Munculnya RUU PT menimbulkan pendapat dari berbagai pihak untuk membatalkan pengesahan RUU tersebut menjadi UU. Salah satu alasan keinginan pembatalan tersebut ialah kekhawatiran masuknya Perguruan Tinggi Asing (PTA) di Indonesia yang disinyalir akan berdampak pada komersialisasi pendidikan dan kastanisasi pendidikan. Dengan disahkannya RUU PT menjadi UU PT pada hari Jumat tanggal 13 Juli 2012 kemarin, banyak para pihak yang mengkritisi dan mendesak untuk melakukan Judicial Review terhadap UU PT tersebut.
Pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diatur mengenai penyelenggaraan pendidikan asing yang menggariskan bahwa sistem pendidikan Indonesia bersifat terbuka dan secara tidak langsung mendukung liberalisasi jasa pendidikan. Dengan masuknya PTA-PTA di Indonesia, menimbulkan berbagai macam permasalahan yang sejauh ini belum terpecahkan dengan jelas. Berikut argumen saya mengenai permasalahan seputar PTA yang menyelenggarakan pendidikan asing tersebut.
Sebenarnya penyelenggaraan pendidikan asing tersebut ditujukan untuk siapakah?
Perihal pendidikan asing dalam Pasal 65 ayat 1 UU Sisdiknas diatur sebagai berikut:
1. lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. lembaga pendidikan asing pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara Indonesia.
3. penyelenggaraan pendidikan asing wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidik dan pengelola warga negara Indonesia.
4. kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan negara lain yang diselenggarakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. ketentuan mengenai penyelenggaraan pendidikan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Dibukanya kesempatan yang luas bagi pendidikan asing merupakan buah dari pemikiran liberalisasi pendidikan yang dicetuskan oleh WTO. Meskipun pada Pasal 65 ayat (2) menyatakan bahwa kegiatan pendidikan asing selain ditujukan untuk peserta didik warga negara asing juga ditujukan untuk warga negara Indonesia, namun pada prinsipnya penyelenggaraan pendidikan asing tetap ditujukan untuk peserta didik warga negara asing. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 64 UU Sisdiknas yang menyatakan:
“Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh perwakilan negara asing wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia, bagi peserta didik warga negara asing, dapat menggunakan ketentuan yang berlaku di negara yang bersangkutan atas persetujuan Pemerintah Republik Indonesia.”
Pada Pasal tersebut menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan asing diperuntukkan bagi peserta didik warga negara asing, namun jika ada warga negara Indonesia yang ingin menempuh pendidikan melalui penyelenggaraan pendidikan asing, maka warga negara Indonesia tersebut berhak untuk menempuh penyelenggaraan pendidikan asing tersebut, hal ini berdasarkan pada Pasal 31 UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan sehingga warga negara Indonesiapun berhak untuk mengenyam pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga pendidikan asing di Indonesia.
Mengapa harus ada praktik penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia? Jika berdampak buruk, dapatkah dihindarkan?
Munculnya penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia oleh sejumlah PTA yang dsebut dengan mode of supply jenis commercial presence, akhir-akhir ini mulai marak dilakukan. Pada praktik berbagai negara, masuknya commercial presence sebagai investasi asing tidak pernah terlepas pembahasannya dari prinsip Most Favoured Nation (MFN). Hal tersebut ditunjukkan dengan dimasukkannya prinsip ini pada hampir semua regulasi domestik negara-negara terkait hukum investasi internasional.
Mengacu pada prinsip MFN, maka suatu negara harus memperlakukan penyedia jasa commercial presence dari negara anggota lain, tidak kurang (non less favourable) dari perlakuannya kepada pemasok jasa negara anggota lainnya. Demikian juga terkait kehadiran PTA, negara anggota yang tidak membuat pengecualian terhadap prinsip MFN untuk perihal ini, maka harus memberi hak masuk yang sama bagi semua pemasok PTA dan memperlakukan mereka dengan tindakan yang adil baik menyangkut pelaksanaan pendirian, akuisisi, pengoperasian, manajemen, dan pengembangan/perluasan jaringan.
Namun liberalisasi jasa pendidikan dengan mode commercial presence ini dinilai hanya akan membawa komersialisasi dalam dunia pendidikan. Permasalahan lainnya dalam komersialisasi sektor jasa pendidikan adalah bagaimana penilaian atau akreditasi bagi ijazah yang dikeluarkan penyedia jasa pendidikan tertentu dapat diterima dan dipakai di negara lain.
Perlu kita ketahui bahwa pada dasarnya PTA tidak boleh membuka cabang di Indonesia, yang diperbolehkan ialah PTA tersebut menyelenggarakan pendidikan asing dengan menjalin kerja sama dengan Perguruan Tinggi atau Lembaga di Indonesia. Kerja sama tersebut antara lain dalam bentuk kontrak managemen, dual degree dan transfer kredit sebagaimana dijelaskan dalam PP Noor 17 tahun 2012 tentang Pedoman dan Penyelenggaraan Pendidikan
Mengapa harus dalam bentuk kerja sama? Karena ini merupakan proteksi kepentingan nasional itu sendiri. Jadi PTA tidak boleh semena-mena membuka cabang lalu menyelenggarakan pendidikan di Indonesia.
Lalu mengapa kita tetap harus memperbolehkan PTA tersebut menyelenggarakan pendidikan asing di Indonesia sekalipun dalam bentuk kerja sama? Bukankah hal tersebut hanya akan menimbulkan kesenjangan antara PTA dengan Perguruan Tinggi lainnya terutama Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang akan tersaingi dengan penyelenggaraan pendidikan asing oleh PTA tersebut? Selain itu, bukankah penyelenggaraan pendidikan asing tersebut akan berdampak pada komersialisasi pendidikan sehingga tidak semua warga negara Indonesia dapat menikmati pendidikan asing tersebut?
Mari kita kembali ke posisi negara kita sebagai anggota World Trade Organization (WTO). Dengan telah diratifikasinya Perjanjian World Trade Organization (WTO) oleh Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tanggal 2 November 1994 tentang pengesahan (ratifikasi) “Agreement Establising the World Trade Organization”, maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi bagian dari legislasi nasional. Salah satu dari 15 perjanjian WTO ialah GATS (General Agreement On Trade In Service) yang meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa. GATS memiliki 12 cakupan perdagangan jasa dan sektor pendidikan adalah salah satu sektor yang harus diliberalisasi dalam perjanjian GATS tersebut.
GATS memiliki dua bagian penting meliputi framework agreement yang mencakup aturan main yang berlaku secara umum bagi semua sektor di bidang jasa dan Schedule of Specific Commitments, yang berisi daftar komitmen yang disusun oleh masing-masing penyedia jasa asing. Suatu negara yang mengadakan komitmen atas sektor jasanya mencantumkan komitmennya tersebut dalam GATS Schedule of Commitments (SOC).
Namun sejauh ini Indonesia belum memberikan komitmen khusus terkait dengan bidang pendidikan tinggi, komitmen Indonesia dalam Indonesia Conditional Initial Offers 2005 hanya sebatas kesediaan akan membuka akses pasar di bidang pendidikan tinggi, namun kepastian pembukaan akses pasar tersebut belum dicantumkan. Pada bidang pendidikan tinggi, Indonesia hanya dapat membuka akses pasar terhadap technical and vocational education services. Penerapan pengaturan liberalisasi jasa pendidikan dilakukan dengan pembatasan–pembatasan terhadap layanan jasa asing yang diatur dengan regulasi nasional yaitu UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional beserta peraturan pelaksanaannya, PP Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Komitmen Indonesia dalam Indonesia Conditional Initial Request pada higher education services untuk mode 3 (commercial presence) pada kolom akses pasar dinyatakan “See Horizontal Section and General Condition” dan pada mode 4 (presence of natural persons) dinyatakan “Unbound Except as Indicated in The Horizontal Section and General Condition. Kemudian pada kolom perlakuan nasional untuk mode 3 dan 4 dinyatakan unbound. Arti dari status unbound tersebut ialah menyatakan bahwa Indonesia tidak memberikan komitmen apa pun terkait dengan kedua mode perdagangan jasa tersebut, Indonesia masih ingin secara bebas mempertahankan batasan-batasan akses pasar terhadap kedua mode perdagangan jasa tersebut berdasarkan regulasi Indonesia yang teridentifikasi untuk perdagangan internasional atau berdasarkan regulasi domestik Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat diketahui bahwa pengaturan perdagangan jasa pendidikan di Indonesia dalam GATS terkait dengan sektor pendidikan tinggi masih belum diatur secara khusus. Indonesia belum membuat pengaturan dalam SOC terkait dengan sektor-sektor di bidang pendidikan tinggi tersebut, Indonesia hanya menyatakan memberikan, tidak memberikan komitmen, atau memberikan komitmen namun dengan syarat. Indonesia Conditional Initial Offer rancangan 2005 tersebut adalah merupakan komitmen Indonesia yang akan berlaku sebagai SOC di kemudian hari atau berperan sebagai suatu bentuk hukum yang dicita-citakan di masa yang akan datang (ius constituendum).
Permasalahan tersebut pada dasarnya telah menimbulkan suatu ketidakjelasan dalam penanganan eksistensi PTA di Indonesia. Hal ini dikarenakan selama ini perizinan pendirian PTA hanya mampu didasarkan pada sejumlah peraturan perundang-undang terkait yang telah ada yang masih bersifat umum, padahal praktik pelaksanaan suatu model pelayanan jasa di bawah naungan GATS hanya ditinjau berdasarkan komitmen suatu negara yang tercantum dalam SOC, tanpa perlu merujuk lagi pada regulasi nasional. Pada prinsipnya, GATS membedakan ketentuan pada regulasi nasional domestik suatu negara yang telah ada, dengan ketentuan yang dicantumkan dalam SOC negara tersebut kepada GATS. Terkait dengan hal ini GATS hanya memandang berdasarkan apa yang tercantum dalam SOC, bukan regulasi nasional yang sebelumnya berlaku. Akibatnya terjadi ketidakpastian hukum dalam pendirian PTA di Indonesia dan hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu yang berkepentingan seperti penyelenggaraan pendidikan asing tanpa izin dari Kemendiknas.
Adakah solusi selain menyerukan Judicial Review terhadap UU PT?
Pelaksanaan liberalisasi jasa pendidikan tinggi dan sub-sektor pendidikan lainnya haruslah dilakukan dengan bertahap dan dengan memperhitungkan kesiapan nasional kita untuk mengembangkan hubungan yang simetris dengan lembaga pendidikan tinggi negara lain. Indonesia perlu memberlakukan komitmen atas sektor jasa pendidikan dalam Schedule of Specific Commitment yang ditujukan bagi peningkatan kualitas pendidikan serta akses yang lebih baik bagi masyarakat sehingga dengan adanya komitmen Indonesia dalam SOC pada sektor pendidikan dapat menjadi pengecualian dari berlakunya prinsip Most Favoured Nation yang diatur oleh GATS.
Pengecualian tersebut harus diwujudkan dalam suatu daftar pengecualian sebagaimana diatur berdasarkan GATS, pengecualian tersebut harus mendeskripsikan tentang sektor pendidikan yang dikecualikan, alasan pengecualian, negara-negara yang menjadi subjek pengecualian dan kondisi-kondisi yang menyebabkan perlunya dilakukan pengecualian. Pemerintah juga perlu mengatur regulasi nasional yang lebih tegas dan terperinci dan memperhatikan mengenai pasal-pasal perundang-undangan mana yang harus diperbaiki serta disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan.
DIKUTIP DARI: http://hukum.kompasiana.com/2012/07/14/pengesahan-ruu-pendidikan-tinggi-internasionalisasi-pendidikan-476903.html
kalo kita sedikit mengacu kepada perjanjian GATS yang tertera di atas, lalu coba kita bandingkan dengan undang – undang 45 pasal 31 yang berbicara tentang pendidikan itu menghasilkan salah satu undang – undang yang sedang di bahas di atas yaitu munculnya UUPT, dan dimana kalo saya lihat itu adalah suatu pintu masuk untuk para investor asing dan investor indonesia sendiri untuk mencari keuntungan dari sektor pendidikan, karena kalo kita liat selain dari sumber daya alam, sektor pendidikan juga sangat seksi dalam mencari keuntungan, kenapa saya bisa bilang seperti itu??
kita liat bahwa pendidikan adalah suatu ruang untuk manusia mengembangkan diri dan membentuk dirinya menjadi lebih pintar untuk menghadapi lingkungannya, kalo kita mengacu dari pendapat itu berarti bahwasanya pendidikan menjadi kebutuhan primer manusia (selain : sandang, pangan, dan papan), nah kalo yang namanya kebutuhan primer itu kan pasti sangat di cari karena itu adalah kebutuhan yang sangat awal untuk dipenuhi, jadi sudah sangat jelaslah bahwasanya kenapa wto dengan gatsnya memasukkan pendidikan dalam perjanjiannya yang untuk di liberalisasikan…
kalo ada yang salah tolong di kritisin..
#terima kasih sudah di simak comentar saya
iya tepat sekali komentar anda.. terima kasih.. 🙂