. Dana segar yang diterima perbankan yang telah menyalah gunakan BLBI, malah dilakukan penyalah gunaan kedua dengan memanfaatkan dana segar tersebut untuk keperluan sendiri dan afiliasinya yang tidak berkontribusi kepada penyehatan perbankan.

       Pelanggaran ketentuan perbankan, selain merupakan pelanggaran administratif, pelanggaran perdata juga mengandung pelanggaran pidana. [13]Bank Indonesia merupakan bank sentral, yaitu bank yang lebih banyak berperan sebagai institusi pemerintahan, atau kuasi institusi pemerintahan yang tujuan utamanya bukan untuk tujuan komersial seperti untuk maksimasi profit, tetapi yang umumnya dimaksudkan adalah untuk mencapai tujuan tertentu pada perekonomian suatu negara secara umum. Fungsi-fungsi tersebut antara lain adalah  seperti pengendalian moneter, menjaga berjalannya sistem pembayaran, pengawasan perbankan, menjadi mitra Pemerintah dalam pengendalian indikator ekonomi makro dan sejenisnya.  Dalam pemahaman Keynessian dan aliran monetarist pada umumnya, tugas utama bank sentral adalah : to control the quantity of money and interest rates, to prevent massive bank failures and act as advisor to the government.[14]

       Salah satu tugas bank sentral adalah menjaga berjalannya sistem pembayaran di suatu negara. Dalam hal suatu bank peserta kliring mengalami kalah kliring (saldo tagihannya terhadap bank Indonesia lebih kecil di banding saldo kewajibannya), maka untuk menjaga tetap berjalannya sistem pembayaran, bank sentral mengharuskan bank yang kalah kliring untuk menambah saldo rekeningnya di bank sentral. Penambahan saldo tersebut dapat berupa pinjaman jangka pendek, kredit likuiditas atau bantuan likuiditas.

      Fungsi intermediaries perbankan didasarkan pada perhitungan normal bahwa jatuh tempo pinjaman pihak ketiga di suatu bank tidak akan mengganggu kemampuan membayar bank atas suatu tagihan yang dimintakan ke bank itu secara langsung, ataupun yang penagihannya melalui mekanisme kliring. Suatu perbankan akan tidak dapat bertahan apabila secara serentak, para nasabah menarik uang dari sistem perbankan tersebut, dan tidak ada simpanan baru di dalam sistem perbankan. Apabila suatu bank tidak mampu membayar tagihan yang jatuh tempo, hal ini akan dapat mendorong terjadinya rush, yaitu para nasabah akan ramai-ramai menarik simpanannya dari sistem perbankan. Hal ini selanjutnya akan memberikan efek menular (contagion effect) terhadap perbankan yang relatif masih sehat keuangannya. Untuk menjaga agar tidak terjadi contagion effect tersebutlah, bank  sentral dengan berbagai instrumen yang dimilikinya dapat menginjeksikan sejumlah likuiditas kepada perbankan, yang penyaluran, penggunaan dan pelaporannya harus dilakukan dengan mengikuti kaidah tertentu atas dasar prinsip kehati-hatian dan kepercayaan.

 

Penyelesaian Sengketa dengan Sanksi Perdata dalam Kejahatan Bisnis.

      Hukum perdata (burgerlijkrecht) adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan. Hukum perdata berisi aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat maupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi dua, yaitu hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek hukum. Hukum perdata formal mengatur bagaimana cara seseorang mempertahankan haknya apabila dilanggar oleh orang lain.

       Hukum bisnis sebagai bagian dari hukum perdata, menganut asas kebebasan berkontrak. Asas tersebut sampai pada tingkat tertentu memberikan kebebasan (partij authonomij) kepada para pihak untuk merumuskan kesepakatan apapun yang mengikat para pihak sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum memaksa (public law), dilakukan dengan itikad baik serta tidak mengandung cacat tersembunyi. Kebebasan para pihak tersebut tidak akan mengikat bagi publik apabila ternyata bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.

       Dalam doktrin keputusan bisnis berlaku suatu asas yaitu bahwa suatu keputusan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tidak dapat dituntut sepanjang dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, prudent, dalam lingkungan kewenangannya serta tidak bertentangan dengan kaidah hukum memaksa. Lingkup tugas manajemen dalam lingkup jabatannya yang harus dilakukan dengan kejujuran dan ketekunan yang pantas, oleh Rai Widjaya dikenal dengan :[15]

  1. Tugas yang berdasarkan kepercayaan (fiduciary duties, trust and confidence
  2. Tugas yang berdasarkan kecakapan, kehati-hatian dan ketekunan (duties of skill, care and diligence)
  3. Tugas yang berdasarkan ketentuan undang-undang (statutory duties)

       Menurut penulis, dalam dunia bisnis, pendekatan perdata lebih dikedepankan daripada pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran dan kerugian yang diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola. Ketika satu pihak melakukan tindakan yang merugikan pihak lainnya dalam hubungan bisnis, maka akan diselesaikan dengan cara pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan, pola penyelesaian dengan sanksi perdata bertujuan untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak.

       Pendekatan perdata lebih melihat kepada suatu pemulihan hubungan hukum dari akibat suatu kesalahan, dikenal dengan pendekatan dengan konsep keadilan komutatif. Konsep keadilan komutatif lebih banyak terdapat pada hubungan perikatan keperdataan, yang mencari penyelesaian suatu sengketa dengan win-win solution biasanya melalui lembaga arbitrase.

       Terkait dengan kasus BLBI di atas, BUMN atau Badan Hukum lainnya yang didirikan untuk kepentingan bisnis dalam beroperasinya adalah tunduk kepada mindset logika perdata. Logika perdata yang dimaksud antara lain adalah bahwa kontrak bisnis adalah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, itikad baik dianggap ada pada para pihak sampai terbukti sebaliknya, serta apabila suatu prestasi yang diperjanjikan tidak dapat dipenuhi, maka akan dituntut wanprestasi dengan berbagai alternatif untuk memenuhinya. Logika bisnis adalah kehati-hatian, kemitraan, kerja sama dan trust. Misalnya, suatu mitra bisnis yang kesulitan melakukan pembayaran dan terlilit hutang, penyelesaiannya dapat berupa penundaan kewajiban pembayaran utang, hair cut (pelunasan sebagian), konversi hutang menjadi penyertaan modal dan sebagainya. Apabila ada sengketa bisnis, penyelesaiannyapun diusahakan dengan mediasi, dan paling jauh dengan arbitrase sebagai alternatif penyelasaian sengketa yang memberi win-win solution. Solusi pidana dalam hukum bisnis hanya upaya terakhir (ultimum remedium) yang tidak akan ditempuh jika tidak terpaksa.

       Di sisi lain, apabila kaca mata pidana yang digunakan, maka logika perdata tidak akan atau sulit untuk berjalan. Kesulitan pembayaran oleh mitra bisnis dapat dituntut dengan delik penipuan atau penggelapan. Demikian juga dalam hal timbul kerugian. Penyelesaian seperti haircut, model Release and discharge seperti yang ditempuh dalam penyelesaian BLBI, hanya dipandang sebagai upaya administrasi semata yang tidak menuntaskan persoalan.

Penyelesaian Sengketa dalam Kejahatan Bisnis dengan Sanksi Pidana.

       Hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya. Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis)

       Hukum pidana dapat dipandang sebagai  suatu bidang hukum yang mandiri, tetapi dalam kesempatan lain bisa pula berposisi suplementer terhadap bidang hukum yang lain. Sebagai suatu bidang hukum yang mandiri, hukum pidana memiliki kaidah-kaidah tersendiri beserta sanksi pidananya yang dituangkan di dalam bentuk perundang-undangan tersendiri. Sementara dalam posisi suplementer, ketentuan hukum pidana disertakan dalam suatu perundang-undangan yang sebenarnya merupakan ketentuan hukum administrasi. Dalam perkembangan kontemporer, posisi suplementer ini semakin banyak didapati dalam banyak perundang-undangan, yang termasuk dalam kategori hukum ekonomi.

      Peran terpenting hukum pidana yang ingin dikedepankan adalah untuk mendampingi bekerjanya hukum ekonomi yang memiliki posisi primer dalam memfasilitasi aktivitas ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat, baik dalam hubungan berskala  individual maupun kolektif.

       Hukum pidana merupakan bagian dari sistem hukum pada umumnya dan bagian dari sistem peradilan pidana khususnya. Dalam posisi demikian itu,  hukum pidana  merupakan  salah satu instrumen pengaturan dan perlindungan berbagai kepentingan secara seimbang di antara kepentingan pemerintah atau negara, kepentingan masyarakat atau kolektivitas, serta kepentingan individu atau perorangan, termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban  kejahatan.[16]

       Penyelesaian sengketa dengan penjatuhan sanksi pidana tidak lain bertujuan untuk pencegahan (Preventif) yaitu pencegahan terjadinya pelanggaran norma-norma.  Tujuan lainnya ialah Social Control yaitu fungsi hukum pidana di sini sebagai Subsidair. Diadakan apabila usaha-usaha yang lain kurang memadai. Hal ini membedakan dengan hukum-hukum yang lain, dan hukum pidana sengaja mengenakan penderitaan dalam mempertahankan norma-norma yang diakui dalam hukum. Dalam hal ini hukum pidana dianggap sebagai ultimum remedium atau obat terakhir.

       Sejalan dengan doktrin hukum pidana yang dikenal secara universal, yakni  hukum pidana sebagai ultimum remedium,  artinya penggunaan hukum pidana merupakan pilihan terakhir dalam mencegah dan menanggulangi perilaku kriminal di dalam masyarakat. Doktrin ini mengandaikan bahwa sarana utama dan pertama dalam mengatur perilaku warga masyarakat, baik individu maupun kolektif, haruslah  menggunakan sarana hukum-hukum lain  selain hukum pidana. Norma-norma hukum, hukum ekonomi minus hukum pidana tadi, diharapkan dapat dengan cermat mengatur perilaku warga masyarakat, sehingga selain aktivitas ekonomi dapat berlangsung dengan baik juga dapat melindungi warga masyarakat dari kemungkinan terjadinya perilaku kriminal yang menimbulkan korban. Dalam operasionalnya, hukum pidana dengan kaidah dan sanksinya berperan memback up bekerjanya hukum ekonomi. Penerapan ultimum remedium ini dapat mengakomodasi kepentingan pelaku tindak pidana, mengingat sanksi pidana itu keras dan tajam jadi selalu diusahakan menjadi pilihan terakhir setelah sanksi lain dirasakan kurang. Namun memang dalam perkembangannya penerapan ultimum remedium ini mengalami kendala-kendala karena apabila suatu perbuatan sudah dianggap benar-benar merugikan kepentingan negara maupun rakyat baik menurut UU yang berlaku maupun menurut perasaan sosiologis masyarakat, maka justru sanksi pidanalah yang menjadi pilihan utama (premium remedium).

       M. Solehuddin mengatakan bahwa Masalah kebijakan menetapkan jenis sanksi dalam hukum pidana tidak terlepas dari masalah penetapan tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan. Dengan kata lain, perumusan tujuan pemidanaan diarahkan untuk dapat membedakan sekaligus mengukur sejauh mana jenis sanksi, baik yang berupa ‘pidana’ maupun ‘tindakan’ yang telah diterapkan pada tahap kebijakan legislative itu dapat mencapai tujuan secara efektif.

       Salah satu contoh kongkrit tidak adanya atau kurangnya kepastian hukum di dalam mekanisme peradilan pidana di Indonesia, ditandai dengan kecenderungan selama ini di dalam mengadakan hubungan perjanjian  dagang transnasional, pihak asing selalu mensyaratkan klausula  arbitrase dalam penyelesaian sengketa. Erman Radjagukguk yang melakukan identifikasi terhadap alasan-alasan rasional kecenderungan tersebut, menyebutkan beberapa alasan.[17] Pertama, pada umumnya pihak asing kurang mengenal sistem hukum negara lain. Kedua, adanya keraguan akan sikap objektif pengadilan setempat dalam memeriksa dan memutus perkara yang di dalamnya terlibat unsur asing. Ketiga, pihak asing masih meragukan kualitas dan kemampuan pengadilan negara berkembang dalam memeriksa dan memutus perkara yang berskala internasional dan alih teknologi. Keempat, timbulnya dugaan dan kesan bahwa penyelesaian melalui jalur formal badan peradilan akan memakan waktu lama.

       Contoh kongkrit lainnya tentang tidak adanya atau lemahnya kepastian hukum dalam sistem peradilan di Indonesia dapat disimak dari  fenomena tingginya kasus-kasus korupsi yang terjadi, namun kasus-kasus yang disidangkan di pengadilan selalu kandas. Dalam banyak kasus korupsi, ketentuan hukum tertulis atau perundang-undangan selalu dipinggirkan oleh hal-hal di luar norma hukum tertulis. Secara teknis hukum dikatakan, bahwa dianutnya ajaran sifat melawan hukum materiel oleh badan peradilan Indonesia dalam perkara korupsi, berakibat banyaknya kasus korupsi yang kandas. Dominannya peran faktor di luar hukum tertulis dalam penyelesaian perkara di pengadilan semacam itu, merupakan pertanda kurang atau tidak adanya kepastian hukum. Pada gilirannya tiadanya kepastian hukum ini jelas menimbulkan keraguan para pihak pencari keadilan terhadap berfungsinya sistem hukum Indonesia.[18]

      Tuntutan kesiapan sistem peradilan pidana ini bukanlah sesuatu yang berlebihan, mengingat  aktivitas ekonomi dan bisnis di era ekonomi global  dapat pula terjadi, dalam skala yang lebih besar serta lebih rumit penyelesaiannya.  Sebagaimana diidentifikasi oleh Muladi, kejahatan ekonomi merupakan kejahatan yang dilakukan tanpa kekerasan (nonviolent), disertai dengan kecurangan (deceit),  penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumtances). Di balik semua itu, apa yang terjadi sebenarnya merupakan  praktik bisnis yang tidak jujur.[19]

       Telah dikemukan di depan bahwa, sejalan dengan perkembangan ekonomi  yang semakin mengglobal,  aktivitas ekonomi juga tidak akan sepi dari praktik-praktik yang bersifat kriminal baik dilakukan oleh subjek hukum  individu maupun berupa subjek hukum korporasi.  Secara sektoral dapat dikemukakan bahwa, berbagai perundang-undangan baru di bidang ekonomi, serta Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah mengakomodasi korporasi sebagai subjek tindak pidana selain manusia/orang. Perkembangan ini merupakan bagian dari reformasi hukum pidana dan sistem peradilan pidana di Indonesia. Reformasi dalam bidang hukum pidana ini, seperti juga dalam bidang hukum yang lain, dengan menggunakan konsep Friedman, mencakup komponen struktur  hukum (legal  structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture).  Struktur hukum (legal structure) merupakan  batang tubuh, kerangka, bentuk abadi dari suatu sistem.  Substansi hukum (legal substance) aturan-aturan dan norma-norma aktual yang dipergunakan oleh lembaga-lembaga, kenyataan, bentuk perilaku dari para pelaku yang diamati di dalam sistem. Adapun kultur atau budaya hukum (legal culture) merupakan gagasan-gagasan, sikap-sikap, keyakinan-keyakinan, harapan-harapan dan pendapat tentang hukum.[20] Dalam perkembangannya, Friedman menambahkan pula komponen yang keempat, yang disebutnya komponen dampak hukum (legal impact).  Dengan komponen dampak hukum ini yang dimaksudkan adalah dampak dari suatu keputusan hukum yang diberlakukan di dalam masyarakat.[21]

       Dalam kerangka reformasi sistem peradilan pidana ini, Muladi mengutarakan beberapa karakteristik hukum pidana yang harus dikembangkan. Pertama, bahwa hukum pidana nasional di masa datang yang dibangun itu harus memenuhi pertimbangan sosiologis, politis, praktis dan juga  dalam kerangka ideologis Indonesia;  kedua, hukum pidana yang dibangun itu tidak boleh mengabaikan aspek-aspek yang bertalian dengan kondisi manusia, alam dan tradisi Indonesia; ketiga, hukum pidana yang dibangun itu harus menyesuaikan diri dengan kecenderungan-kecenderungan universal yang tumbuh di dalam pergaulan masyarakat beradab; keempat, oleh karena sistem peradilan pidana, politik kriminal dan politik penegakan hukum merupakan bagian tidak terpisahkan dari politik sosial, maka hukum pidana mendatang juga harus memikirkan aspek-aspek yang bersifat preventif;  kelima, hukum pidana dan sistem peradilan pidana pada dasarnya merupakan bagian dari  super sistem yang lebih besar,  sistem politik, ekonomi, sosial budaya, hankam dan sistem  ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena itu harus selalu tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi  guna peningkatan efektivitas fungsinya di dalam masyarakat.[22]

       Dengan karakteristik masa depan seperti tersebut di atas,  dapat diharapkan hukum pidana dan sistem peradilan pidana nasional akan dapat memberikan jaminan kepastian hukum yang diperlukan, dan dengan demikian akan dapat berfungsi dengan semestinya mendampingi atau memback up bekerjanya hukum ekonomi.

       Terkait dengan kasus BLBI di atas, logika pidana adalah untuk memberi efek jera, bukan win-win solution, tetapi adalah zero sum game dengan win loss solution. Pasal 4 UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi misalnya, berbunyi bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Logika pidana lebih menekankan kepada penghukuman (repressive mode) untuk memberikan efek jera, dari pada asset economic recovery yang dianut hukum perdata.

       Menurut penulis, secara teori penjatuhan sanksi pidana adalah pilihan yang tepat dalam memerangi kejahatan bisnis yang marak terjadi saat ini, mengingat banyaknya kejahatan bisnis yang berdampak tidak hanya pada satu pihak, melainkan berdampak pada masyarakat luas, misalnya kejahatan korupsi, kejahatan di bidang pasar modal, penggelapan dana nasabah, dll. Namun yang menjadi permasalahan saat ini ialah penjatuhan sanksi pidana tidak lagi menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Hal ini wajar karena masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarahnya selalu mengalami perubahan.

      Menurut teori konsekuensialisme “Pemidanaan sebagai suatu tindakan terhadap seorang penjahat, dapat dibenarkan secara moral bukan terutama karena terpidana telah terbukti bersalah, melainkan karena pemidanaan itu mengandung konsekuensi positif bagi terpidana, korban, dan juga masyarakat”.
Menurut teori absolute, sanksi merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan, sedangkan menurut teori relative, mengatakan bahwa sanksi ditekankan pada tujuannya.

       Menurut teori Integrative prof muladi mengatakan bahwa “tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang menimbulkan kerusakan individual dan masyarakat, tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana”.

       Penerapan sanksi pidana dalam kejahatan bisnis memiliki beberapa aspek atau kepentingan yang harus diperhatikan, pertama memperhatikan aspek pelaku, perlu diketahui bahwa pelaku adalah orang yang memiliki posisi dimasyarakat, karena kemampuannya, mereka diberi posisi untuk mengelola keuangan, kedua memperhatikan aspek korban, korban dalam kejahatan bisnis mencakup kepentingan tidak hanya satu pihak namun kepentingan banyak orang dan ketiga adalah aspek masyarakat, bahwa kepentingan masyarakat tidak terpenuhi akibat terjadinya kejahatan bisnis tersebut.

       Untuk mencapai sarana penyelesaian sengketa dengan hukum pidana yang efektif, terlebih dahulu kita harus memilah apakah yang ingin dicapai dari sanksi pidana tersebut, apakah memberikan efek jera (premium remedium), ataukah memberi penyadaran pada pelaku kejahatan bisnis dan memulihkan kerugian akibat kejahatan bisnis tersebut (ultimum remedium). Kalau tujuannya memberikan efek jera, lebih baik diterapkan sanksi pidana seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan bisnis tersebut, tetapi jika menginginkan pemulihan kerugian akibat kejahatan bisnis tersebut, lebih baik pelaku disadarkan terhadap dampak dari kejahatan tersebut, kemudian diberikan sanksi tindakan, dan mengembalikan kerugian akibat kejahatan yang dilakukannya (plea barganning system), dengan demikian tujuan pidana menjadi lebih efektif, yaitu pelaku manjadi sadar dan malu jika melakukan kejahatan tersebut, dan kerugianpun dapat diganti. Karena menurut saya, memberantas kejahatan bisnis bukan pada beratnya sanksi saja, tetapi juga harus memperhatikan pada pemulihan kerugian, karena pemulihan kerugian tersebut sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat.

 

Penyelesaian Sengketa dengan Sanksi Administratif dalam Kejahatan Bisnis.

       Penjatuhan sanksi administratif ialah dikenakan berupa peringatan, teguran tertulis,pengumuman kepada publik, dan/atau denda administrasi; Pelaku yang melanggar kewajiban atau larangan sehingga mengakibatkan terjadnya kejahatan bisnis pada umumnya dikenakan sanksi administratif berupa:

  1. peringatan lisan;
  2. peringatan tertulis;
  3. penundaan kenaikan pangkat;
  4. pengurangan gaji dalam waktu tertentu;
  5. pembayaran ganti rugi;
  6. penurunan pangkat;
  7. mutasi jabatan;
  8. pembebasan tugas dan jabatan dalam waktu tertentu; dan
  9. pemberhentian tidak hormat.

       Menurut penulis, terhadap pelaku kejahatan bisnis yang dikenakan sanksi administratif, hukuman administratif saja tidaklah cukup, apalagi untuk kasus kejahatan bisnis yang berdampak besar pada masyarakat luas tersebut. Hal tersebut hanya dapat menimbulkan preseden yang kurang baik bagi pelaku ekonomi dan kurang unsur penjeranya. Jenis hukuman tersebut tidak kondusif bagi upaya untuk memulihkan kepercayaan investor dan konsumen terhadap kredibilitas pemerintah dan lembaga peradilan. Begitu pula halnya jika pidana denda dan kompensasi diragukan memiliki efek penjera, maka dapat diupayakan upaya perampasan asset-asset perusahaan yang di dalanm KUHP diatur dalam Pasal 10 KUHP sebagai Pidana Tambahan.

       Jika fungsionalisasi hukum pidana mengedepankan hukuman administratif atas dasar kepentingan masytarakat, maka dalam kehidupan sehari-hari timbul suatu pergeseran atau kecenderungan dimasyarakat pada penjatuhan hukuman kumulatif-administratif dan hukuman pembayaran ganti rugi dengan menerapkan prinsip strick liability,  artinya tidak diperlukan adanya pembuktian apakan perusahaan tersebut bersalah atau tidak. Adapun pidana denda tidak populer. Bagi perusahaan besar, hukuman denda hampir tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kerugian yang diderita masyarakat atau keuntungan yang diperoleh dari kejahatan perusahaan tersebut. Begitu juga pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi denda, sangat relatif nilainya.

 

 Menurut Penulis :

     Dalam dunia bisnis, pendekatan perdata lebih dikedepankan daripada pendekatan pidana, sepanjang tingkat pelanggaran dan kerugian yang diakibatkan suatu perbuatan tersebut masih dapat dikelola. Ketika satu pihak melakukan tindakan yang merugikan pihak lainnya dalam hubungan bisnis, maka akan diselesaikan dengan cara pemberian ganti rugi atau kompensasi kepada pihak yang dirugikan, pola penyelesaian dengan sanksi perdata bertujuan untuk melindungi kepentingan masing-masing pihak.

       Untuk mencapai sarana penyelesaian sengketa dengan hukum pidana yang efektif, terlebih dahulu kita harus memilah apakah yang ingin dicapai dari sanksi pidana tersebut, apakah memberikan efek jera (premium remedium), ataukah memberi penyadaran pada pelaku kejahatan bisnis dan memulihkan kerugian akibat kejahatan bisnis tersebut (ultimum remedium). Jika  tujuannya memberikan efek jera, lebih baik diterapkan sanksi pidana seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan bisnis tersebut, tetapi jika menginginkan pemulihan kerugian akibat kejahatan bisnis tersebut, lebih baik pelaku disadarkan terhadap dampak dari kejahatan tersebut, kemudian diberikan sanksi tindakan, dan mengembalikan kerugian akibat kejahatan yang dilakukannya (plea barganning system), dengan demikian tujuan pidana menjadi lebih efektif, yaitu pelaku manjadi sadar dan malu jika melakukan kejahatan tersebut, dan kerugianpun dapat diganti. Karena memberantas kejahatan bisnis bukan pada beratnya sanksi saja, tetapi juga harus memperhatikan pada pemulihan kerugian, karena pemulihan kerugian tersebut sangat besar pengaruhnya bagi masyarakat.

       Terhadap pelaku kejahatan bisnis yang dikenakan sanksi administratif, hukuman administratif saja tidaklah cukup, apalagi untuk kasus kejahatan bisnis yang berdampak besar pada masyarakat luas tersebut. Hal tersebut hanya dapat menimbulkan preseden yang kurang baik bagi pelaku ekonomi dan kurang unsur penjeranya. Jenis hukuman tersebut tidak kondusif bagi upaya untuk memulihkan kepercayaan investor dan konsumen terhadap kredibilitas pemerintah dan lembaga peradilan.      

 Penulis adalah mahasiswi semester akhir Progam Magister Hukum Bisnis UNPAD angkatan 2010.

DAFTAR PUSTAKA

Dochak Latief, Perekonomian Indonesia Di  Tengah Liberalisasi Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi Asia-Pasifik Abad-21, dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono ed., Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Muhammadiyah University Pers, Surakarta, 2004, hal.  166.

Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan dan Implikasinya bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1999,  hal. 22.

Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 252

I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007, hal. 220

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi,  Alumni, Bandung, Alumni,  hal 218,219.

Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall  Inc,  New Jersey, 1977, hal. 6-7.

Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide  to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hal 16.

Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of Law and Development Policy, 1987

Lyndon B. Johnson, My Hope for America,  Random House, 1964, New York, hal. 30

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. ix Erman Radjagukguk, Keputusan Arbitrase Asing Mulai Dapat Dilaksanakan di ,  SKH Suara Pembaharuan, Jakarta 7 Juni 1991, 1991,  hal. 2

Muladi,  Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002,  hal. 195.

Natangsa Surbakti, Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana dalam Era Ekonomi Global, Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta, hal.3-4

Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi 2, Predana Media,Jakarta, 2003, hal. 25

Romli Atmasasmita, Privatisasi BUMN terkait Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, unpublished paper, 2008

Rukmana, Etika Bisnis dalam Prinsip Ekonomi Syariah. Makalah Disajikan pada Seminar “Etika Bisnis Dalam Pandangan Islam” yang Diselenggarakan oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung, sabtu 6 Maret 2004.

Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia  Dalam Konteks Situasi Global, dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono ed., Problema GlobalisasI Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Muhammadiyah University Pers, Surakarta, 2004, hal.  12.

Thomas N. Frank, The New Development, Can American Law and Legal Institution Help Developing Countries?, Wisconsin Law Review, 1989, hal 206

T. Mayer, J. Desenberry, RZ. Aliber, Money Banking and the Economy, fith ed. WW Norton coy, New York, USA, 1993, page. 179


[1]  Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia  Dalam Konteks Situasi

Global, dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono ed., Problema Globalisasi

Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Muhammadiyah University

Pers, Surakarta, 2004, hal.  12.

[2] Dochak Latief, Perekonomian Indonesia Di  Tengah Liberalisasi Perdagangan dan

Pertumbuhan Ekonomi Asia-Pasifik Abad-21, dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono

ed., Problema Globalisasi Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama,

Muhammadiyah University Pers, Surakarta, 2004, hal.  166.

[3]  Natangsa Surbakti, Aktualisasi Fungsi Hukum Pidana dalam Era Ekonomi Global, Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Surakarta, Surakarta, hal.3-4

[4] Tiar Ramon, S.H, M.H., Hukum Bisnis, http://tiarramon.com/blog/?p=49, diakses pada tanggal 19 September 2011 pukul 21:56 WIB

[5] Rukmana, Etika Bisnis dalam Prinsip Ekonomi Syariah. Makalah Disajikan

pada Seminar “Etika Bisnis Dalam Pandangan Islam” yang Diselenggarakan

oleh Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia Cabang Bandung, sabtu 6 Maret

2004.

[6] Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Edisi 2, Predana Media,Jakarta, 2003, hal. 25

[7] Ibid, hlm. 40.

[8] Romli Atmasasmita, Privatisasi BUMN terkait Undang-undang Tindak Pidana Korupsi, unpublished paper, 2008

[9] Thomas N. Frank, The New Development, Can American Law and Legal Institu-

tion Help Developing Countries?, Wisconsin Law Review, 1989, hal 206

[10] Leonard J. Theberge, Law and Economic Development, Journal of Law and

Development Policy, 1987

[11] Lyndon B. Johnson, My Hope for America,  Random House, 1964, New York, hal. 30

[12] Erman Radjagukguk, Peranan Hukum Dalam Pembangunan dan Implikasinya

bagi Pendidikan Hukum di Indonesia, Erlangga, Jakarta, 1999,  hal. 22.

[13] Pasal-pasal mengenai konsekuensi  administratif, perdata atau pidana tersebut antara lain terdapat pada pasal 48 – pasal 53 Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU nomor 7 tahun 1992 (yang diterbitkan sementara   krisis perbankan sedang terjadi), sanksi-sanksi administratif, perdata dan pidana tersebut ditambah dan disempurnakan pada pasal 46 – 53.

[14] T. Mayer, J. Desenberry, RZ. Aliber, Money Banking and the Economy, fith ed. WW Norton coy, New York, USA, 1993, page. 179

[15] I.G Rai Widjaya, Hukum Perusahaan, Megapoin, Jakarta, 2007, hal. 220

[16] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hal. ix

[17] Erman Radjagukguk, Keputusan Arbitrase Asing Mulai Dapat Dilaksanakan di

Indonesia,  SKH Suara Pembaharuan, Jakarta 7 Juni 1991, 1991,  hal. 2

[18] Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan-Hukum Materiel Dalam

Hukum Pidana Indonesia Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam

Yurisprudensi,  Alumni, Bandung, Alumni,  hal 218,219.

[19] Muladi,  Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002,  hal. 195.

[20]  Lawrence M. Friedman, Law and Society An Introduction, Prentice Hall  Inc,  New Jersey, 1977, hal. 6-7.

[21] Lawrence M. Friedman, American Law: An invalueable guide  to the many faces of the law, and how it affects our daily lives, W.W. Norton & Company, New York, 1984, hal 16.

[22] Muladi, 1990, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia Di Masa Datang, Pidato

Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, hal. 8-30.

Categories: Pemikiran Penulis | 6 Komentar

Navigasi pos

6 thoughts on “Manakah Pola Penyelesaian Sengketa yang Paling Tepat dalam Kejahatan Bisnis? Sanksi Perdata? Pidana? atau Administratif?

  1. Write more, thats all I have to say. Literally, it seems as
    though you relied on the video to make your point. You definitely know what
    youre talking about, why throw away your intelligence on just posting videos
    to your site when you could be giving us something informative to read?

  2. kok plea bargaining system diartikan seperti itu bu? hehehehe…..

  3. Kalo uraiannya seperti itu, lebih mirip kepada istilah restorative justice atau ultimum remedium. kalo plea bargainning itu, maknanya pengakuan bersalah untuk mendapatkan pengurangan hukuman. Dan itu kewenangannya Jaksa.
    Begitu kira2 ibu yasminah

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: