Perdagangan internasional adalah perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain atas dasar kesepakatan bersama. Penduduk yang dimaksud dapat berupa antarperorangan (individu dengan individu), antara individu dengan pemerintah suatu negara atau pemerintah suatu negara dengan pemerintah negara lain. Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya ialah terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia yang dapat hidup sendiri.
Perkembangan dalam dunia perdagangan tersirat dalam pola hubungan diantara para pelakunya yang senantiasa berorientasi dengan dalil-dalil efisiensi, efektivitas dan kecepatan serta untuk merealisasikan hubungannya diperlukan suatu model hubungan prkatis dan secara pasti mampu memenuhi kebutuhan mereka.[1]. Kesadaran akan hal ini menjadi isu pokok yang melanda dunia perdagangan dalam beberapa dasawarsa ini.
Negara-negara di kawasan ASEAN pun tak lepas dari perkembangan ini, yaitu dengan lahirnya Asean Free Trade Area (AFTA) pad Konvensi Tinggi ASEAN di Singapura pada tahun 1992, yang merupakan wujud dari kesepakatan negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi di kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia.
Seiring dengan hal tersebut, Indonesia sebagai salah satu pihak yang menandatangani Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN tersebut ikut serta mewujudkan terciptanya kawasan perdagangan bebas tersebut. Seperti diketahui bahwa di kawasan ASEAN terdapat sistem hukum yang berbeda-beda yang di dalamnya terdapat asas hukum, pranata hukum, lembaga hukum yang berbeda-beda pula. Misalnya Singapura menganut system hukum common law, Vietnam menganut system hukum sosialis, Malaysia menganut system hukum common law yang dipadukan dengan sistem hukum Islam yang dalam praktiknya system-sistem hukum tersebut saling mengintegrasi satu dengan yang lainnya. Saling mengintegrasikan disini dimaksudkan adanya penggabungan dan perpaduan antara sistem hukum tersebut. Negara yang menganut sistem hukum common law sedikit banyak terpengaruh oleh sistem hukum civil law dan demikian pula sebaliknya.[2]
Perbedaan yang terdapat pada sistem-sistem hukum tersebut di atas dapat menjadi kendala di dalam pelaksanaan bisnis terutama di era AFTA ini. Oleh karena itu diperlukan banyak kajian, khususnya dalam bidang hukum yang membahas mengenai perbedaan-perbedaan tersebut untuk memberikan masukan dan penyesuaian terhadap perkembangan sistem hukumnya masing-masing sehingga terdapat suatu keseragaman aturan yang diberlakukan untuk menunjang lancarnya perdagangan antar negara tanpa disulitkan oleh perbedaan sistem hukum antara negara-negara yang bertransaksi yang dalam hal ini disebut sebagai transaksi ekspor impor.
Tidak hanya terdapat perbedaan dari sistem hukum saja namun setiap negara juga berbeda dengan negara lainnya ditinjau dari sudut sumber alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga, keadaan struktur ekonomi dan sosialnya. Perbedaan-perbedaan itu menimbulkan pula perbedaan barang yang dihasilkan, biaya yang diperlukan, serta mutu dan kuantutumnya. Karena itu mudah dipahami adanya negara yang lebih unggul dan lebih istimewa dalam memperoduksi hasil barang tertentu. Hal ini dimungkinkan karena adanya barang yang hanya dapat diproduksi di daerah dan pada iklim tertentu atau karena suatu negeri mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi yang lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih bersaing.[3] Sama halnya dengan perdagangan dalam negeri yakni melakukan transaksi jual-beli maka dalam perdagangan luar negeri pun juga dilakukan aktivitas jual yang disebut ekspor dan aktivitas beli yang disebut impor. Faktor pertama yang harus diperhatikan adalah factor hasil (proceeds) dan biaya (cost).
Barang-barang yang akan dijual ke luar negeri adalah barang yang biaya produksinya relatif murah dibandingkan dengan ongkos pembuatannya di luar negeri, dalam arti kata jika diekspor akan dapat dijual dengan menguntungkan. Sebaliknya barang-barang yang akan diimpor adalah barang yang biaya produksinya di dalam negeri terlalu tinggi atau yang sama sekali belum dapat diproduksi. Kedua aktivitas ini hanya dapat dilakukan dalam batas tertentu sesuai dengan kebijaksanaan umum pemerintah dalam masa sekarang ini.[4] Kebutuhan negara-negara di setiap belahan dunia atas suatu perdagangan internasional merupakan suatu bentuk interdependensi kebutuhan yang sifatnya lazim dan wajar benar mampu mandiri dalam arti dapat memenuhi kebutuhannya dari hasil produksi negaranya sendiri tanpa bantuan negara lainnya.
Pada umumnya tata-cara perdagangan dalam negeri tidak berbeda dengan perdagangan luar negeri, hanya perdagangan luar negeri agak lebih sulit dan lebih berbelit-belit disebabkan factor-faktor sebagai berikut:[5]
- Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan
- Barang harus dikirim atau diangkut dari satu negara ke negara lainnya melalui bermacam peraturan seperti peraturan pabean yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarkan oleh masing-masing pemerintah,
- Antara satu negara dengan negara lainnya tidak jarang terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, takaran dan timbangan, hukum dan kebiasaan dalam melakukan perdagangan dan lain-lainnya.
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dalam masa lampau pernah menjalankan Politik ekonomi Berdikari dengan tujuan mencoba menjadi negara mandiri dan tidak memperhitungkan bantuan dari negara lain. Namun akhirnya tidak mampu bertahan dan terpaksa mengikuti arus, membuka diri untuk berhubungan lebih dekat denga bangsa lain demi memenuhi kehidupan ekonomi nasionalnya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam dunia yang sudah terbuka ini, hamper tidak ada lagi satu negarapun yang benar-benar mandiri, tetapi satu sama lain saling membutuhkan dan saling mengisis. Kenyataan ini lebih meyakinkan kita akan bertambah pentingnya peranan perdagangan internasional dalam masa mendatang demi kepentingan ekonomi nasional kita sendiri. Politik ekonomi internasional yang hrus kita jalankan haruslah berdiri tegak dengan kokoh di atas landasan kepentingan ekonomi nasional.[6]
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas maka dalam melakukan perdagangan luar negeri atau dalam hal ini disebut sebagai ekspor impor tidak hanya diperlukan pengetahuan yang cukup saja misalnya dalam segi teknis pembayaran baik impor maupun ekspor, masalah perasuransian, masalah shipping, urusan pabean dan lain-lainnya namun diperlukan juga suatu bentuk lembaga hukum baru untuk negara Indonesia ataupun negara lain yang mampu meng-cover setiap kebutuhan baik eksportir maupun importer dalam perdagangan ekspor impor ini. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, di Indonesia pembuat undang-undang dituntut untuk selalu cepat tanggap dalam membahas permasalahn-permasalahan hukum yang ada dengan melakukan perubahan tersebut pada peraturan lama. Indonesia perlu mengadopsi asas preseden yang konsisten untuk diterapkan di dalam praktik peradilan. Sejauh ini walaupun asas ini telah ditetapkan di dalam praktik peradilan melalui yurisprudensi tetapi di dalam praktiknya seringkali terjadi inkonsistensi.
Dikarenakan pola pikir yang dianut di dalam sistem hukum common law yang sama sekali berbeda dengan civil law yang dianut Indonesia, serta seiring dengan maraknya perkembangan khususnya di bidang perdagangan internasional yakni ekspor impor yang salah satu unsure pentingnya adalah lapangan hukum perjanjian, maka harus dibuat suatu kajian yang bertujuan untuk mengharmonisasikan hukum perjanjian di Indonesia.[7]
Hukum perjanjian ini berkembang dengan pesat dan menjadi mandiri serta telah membebaskan dirinya dari belenggu kebiasaan dan doktrin hukum lainnya. Hukum perjanjian meruopakan perkembangan dari hukum kekayaan, hukum perjanjian adalah wadah bagi para pihak untuk menuangkan kehendaknya terhadap kekayaannya. Di Indonesia dengan dasar KUHPerdata buku III yang menganut sistem terbuka, maka pelaksanaan suatu perjanjian memungkinakan berdasarkan asas kebabasan berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata adalah meliputi batasan untuk:[8]
- Menentukan kehendak untuk menutup atau tidak menutup perjanjian
- Memilih dengan pihak mana akan ditutup suatu perjanjian
- Menetapkan isi perjanjian
- Menetapkan bentuk perjanjian
- Menetapkan cara penututpan perjanjian
Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa “semua” kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Menurut Subekti, cara menyimpulkan asas kebebasan berkontrak ini adalah dengan jalan menekankan pada perkataan “semua” yang ada di muka “perjanjian”.[9] Dikatakan bahwa Pasal 1338 ayat (1) itu seolah-olah membuat suatu pernyataan bahwa seseorang dipernolehkan membuat perjanjian apa saja dan itu akan mengikat orang tersebut sebagaimana megikatnya undang-undang.[10] Pembatasan terhadap kebebasan itu hanya berupa apa yang dinamakan ketertuban umum dan kesusilaan. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu dan hal tersebut, dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak.
Walaupun secara filosofis hukum perjanjian merupakan bidang hukum yang mandiri, tetapi kebiasaan bisnis khususnya ekspor impor yang merupakan perdagangan lintas negara tetap saja mempengaruhi perkembangan perjanjian tersebut. Semakin berkembangnya tenologi di era globalisasi ini, mengakibatkan tingkat interdependensi negara-negara semakin kuat pulan dan memancing aktivitas bisnis yang bergelut dalam perdaganagn internasional ekspor impor ini mencobaq mencari bentuk-bentuk baru yang mampu memenuhi serta memfasilitasi aktivitas bisnis merek. Kebiasaan dari pelaku bisnis ini yang menjadi dasar perkembangan bisnis dari tahap nasional sampai internasional.
Semakin meningkatnya perdagangan antar negara-negara I dunia menimbulkan kebiasaan dalam sistem perdagangan dan cara pmbayaran yang dilakukan dalam perdagangan internasional maka untuk pelaksanaan pembayaran perdagangan tersebut dapat dilakukan dengan:[11]
- Pembayaran di muka (Advanced Payment)
- Letter of Credit (L/C)
- Wesel Inkaso (Collection Draft) dengan kondisi Document against Payment dan Document against Acceptance
- Perhitungan kemudian (Open Account)
- Konsinyasi, yaitu pembayaran terhadap barang yang terjual
- Cara pembayaran yang lazim dilakukan dalam perdagangan luar negeri sesuai dengan kesepakatan pembeli dan penjual.
Di dalam sistem common law terdapat banyak lembaga hukum yang sama sekali berbeda dengan lembaga hukum di dalam sistem civil law, salah satunya dalam lapangan hukum perjanjian terdapat sarana hukum escrow yang seringkali digunakan dalam berbagai macam transaksi pembayaran bisnis, baik transaksi perdagangan maupun transaksi lainnya untuk kepentingan para pihak dalam perjanjian pokok.
Secara etimologis, istilah escrow berasal dari kata dalam bahasa Perancis escroue yang mengambil istilah latin escroda yang artinya dalam bahasa inggirs strip of parchment. Kemudian istilah tersebut diadopsi ke dalam bahasa inggris menjadi escrow[12], yang semula hanya berarti gulungan kertas kulit untuk penulisan dokumen kemudian berkembang penggunaannya untuk merujuk pada sebuah akta yang disimpan dalam sebuah escrow.[13]
Pada perkembangannya dari waktu ke waktu istilah escrow ini sudah menjadi suatu sarana pembiayaan tersebdiri. Perkembangan istilah tersebut dewasa ini ditujukan untuk menunjuk pada escrow agreement atau escrow arrangement. Perjanjian escrow pada hakikatnya adalah suatu penyimpanan dokumen, surat berharga, barang atau uang pada suatu pihak yang netral an tidak memihak dengan suatu instruksi khusus tentang bagaimana, dalam hal apa dan kepada siapa penyimpan (escrow holder) tersebut melapskan dokume, barang, atau uang tersebut.[14]
Di dalam praktiknya di Indonesia, sarana pembiayaan ini sudah cukup dikenal baik di dalam transaksi jual beli, perjanjian lisensi perangkat ataupun perjanjian ekspor impor yaitu dengan menunjuk bank sebagai agen escrow dan di dalam bank tersebut akan dibuka suatu escrow account (rekening penampung). Perjanjian escrow juga sering menjadi suatu syarat penyerahan barang, dana ataupun dokumen berharga lainnya khususnya dalam perjanjian ekspor impor.
Agen escrow dalam perjanjian escrow mendapatkan pengalihan hak dalam transaksi ekspor impor dengan merujuk kepada suatu bentuk penyerahan kuasa dari pihak eksportir dan importer kepada seorang agen. Pemyerahan kuasa yang dimaksud dalam perjanjian escrow pada dasarnya memiliki unsure-unsur seperti yang terdapat pada perjanjian penyerahan kuasa (power of attorney) yang diatur dalam Buku III KUH Perdata Bab ke-16 Pasal 1792 sampai Pasal 1819.
Pemberian kuasa sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1792 KUH Perdata adalah suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa guna melakukan suatu perbuatan atau tindakan atas nama si pemberi kuasa.
Meninjau dari perjanjian escrow ini dapat dilihat bahwa pihak principal member kuasa agen escrow untuk mengurus dokumen-dokumen, saham, obligasi, dana maupun property yang dimiliki oleh para principal sebagai objek perjanjian di antara para principal. Pemberian kuasa dalam perjanjian escrow tergolong dalam pemberian kuasa khusus yang diatur dalam Pasal 1795 KUH Perdata karena telah jelas ditentukan bahwa agen escrow diberi kuasa untuk menyimpan, memeriksa dan memastikan keabsahan objek perjanjian.
Perjanjian pemberian kuasa yang diatur Pasal 1792 KUHPerdata pada dasarnya memenuhi beberapa unsure yang terdapat dalam perjanjian escrow. Antara lain unsure pemberian kuasa yang diserahkan principal kepada agen escrow, tanggung jawab agen escrow dalam perjanjian escrow yang juga telah diatur dalam Pasal 1800 s/d 1806 KUHPerdata secara umum, namun perjanjian pemberian kuasa tersebut belum mampu memenuhi kebutuhan akan kepastian hukum perjanjian escrow. Di samping itu, perjanjian pemberian kuasa dalam perjanjian escrow hanya bersifat tembahan atau assesoir yang pada dasarnya pelaksanaannya mengikuti perjanjian pokoknya yakni perjanjian antar principal atau dengan kata lain, perjanjian escrow menjadi klausul dalam perjanjian pokoknya.
Seorang escrow agen yang diberikan kuasa dalam perjanjian escrow harus mampu mendesain dan mengoperasikan sedemikian rupa sehingga apabila terjadi kegagalan ataupun kesalahan yang mengakibatkan kerugian pada salah satu pihak dalam perjanjian ekspor impor, mka berdasar prosedur atau mekanisme yang ada, agen escrow harus memiliki kemapuan untuk membayar ganti rugi tersebut dan hal ini merupoakan hal mutlak dari perjanjian escrow tersebut.
Sebagai perbandingan, di negara-negara yang mempunyai pengaturan mengenai hal ini, ada suatu kriteria khusus bagi seseorang atau badan hukum yang akan menyelenggarakan jasa ini, seperti pengalaman bisnis yang cukup, mengetahui segi-segi kerumitan bisnis, dan mampu melaporkan data mengenai sejarah kepailitan perusahaan. Pemberian jasa escrow mensyaratkan kapasitas agen escrow yang memiliki integritas alam menjalankan fungsinya dan harus mempunyai kemapuan untuk memikul beban tanggung jawab atas resiko yang timbul dari kesalahan yang dibuat dalam menjalankan kewajibannya. Kedudukan tersebut menyebabkan di negara-negara maju terdapat kewajiban-kewajiban untuk memenuhi persyaratan sebagai agen escrow yang ketat sebab harus memenuhi karakter, permodalan dan konsistensi sebagai seorang agen.
Ketentuan umum di dalam KUHPerdata saja yang dilandasi asas kebebasan berkontrak serta perjanjian pemberian kuasa dirasa tidak mencukupi untuk memberi acuan kepada pelaku isnis untuk melakukan perjanjian escrow ini, karena perjanjian ini mempunyai karakteristik tersendiri dibandingkan dengan perjanjian-perjanjian yang berada di dalam sistem hukum perjanjian di Indonesia. Di Indonesia tidak terdapat suatu pengaturan yang jelas mengena perjanjian escrow, kedudukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian ini serta kedudukan agen escrow dalam perjnajian escrow.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka dapat ditarik suatu identifikasi masalah yaitu:
- Bagaimanakah kedudukan hukum perjanjian escrow dihubungkan dengan hukum perjanjian dalam KUH Perdata?
- Bagaimanakah perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian escrow?
Ketentuan Hukum Perjanjian Escrow Dihubungkan dengan Hukum Perjanjian dalam KUH Perdata.
Escrow merupakan suatu bidang usaha yang tergolong baru di Indonesia. kemajuan bisnis di bidang escrow ini harus diimbangi dengan pengaturan hukum yang baik agar keduanya dapat berjalan secara sinergis sehingga mampu mencipotakan keadilan dan kepastian hukum bagi para pelaku bisnis serta semakin mendorong perkembangan pembangunan ekonomi di Indonesia.
Sejauh ini tidak terdapat suatu pengaturan khusus mengenai perjanjian escrow di antara para pihak di Indonesia. hubungan antara agen escrow dan para prinsipalnya yang timbul di dalam parktik di Indonesia hanya didasarkan kepada perjanjian escrow yang disepakati oleh para pihak. Walaupun sepakat merupakan unsur utama dalam syarat sahnya perjanjian yakni terpenuhinya asas konsensuil.[15] Yang mana para pihak yang bertransaksi bersepakat, setuju dan apa yang dikehendaki oleh pihak lain sehingga terjadi pertemuan kehendak, namun pengaturan yang lebih khusus dan spesifik lebih dibutuhkan untuk mendukung terciptanya transaksi yang sinergis dan memiliki dasar hukum yang jelas dan spesifik.
Pengaturan perjanjian escrow sampai saat ini bernaung pada buku III KHPerdata mengenai Perikatan. Di dalam buku III diatur mengenai asas kebebasan berkontrak yang pada hekekatnya mengatur bahwa setiap perjanjian bebas untuk dibuat oleh para pihak selama perjanjian itu memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini mengandung asas hukum kebabsan berkontrak yang dalam bahasa inggris disebut “freedom of contract” dan dalam bahasa Belanda disebut “partij otonomi”. Pasal ini juga mengandung asas “pacta sunt servanda” yang artinya bahwa perjanjian menjadi hukum atau undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, atau dengan kata lain perjanjian itu mengikat dan menimbulkan sanksi jika ada pihak yang melanggar. Pada awalnya perjanjian escrow ini tidak dikenal dalam pranata hukum perjanjian Indonesia namun karena asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh hukum perjanjian Indonesia maka apapun bentuk atau konstruksi perjanjian yang akan dibuat di dalam yurisdiksi hukum Indonesia akan mempunyai kekuatan hukum dan dilindungi oleh hukum perjanjian Indonesia selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, norma-norma kepatutan yang hidup dan berkembang di masyarakat serta tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Mengenai hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.”
Asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh BW (Pasal 1338 ayat 1) memungkinkan perkembangan dalam hukum perjanjian jarena masyarakat menurut kebutuhnannya dapat menciptakan sendiri bermacam-macam perjanjian di sampng “perjanjian-perjanjian khusus” yang diatur dalam BW, asal perjanjian itu tidak bertentangan dengan undanng-undang, ketertuban umum atau kesusilaan (mempunyai causa yang “halal” menurut Pasal 1320 KUHPerdata.[16]
Dari ketentuan yang terdapat pada pasal 1338 KHPerdata di atas maka dapat disimpulkan perjanjian escrow didasari oleh ketentuan hukum Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata mengenai kebebasan berkontrak. Ketika para pihak yang mengadakan suatu perjanjian ekspor impor sepakat untuk melaksanakan perjanjian dengan klausul perjanjian escrow maka perjanjian ini adalah sah dan mengikjat sebagai undang-undang bagi pihak yang mengadakan perjanjian.
Perjanjian escrow ini dapat dikategorikan sebagai perjnajian tidak bernama (Onbenoemde) yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak diatur namun terdapat dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktik adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau partij otonomi. Asas kebebasan berkontral pada Pasal 1338 KUHPerdata yang menjadi dasar dibentuknya perjanjian escrow inila yang mengakibatkan perjanjian escrow dapat dikategorikan sebagai perjanjian tidak bernama.[17]
Sesuai dengan apa yang diatur pada Pasal 1233 KUHPerdata maka perjanjian escrow antara principal dan agen escrow ini merupakan perikatan yang lahir dari perjanjian. Perikatan yang lahir karena adanya kesepakatan antara para pihak yaitu para principal sebagai pihak pertama dan agen escrow sebagai pihak kedua serta kemudian para pihak setuju untuk saling mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.
Pasal 1313 KUHPerdata menyebutkan bahwa suatu perjanjian atau persetujuan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Maka dapat dilihat bahwa para principal sebagai pihak pertama mengikatkan dirinya terhadap agen escrow. Dasar bagi mereka untuk saling mengkatkan diri dituangkan dalam perjanjian escrow baik mengenai hak maupun kewajiban masing-masing pihak.
Sesuai dengan Pasal 1319 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian, baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan-peraturan umum yang telah disebut di atas. Bila melihat perjanjian escrow tersebut, maka konstruksi perjanjian seperti ini sebelumnya tidak dikenal pada buku III KUHPerdata, namun dengan adanya Pasal 1319 maka dimungkinkan bahwa Hukum Perjanjian member kekuatan hukum terhadap perjanjian escrow selama tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan umum, yang termuat di dalam buku UU tentang benda beserta buku III tentang perikatan pada KUHPerdata. Pasal 1319 KUHPerdata menunjukkan bahwa buku III KUHPerdata menganut asas terbuka. Maksudnya adalah dimungkinkan dibuatnya perikatan-perikatan selain yang diatur dalam Buku tentang perikatan (Buku III) selama perjanjian yang dibuat tersebut tidak bertentangan peraturan umum yang terdapat pada Buku II dan Buku III.
Perjanjian escrow yang dikategorikan perjanjian tidak bernama ini juga telah memenuhi unsure-unsur syarat sahnya suatu perjanjian, antara lain:
“Untuk syarat sahnya persetujuan-persetujuan diperlukan empat syarat:
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
- Cakap untuk membuat suatu perjanjian
- Suatu hal tertentu
- Suatu sebab yang halal.”
Apabila dikaitkan dengan unsur-unsur mengenai sayarat sahnya perjanjian tersebut, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Kesepakatan.
Dengan sepakat atau perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seia-sekata mengenai hal-hal pokok dari perjanjian yang diadakan itu.[18] Perjanjian escrow mengandung dua perjanjian yang bersifat pokok dan tambahan. Pertama, kata sepakat dalam perjanjian pokok adalah kesepakatan mengenai objek perjanjian antar principal, perjanjian ini mengikat para pihak/principal dalam menentukan barang atau harga. Kedua, perjanjian tambahan yakni kesepakatan di antara para pihak dalam perjanjian pokok dengan pihak ketiga sebagai agen escrow. Sepakat dalam hal ini adalah para pihak dalam perjanjian pokok sepakat dengan pihak agen yang ditunjuk untuk merumuskan perbuatan hukum yang secara konkrit tertuang dalam sebuah instruksi yang harus dilakukan oleh agen escrow.
2. Kecakapan.
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.[19] Kecakapan para pihak dalam perjanjian escrow ditentukan oleh kemampuan subjek hukum dalam mengemban hak dan kewajiban hukum bagi perorangan. Principal dan agen escrow yang merupakan para pihak dalam perjanjian escrow harus telah memenuhi unsure cakap menurut undang-undang.
Hal ini terlihat dari adanya kriteria khusus bagi orang atau badan hukum yang ingin menjalankan usaha escrow. Seperti di Indonesia, usaha escrow dilakukan oleh bank yang bertindak independen dan tidak memihak. Agen sebagai badan hukum dalam hal ini telah cakap menurut hukum, begitu pula para pihak/principal dalam perjanjian escrow.
3. Suatu hal tertentu.
Syarat yang ketiga mengenai hal tertentu jika dianalisis maka objek perjanjian escrow adalah berupa dokumen-dokumen, saham, obligasi, dana, maupun property yang disimpan oleh pihak ketiga yaitu agen escrow. Suatu hal tertentu berarti objek perjanjian maupun hak-hak serta kewajiban yang dilakukan oleh para pihak.
4. Kausa yang halal.
Hal yang harus diperhatikan dalam hal “kausa yang halal” adalah isi perjanjian yang menggambarkan tujuan yang dicapai oleh para pihak.[20] Kausa yang halal dapat diteliti dari tujuan dibuatnya perjanjian escrow ini. Tujuan tersebut dapat diidentifikasi dari latar belakang dibuatnya perjanjian escrow yaitu adanya kebutuhan akan kepastian oleh principal yang mengadakan transasksi atas pemenuhan objek perjanjian. Atau dengan kata lain perjanjian escrow bertujuan untuk menyerahkan pengurusan kepentinfgan principal atas keberadaan dan keabsahan objek perjanjian kepada pihak ketuga yaitu agen escrow. Tujuan atau kausa dari perjanjian escrow tersebut adalah sah dan halal karena tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertban umum.
Dari penjabaran tentang syarat-syarat sahnya perjanjian di atas maka perjanjian escrow memnuhi unsure-unsur untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur pada Pasal 1320 KUHPerdata.
Pada dasarnya perjanjian escrow ini mempunyai kemiripan dengan perjnajian pemberian kuasa yang dikenal dalam KUHPerdata. Pasal 1792 KUHPerdata menyebutkan bahwa pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Pemberian kuasa sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah suatu persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa guna melakukan sutau perbuatan atau tinakan atas nama si pemberi kuasa.
Pada pengertian yang disebut pada Pasal 1792 tersebut, sifat pemberian kuasas adalag mewakilkan atau perwakilan (vertegenwoording). Pemeberian kuasa mewakilakna kepada penerim kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan pemberi kuasa. Penerima kuasa bertindaj sebagai wakil atau mewakili pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa. Pengertian kata “atas nama” dalam ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata tidak lain adalah penerima kuasa berbuat atau bertindak mewakili pemberi kuasa.[21]
Meninjau perjanjian escrow ini dapat dilihat bahwa pihak principal member kuasa agen escrow untuk mengurus dokumen-dokumen, saham, obligasi, dana maupun property yang dimiliki oleh para principal sebagai objek perjanjian di antara para principal.
Pasal 1795 KUHPerdata menyebutkan bahwa pemberian kuasa hanya dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum yaitu meliputi segala kepentingan pemberian kuasas. Untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, diperlukan pemberian kuasa khusus yang menyebutkan perbuatan yang harus dilakukan yaitu misalnya untuk menjual rumah dan lain sebagainya.
Pemberian suatu kuasa umum hanya member kewenangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan pengurusan atau dalam bahasa Belanda disebut “beheren”, misalnya terhadap pihak pemberi kuasa agar diurus oleh penerima kuasa dan tidak boleh dijual kepada pihak lain.[22] Untuk memindahtangankan benda-benda atau untuk membuat suatu perdamaian, ataupun suatu perbuatan lainnya yang hanya dapat dilakukan oleh pemilik, diperlukan kuasa dengan kata-kata yang tegas.
Perjanjian escrow mensyaratkan perjanjian pemberian kuasa dengan menuliskan dengan tegas hal-hal yang perlu dilakukan oleh agen escrow dalam instruksi escrow. Yakni antara lain menyimpan, memeriksa dan mencari informasi terkait objek perjanjian beruoa uang yang akan dimasukkan ke dalam rekening atau sertifikat erta surat-surat berharga lainnya yang memiliki nilai ekonomi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penyerahan kuasa dalam perjanjian escrow bersifat khusus.
Pasal 1800 KUHPerdata menyebutkan bahwa si Penerima kuasa diwajibkan selama ia belum dibebasjkan melaksanakan kuasanya, menanggung segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidk dilaksanakannya kuasa itu. Agen escrow bertanggungjawab atas segala kerugian yang diakibatkan oleh tidak dilaksanakannya instruksi escrow.. agen escrow dalam hal ini memiliki kewajiban untuk melaksanakan instruksi escrow sebagai prestasinya dan oleh karenanya dapat dikenai sanksi atas tidak dilaksanakannya prestasi tersebut.
Hak substitusi adalah hak seorang penerima kuasa untuk menunjuk seorang lains sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya. Dalam segala hal pemberu kuasa dapat secara langsung menuntut orang yang ditunjuk oleh penerima kuasa sebagai penggantinya itu sebagaimana disebutkan pada Pasal 1803 KUHPerdata. Dalam perjanjian escrow, seorang agen tidak dapat menunjuk agen lain untuk menggantikan kedudukannya kecuali prinspil dalam perjnjian escrow menunjuk joint control agents (kelompok agen escrow yang bekerja sama) sehingga sesame agen escrow yang bekerja sama dapat melakukan kuasa substitusi tersebut.
Apabila di dalam akta yang sama ditunjuk berbagai orang penerima kuasa, maka terhadap mereka tidak dibuat suatu perikatan tanggung menanggung, kecuali hal yang demikian ditentukan dengan tegas (Pasal 1804 KUHPerdata). Dalam perjanjian escrow telah ditentukan sebelumnya bahwa penerima kuasa hanya akan diberikkan kepada seorang agen escrow dan hanya dapat disubtitusi oleh joitn control agents yang berhubungan dengan agen escrow sebelumnya. Sehingga ketentuan penerima kuasa oleh beberapa orang yang diatur dalam Pasal 1804 KUHPerdata tidak berlaku bagi perjanjian escrow.
Perjanjian penyerahan kuasa (power of attorney) yang diatur dalam Buku III KUHPerdata Bab ke-16 Pasal 1792 sampai Pasal 1819 pada dasarnya memenuhi beberapa unsure yang terdapat dalam perjanjian escrow. Namun perjanjian penyerahan kuasa dalam perjanjian escrow hanya bersifat tambahan atau assesoir yang pada dasarnya pelaksanaanya mengikuti perjanjian pokoknya yakni perjanjian antar principal. Oleh karena itu dibutuhkan suatu peraturan khusus dan spesifik tentang perjanjian escrow sebagai perjanjian tambahaan yang diikuti oleh perjanjian pokok antar prinsipalnya sehingga mampu merangsang perdaganagan intrnasional yang berdampak besar tidak hanya bagi para pihak yang melakukan transaksi namun juga bagi perkembangan perekonomian negara dan rakyat.
Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Escrow.
Tidak ada pengaturan undang-undang yang secara khusus memberikan perlindungan kepada prinsipanl maupun agen escrow. Ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menjadi landasan hukum dari perjanjian escrow menjadi satu-satunya perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap pihak-pihak antara lain principal dan agen escrow yang membutuhkan perlindungan hukum.
Pada Konsep Hukum Perdata kebenaran formil sangat diutamakan, oleh karena itu setiap hubungan hukum sebaiknya disertai dengan suatu bukti tertulis yang sah menurut hukum. Walaupun dalam pembuatan perjanjian tidak ada diatur agar harus dalam bentuk tertulis, tetapi kemudian untuk menghindari sengketa yang mungkin akan timbul di kemudian hari maka ada suatu kebutuhan agar suatu perjanjian dibuat tertulis supaya mudah dalam pembuktiannya.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa perjanjian di antara principal dan agen escrow pada dasarnya berlandaskan asas kebebasan berkontrak sehingga sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata maka setiap hak dan kewajiban antara principal dan agen escrow, objek perjanjian sampai penyelensaian sengketa di antara keduanya dituangkan ke dalam suatu bentuk perjanjian tertulis yang disebut kontrak. Kontrak inilah yang akan berisi aturan-aturan yang sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Transaksi yang dilakukan baik antar para principal mengenai perjanjian pokok maupun antar principal dengan agen escrow mengenai perjanjian escrow dilakukan pada waktu dan tempat yang sama. Dalam hal ini baik agen escrow dan principal bertemu dan menandatangani kontrak penyerahan kuasa (Power of Attorney) sebagai perjanjian yang sifatnya tambahan yang disertai dengan perjanjian pokok yakni penandatanganan kontrak antara para principal yang di dalam perjanjiannya terdapat klausul penyerahan pengurusan objek perjanjian kepada pihak ketiga yaitu agen escrow.
Dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang mengadakan perjanjian escrow tersebut tertuang pada kontrak yang ditandatangani oleh mereka. Pelanggaran yang dilakukan terhadap kontrak dapat diartikan sebagai wanprestasi yang dapat dikenakan sanksi. Pengertian wanprestasi secara umum adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.[23] Dengan demikian, baik yang principal maupun agen escrow disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila mereka dalam melaksanakan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang telah ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak dengan sepatuhnya.
Wanprestasi (kelalaian) yang dilakukan oleh debitor dapat berupa hal-hal sebagai berikut:[24]
- Tidak memenuhi prestasi sama sekali
- Terlambat memenuhi prestasi
- Memenuhi prestasi secara tidak baik
Prestasi dalam hal ini berarti kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan oleh principal maupun agen escrow seperti yang tertuang dalam perjanjian. Wanprestsi dikenakan ketika principal tidak memenuhi kewajiban atau prestasi yang harus dilakukannya seperti:
- Melaksanakan perjanjian pokok yang sah
- Membayar komisi kepada agen escrow
- Membayar biaya-biaya yang dikeluarkan oleh agen escrow selama menjalankan tugasnya sebagai agen.
- Memberikan ganti kerugian kepada agen escrow atas seluruh kerusakan dan kerugian yang diderita akibat keagenan yang mana kerusakan dan kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kesalahan agen escrow.
Wanprestasi dikenakan ketika agen escrow tidak memenuhi kewajiba atau prestasi yang harus dilakukannya seperti:
- Menyimpan dan memelihara dokumen, uang dan akta yang diberikan oleh pihak principal kepadanya dengan sebaik-baiknya
- Menjaga kerahasiaan dari perjanjian escrow serta setiap hal apapun yang diatur oleh atau timbul dari perjanjian tersebut.
- Bertindak secara independen
- Menyampaikan laporan berkala mengenai usaha yang dilakukannya dan laporan lainnya secara wajar kepada para principal
- Menjaga dan tidak memanfaatkan barang-barang atau dokumen-dokumen berharga milik para principal yang disimpan kepadanya,
Pelanggaran terhadap kewajiban atau prestasi oleh principal atau agen escrow dapat dikenakan wanprestasi. Pelanggaran yang dilakukan principal maupun agen escrow terhadap prestasinya sehingga mengakibatkan wanprestasi (ingkar janji), dapat dituntut hal-hal sebagai berikut:
- Pemenuhan perikatan atau pemenuhan prestasi yang diperjanjikan sebelumnya
- Pemenuhan perikatan atau prestasi yang diperjanjikan sebelumnya dengan ganti rugi
- Ganti rugi
- Pembatalan perjanjian timbale balik
- Pembatalan dengan ganti rugi.
Perlindungan hukum bagi pihak principal dan agen escrow yang tertuang dalam kontrak/akta perjanjian mensyaratkan suatu perjanjian yang tidak hanya bersifat di bawah tangan namun memerlukan akta notariil sehingga memiliki kekuatan hukum lebih.
Kesimpulan
- Asas kebebasan berkontrak yang dianut oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memungkinakan untuk diterimanya suatu perjanjian yang selama ini tidak dikenal oleh Hukum Perjanjian Indonesia. begitu juga dengan perjanjian escrow yang sebelumnya tidak dikenal dalam Buku III KUHPerdata dan perjanjian ini memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian pada Pasal 1320 KUH Perdata, maka selayaknya perjanjian ini dapat diterima oleh hukum perjanjian Indonesia.
- Tidak ada pengaturan undang-undang yang secara khusus memberikan perlindungan kepada prinsipal maupun agen escrow dalam perjanjian escrow. Ketentuan Pasal 1338 tentang kebebasan berkontrak serta Pasal 1792 s/d Pasal 1819 tentang perjanjian pemberian kuasa dalam KUH Perdata yang menjadi landasan hukum dari perjanjian escrow menjadi dasar perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap berlakunya perjanjian escrow ini. Perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang mengadakan perjanjian escrow tersebut tertuang pada kontrak yang ditandatangani dan mnjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pelanggaran yang dilakukan terhadap kontrak dapat diartikan sebagai wanprestasi yang dapat dikenakan sanksi.
Saran
- Mengacu kepada gagasan Sunaryati Hartono mengenai hukum responsif, yang mana hukum itu harus memandang jauh ke depan dan dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum saat ini dan di masa yang akan dating, maka sangat memungkinkan jika dibutuhkan juga pengaturan yang jelas dan pasti akan keberadaan perjanjian escrow yang pada hakekatnya sudah sering digunakan dalam yurisdiksi Indonesia. asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338 KUH Perdata dirasakan belum mampu memenuhi kepastian hukum yang diinginkan dalam perjanjian escrow, sehingga dibutuhkan suatu pengaturan yang lebih spesifik lagi tentang perjanjian escrow.
- Sebaiknya dibentuk kerangka pengaturan yang jelas untuk menjamin suatu kepastian hukum bagi para pelaku bisnis yang menggunakan jasa escrow. Pengaturan tersebut mencakup batasan dan ruang lingkup berlakunya perjanjian escrow. Kriteria seorang agen yang akan melakukan bisnis di bidang escrow, pemberian lisensi bagi seorang agen escorw, pencabutan lisensi tersebut serta sanksi dan penegakan hukumnya. Dikarenakan pihak yang menyelenggarakan jasa ini sebagian besar adalah bank, maka dapat dilakukan pengaturan melalui Bank Indonesia berbentuk Surat Edaran atau Keputusan Bank Indonesia yang berisi persyaratan bagi bank untuk melakukan jasa escrow di Indonesia.
[1] A. Yudha Hernoko, “Prespektif Pendekatan Sistem terhadap Kebebasan Berkontrak dalam Kontrak Standard”, Pro Justitia Th. XVIII. No. 4 Oktober 2000.
[2] Bayu Seto, “Lex Mercatoria Baru dan Arah Pengembangan Hukum ontrak Indonesia dalam Era Perdagangan Bebas”, Legal Review, 2005, hlm. 26.
[3] Amir M.S., Seluk Beluk dan Teknik Perdagangan Luar Negeri, PPM, Jakarta, 2001, hlm. 1
[4] Ibid, hlm. 3
[5] Ibid, hlm. 4.
[6] Amir MS, “Ekspor Impor”, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1999, hlm. 3.
[7] Ricardo Simanjuntak, “Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”, Gramedia, Jakarta, 2006, hlm. 124.
[8] Johanes Gunawan, “Penggunaan Perjanjian Standart dan Implikasinya Pada Asas Kebebasan Berkontrak”, Majalah Padjajaran, Nomor. 341/1998.
[9] Hasanuddin Rahman, Legal Drafting, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 11.
[10] Subekti, “Hukum Perjanjian”, Intermasa, Jakarta, 2001.
[11] Ramlan Ginting, “Letter of Credit”, Universitas Trisakti, Jakarta, 2007.
[12] Rusli Pandika, “Escrow Suatu Perjanjian Pengantaran”, Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Vol. 1 No. 3, Maret 2002, hlm. 2
[13] Ibid.
[14] Ibid.
[15] Subekti, Op. cit, hlm. 26.
[16] Ibid, hlm. 48.
[17] Rusli Pandika, Op. cit, hlm. 3
[18] Subekti, Op. cit, hlm. 17.
[19] Ibid.
[20] Ricardo Simanjuntak, Op. cit, hlm. 45
[21] M. Yahya Harahap, “Segi-segi Hukum Perjanjian’, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 306.
[22] Subekti, Op. cit, hlm. 144.
[23] R. Setiawan, Op. cit, hlm. 60
[24] Ibid, hlm. 17.