Kerangka Pemikiran Lahirnya Universitas-Universitas Asing di Indonesia serta Pengaturannya dalam Peraturan Perundang-Undangan Domestik dan GATS


       Globalisasi yang mewarnai sistem internasional saat ini telah pula menciptakan interaksi yang intensif antara Indonesia dengan masyarakat internasional bukan hanya antarpemerintah tetapi juga antarindividu, interaksi ini akan mengakibatkan meningkatkan persentuhan-persentuhan hukum antara Indonesia dengan negara-negara lainnya dan bahkan dalam tingkat tertentu akan menimbulkan tumpang tindih antara hukum internasional termasuk perjanjian internasional dengan hukum nasional.[1] Dengan fenomena ini, maka cepat atau lambat, publik hukum Indonesia di semua lini harus bersentuhan dengan semua perjanjian internasional dan akan semakin menepis anggapan bahwa hukum perjanjian internasional hanya milik diplomat saja.[2]

     Pada era globalisasi ini, interaksi dan intensitas hubungan antarnegara telah semakin meningkat yang antara lain ditandai pula dengan dicapainya berbagai kesepakatan kerja sama baik yang bersifat bilateral, regional dan multilateral.

       Berbagai kesepakatan tersebut lazimnya dituangkan dalam bentuk perjanjian internasional yang meliputi berbagai bidang, termasuk politik, ekonomi, perdagangan, hukum, pertanahan, sosial budaya dan lain sebagainya.[3]  Perjanjian internasional merupakan sumber hukum terpenting hukum ekonomi internasional, masyarakat internasional umumnya menempuh cara pembentukan perjanjian untuk menciptakan hak dan kewajiban dalam hubungan-hubungan ekonomi internasional.[4] Perjanjian internasional pula yang digunakan untuk meningkatkan pertumbuhan (hubungan) ekonomi negara-negara.[5]

       Perjanjian internasional yang merupakan salah satu wujud hukum internasional tersebut dewasa ini khususnya di bidang ekonomi, investasi dan perdagangan telah banyak menyentuh bukan hanya kepentingan negara sebagai pihak perjanjian, melainkan juga melahirkan hak dan kewajiban terhadap individu-individu di negara pihak sehingga perjanjian internasional telah menjadi kepentingan bagi para pelaku pasar, investor serta pedagang.

       Definisi perjanjian internasional dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 ialah:[6]

“An International Agreement concluded between  States (and International Organizations) in written form and governed by International Law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”.

 

Terjemahan bebas penulis:

“Sebuah Perjanjian Internasional ditandatangani antara negara-negara (dan Organisasi Internasional) dalam bentuk tertulis dan diatur oleh Hukum Internasional, apakah diwujudkan dalam instrumen tunggal atau dalam dua atau lebih instrumen terkait dan apakah masing-masing ditandai secara khusus.”

 

       Selanjutnya definisi ini diadopsi oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional dengan sedikit modifikasi yaitu:

“Setiap perjanjian di bidang hukum publik, yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain”.

       Salah satu bentuk perundingan internasional yang menghasilkan perjanjian internasional yang bersifat multilateral di bidang perdagangan dan menghasilkan suatu gebrakan baru, yakni terciptanya liberalisasi, adalah perundingan yang melahirkan sebuah lembaga perdagangan yang bernama World Trade Organization (WTO). Saat ini, Indonesia telah menjalin kerja sama perdagangan, dengan semangat liberalisasi perdagangan, baik secara multilateral di bawah payung WTO, regional (regional trade area), maupun kerja sama dalam kerangka bilateral. Namun, masih butuh waktu untuk melihat efektifitas dari kerja sama perdagangan secara menyeluruh sebab liberalisasi perdagangan tidak hanya memberi keuntungan.

       Indonesia adalah salah satu negara anggota GATT yang bergabung sejak tanggal 24 Februari 1950, dan kemudian menjadi original member WTO serta meratifikasi perjanjian perdagangan multilateral tersebut dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).[7]

       WTO Agreement membentuk suatu badan baru yaitu World Trade Organization suatu lembaga yang akan berfungsi melaksanakan berbagai perjanjian sebagaimana yang terkandung dalam Final Act Putaran Uruguay yang juga akan mengawasi implementasi pengurangan tarif (rata-rata 40%) serta pengurangan hambatan non tarif yang disepakati dalam perundingan-perundingan.[8] WTO adalah pengawasnya perdagangan intenasional yang secara teratur memeriksa pengaturan pedagangan para anggota secara individual. Anggota juga diwajibkan untuk memberitahukan berbagai kebijakan dan tindakan perdagangan serta statistik yang akan disimpan dalam basis data WTO.[9] Di samping itu WTO juga befungsi sebagai lembaga penyelesaian sengketa  dan memberikan putusan penyelesaiannya. WTO juga merupakan konsultan managemen bagi perdagangan dunia.

       Para ekonom terus mengawasi perkembangan perekonomian global dan melakukan studi atas isu-isu kontemporer sehingga pada akhirnya WTO merupakan suatu forum yang para anggota dapat secara berkesinambungan merundingkan konsesi perdagangan guna terus menurunkan hambatan perdagangan di seluruh dunia.[10]

       Menurut Peter Van de Bossche, ketentuan hukum yang terdapat dalam WTO tersebut bersifat khusus dan menyeluruh serta mengandung prinsip-prinsip dasar yang harus dipenuhi oleh para anggotanya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataannya sebagai berikut:[11]

The law of the WTO is complex and specialized. It deals with a broad spectrum of issues, ranging from tariffs, import qoutas and customs formalities to intellectual property rights, food safety regulations and national security measures. However, six groups of basic rules and principles san be distinguished : the principles of non-discrimination, the rules on market access including rules on transparency, the rules on unfair trade, the rules on conflict between trade liberalisation and other societal values and interest, the rules on special and differential treatment for developing countries, and a number of key institutional and procedural rules relating to decision making and disputes settlement”.

Terjemahan bebas penulis:

“Hukum WTO adalah kompleks dan khusus. Ini berkaitan dengan spektrum yang luas dari isu-isu, mulai dari tarif, kuota impor dan formalitas bea cukai untuk hak kekayaan intelektual, peraturan keamanan pangan dan langkah-langkah keamanan nasional. Namun, enam kelompok aturan dasar dan prinsip-prinsip dapat dibedakan: prinsip-prinsip non-diskriminasi, peraturan tentang akses pasar termasuk aturan mengenai transparansi, peraturan tentang perdagangan yang tidak adil, aturan tentang konflik antara liberalisasi perdagangan dan nilai-nilai sosial lainnya dan bunga, aturan tentang perlakuan khusus dan berbeda bagi negara berkembang, dan sejumlah aturan kelembagaan dan prosedural kunci yang berhubungan dengan pengambilan keputusan dan penyelesaian sengketa”.

       Apabila suatu negara anggota WTO tidak menaati ketentuan dalam perjanjian maka berarti negara tersebut telah menyalahi prinsip good faith atau pacta sunt servanda, dan hal tersebut akan menimbulkan sengketa di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Dengan mengimplementasikan perjanjian-perjanjian yang diwadahi oleh WTO, maka konsekuensi yang harus diterima oleh negara-negara anggota, khususnya dan masyarakat internasional pada umumnya adalah terciptanya suatu sistem baru dalam dunia perdagangan internasional, yakni sistem perdagangan bebas / Free Trade.

       Definisi liberalisasi ialah proses (usaha dsb) untuk menerapkan paham liberal dl kehidupan (tata negara dan ekonomi).[12] Liberalisasi perdagangan adalah salah satu langkah untuk membuka benteng perekonomian nasional dan mengintegrasikannya ke dalam sistem pasar dunia.

       Secara sederhana Todaro menyatakan bahwa liberalisasi perdagangan (perdagangan bebas) diartikan sebagai suatu perdagangan yang barang-barang dapat diimpor dan diekspor tanpa adanya halangan baik dalam bentuk tarif, kuota, maupun pelbagai halangan lainnya.[13]

       Proses globalisasi telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antarnegara, dan menimbulkan proses menyatunya ekonomi dunia, sehingga batas-batas antarnegara dalam pelbagai praktik dunia usaha/bisnis seakan-seakan tidak berlaku lagi.

       Globalisasi merupakan suatu proses hubungan sosial secara relatif yang menemukan tidak adanya batasan jarak dan menghilangkan batas-batasan secara nyata.[14] Dimensi globalisasi dijelaskan Thomas L. Friedman (New York Time, 2000), sebagai berikut:[15]

  1. Dimensi ideologi, yaitu kapitalisme dan seperangkat nilai yang menyertainya.
  2. Dimensi ekonomi, yaitu pasar bebas.
  3. Dimensi tekhnologi, khususnya tekhnologi.

      Seiring dengan perkembangan perdagangan internasional, teori-teori yang mendasari perdagangan internasional juga mengalami perkembangan dari teori tradisional seperti yang diperkenalkan oleh Adam Smith, David Ricardo dan Heckscher Ohlin sampai dengan teori lain yang  lebih modern.

       Secara umum teori perdagangan yang tradisional memperlihatkan bahwa perdagangan bebas akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara yang terlibat dalam perdagangan tersebut, dengan asumsi setiap negara mempunyai keunggulan komparatif dibanding dengan negara lainnya. Perdagangan antar negara akan membawa dunia pada penggunaan sumber daya langka secara lebih efisien dan setiap negara dapat melakukan perdagangan bebas  yang menguntungkan dengan melakukan spesialisasi produksi sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimiliki tersebut.

       Selanjutnya teori perdagangan internasional berkembang lebih jauh atau yang kemudian dikenal sebagai New Theory seperti yang ditulis pada era 1980-an oleh Dixit dan Norman (1980), Lancaster (1980), Krugman (1984), Helpman (1981) dan Either (1982).[16] Teori perdagangan baru tersebut mendasarkan pada asumsi yang berbeda dengan asumsi pada teori perdagangan internasional yang tradisional.

       Perbedaan tersebut antara lain mengenai asumsi persaingan sempurna, constant return to scale dan barang yang homogen berubah menjadi persaingan tidak sempurna, increasing return to scale dan perbedaan produk.[17] Teori baru tersebut merupakan penyempurnaan teori tradisional dan dengan penambahan faktor-faktor lain yang lebih kompleks dan canggih.[18]

       Perdagangan antar negara dapat terjadi karena dua alasan sebagaimana dijelaskan oleh Krugman dan Obstfeld:[19]

These countries are different each  other. International trading give the profit to each country if they do  business different products.

Many countries do  the trading for reaching economic scale purpose. If countries get the limited various products, then they can produce it in large amount. Thereforen it would be more efficient than they produce all product.”

 

Terjemahan bebas penulis:

“Negara-negara tersebut berbeda satu sama lain. Perdagangan internasional memberikan keuntungan kepada setiap negara jika mereka memperdagangkan produk yang berbeda

Negara-negara melakukan perdagangan dengan tujuan untuk mencapai skala ekonomi. Jika suatu negara menghasilkan produk dengan ragam yang terbatas, maka negara itu dapat memproduksi dalam jumlah yang lebih besar. Dengan demikian akan lebih efisien ketimbang negara itu memproduksi semua produk.”

       Semua teori perdagangan tersebut secara umum memperlihatkan bahwa perdagangan internasional yang bebas akan membawa manfaat bagi negara yang berdagang dan dunia. Atas dasar pertimbangan tersebut sebagian besar negara dunia sepakat melakukan liberalisasi perdagangan internasional melalui perundingan dalam berbagai forum baik multilateral, regional dan bilateral.

      Menurut Krugman dan Obstfeld, liberalisasi perdagangan dijalankan melalui negosiasi internasional untuk mencapai suatu kesepakatan bersama:[20]

“At least part of the answer is that the great postwar liberalization of trade was achieved through international negotiation. That is, goverments agreed to engage in mutual tariff reduction. These agreements linked reduced protection for each country’s import-compecting industries to reduced protection by other countries againts that country’s export industries. Such a linkage, as we will now argue, helps to offset some of the political difficulties that would otherwise prevent countries from adopting good trade policies”.

 

Terjemahan bebas penulis:

“Setidaknya bagian dari jawaban adalah liberalisasi dari perdagangan melalui negosiasi internasional. Sehingga, pemerintah setuju menggabungkan pengurangan tarif yang lebih bermutu. Persetujuan tersebut menjaringkan import industri untuk mengurangi industri eksport. Seperti jaringan tersebut yang dibahas dapat membantu beberapa kesulitan politik yang dapat menghindari negara dari kebijakan-kebijakan perdagangan.”

       Paling tidak dapat ditarik 2 keuntungan dari adanya negosiasi perdagangan internasional sehingga liberalisasi perdagangan dapat lebih mudah dilaksanakan yaitu:[21]

“There are at least two reason why it is easier to lower tariffs as part of a mutual agreement than to do so as a unilateral policy. First, a mutual agreement helps mobilize support for freer trade. Second, negotied agreement on trade can help goverments avoid getting caught in destructive trade wars.”

 

Terjemahan bebas penulis:

“Sedikitnya ada dua alasan mengapa hal ini lebih mudah untuk menurunkan tarif sebagai bagian dari kebijakan gabungan. Pertama, perundingan yang saling menguntungkan akan mendukung tercapainya perdagangan yang lebih bebas. Kedua, perjanjian yang dinegosiasikan akan membantu pemerintah menghindari terjadinya perang dagang yang sangat merugikan.”

       Pada perkembangan pelaksanaan liberalisasi oleh negara-negara berkembang, ternyata peran serta pemerintah tidak dapat dilepaskan, sebagaimana Teori Perdagangan Strategis yang dikemukakan oleh Gilpin dan Gilpin :[22]

“Many individuals proclaim that global capitalism is here to stay. Unfettered markets, they argue, now drive the world, and all countries must adjust, no matter how painful this may be for some. Rather, we must consider the political circumstances that have enabled global markets to function and the probability that these conditions will continue. The international capitalist system requires a “strong and wise” leadership to promote international cooperation and establish and enforce rules regulating international trade, investment, and monetary affairs.”

 

Terjemahan bebas penulis:

 “Banyak orang menyatakan bahwa kapitalisme global akan ada selamanya. Mereka berargumen dengan pasar yang tidak menentu sangat berpengaruh terhadap dunia dan mereka mengakuinya meskipun hal ini sangat memprihatinkan bagi beberapa negara. Maka kita harus berfikir tentang keadaan politik yang telah berpengaruh terhadap fungsi pasar bebas dan kemungkinan-kemungkinan kondisi ini akan terus berlanjut. Sistem kapitalis internasional membutuhkan kepemimpinan yang “kuat dan bijaksana” untuk mempromosikan kerjasama internasional dan menetapkan serta menegakkan aturan-aturan yang mengatur perdagangan internasional, investasi, dan urusan moneter.”

       Esensi Teori Perdagangan Strategis adalah bahwa pemerintah nasional dapat dan seharusnya mendampingi perusahaan-perusahaan nasionalnya untuk mampu bersaing dalam pasar internasional.[23]

       Pemikiran di atas mendasari terbentuknya WTO, WTO oleh sebagian besar negara di dunia pada tahun 1995. Negara-negara anggota WTO sepakat untuk membuka pasar domestiknya bagi produk-produk negara lain dan menerima segala konsekuensi perdagangan internasional yang bebas ini.

       Secara institusional, WTO sebagai pengganti dari General Agreement on Tarrif and Trade (GATT) yang hanya mengatur perdagangan barang, merupakan lembaga internasional dengan cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan GATT.

       WTO sebagai organisasi pelaksana semua hasil Putaran Uruguay, selain menggarap isu-isu tradisional seperti penghapusan dan pengurangan tarif serta non-tarif,  juga mencakup isu-isu baru seperti   perlindungan Hak atas Kekayaan Intelektual (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights atau TRIPs), investasi yang dikaitkan dengan kebijaksanaan perdagangan (Trade Related Investment Measures atau TRIMs), dan perjanjian mengenai perdagangan jasa-jasa (General Agreement on Trade in Services atau GATS).[24]

       GATS memiliki dua bagian penting meliputi framework agreement yang mencakup aturan main yang berlaku secara umum bagi semua sektor di bidang jasa dan Schedule of Specific Commitments, yang berisi daftar komitmen yang disusun oleh masing-masing penyedia jasa asing.

       GATS meletakkan aturan-aturan dasar bagi perdagangan internasional di bidang jasa.[25] GATS merupakan satu kesepakatan multilateral pertama yang pernah dihasilkan dan memiliki dasar hukum serta peraturan-peraturan yang mengatur perdagangan internasional di bidang jasa. Dengan mengamankan akses pasar dan proses liberalisasi secara progesif, kesepakatan ini mendorong pertumbuhan perdagangan jasa-jasa seperti yang pernah dilakukan oleh GATT untuk perdagangan barang sejak tahun 1947. Sebagai anggota WTO, Indonesia tentu saja tidak dapat menghindar dari berbagai perjanjian liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan.

       Mengenai kaitannya dengan pendidikan yang merupakan salah satu dari 12 cakupan perdagangan jasa dalam General Agreement on Trade  in Services (GATS), WTO melalui GATS menempatkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri tersier[26] yang perlu diliberalisasi. Indonesia sejak 1995  telah  menjadi  anggota  WTO  dengan  diratifkasinya  semua perjanjian-perjanjian  perdagangan  multilateral  menjadi  Undang-Undang Nomor  7  Tahun  1994 sehingga Indonesia terikat dengan perjanjian-perjanjian tersebut.  Perjanjian  tersebut mengatur  tata-perdagangan barang, jasa dan trade related intellectual property rights (TRIPS) atau hak atas kepemilikan intelektual yang terkait dengan perdagangan.

       Terkait  bidang  jasa,  yang  masuk  sebagai  obyek pengaturan WTO  adalah  semua  jasa  kecuali  “jasa  non-komersial atau  tidak bersaing dengan penyedia  jasa  lainnya”.[27] Pada negosiasi perundingan GATS, penyediaan jasa pendidikan merupakan salah satu dari 12 sektor jasa lainnya yang akan diliberalisasi. Liberalisasi perdagangan sektor jasa pendidikan berdampingan dengan liberalisasi layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, serta jasa-jasa lainnya.

       Logika perdagangan jasa pendidikan mengikuti tipologi yang digunakan oleh para ekonom dalam membagi kegiatan usaha dalam masyarakat ke dalam 3 sektor kegiatan usaha yaitu: Sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian; Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities; Sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services).

       Sejalan dengan pandangan ilmu ekonomi tersebut, WTO menetapkan pendidikan sebagai salah satu industri sektor tersier, karena kegiatan pokoknya adalah mentransformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang yang tidak mempunyai keterampilan menjadi orang yang berpengetahuan dan mempunyai keterampilan.[28]

       Sejalan dengan yang diamanatkan Pasal 65  ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2003, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[29]  Salah satu perwujudan nyata di bidang pendidikan yang telah dilakukan Indonesia dari komitmen Indonesia meratifikasi GATS ialah adanya penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing di Indonesia baik pada jenjang pendidikan dasar, menengah maupun pendidikan tinggi.

       Hingga saat ini, belum ada lembaga pendidikan di Indonesia yang masuk dalam kategori 200 universitas terbaik dunia versi lembaga pemeringkat ternama The Times Higher Education-QS World University (The-QS World University).[30] Sementara itu, Global Competitiveness Report 2009/2010, yang antara lain menilai tingkat persaingan global suatu negara dari kualitas pendidikan tingginya, pun cuma menempatkan Indonesia di peringkat ke-54 dari 133 negara, yaitu di bawah Singapura (3), Malaysia (24), Cina (29),Thailand (36), serta India (49). Di sisi lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, jumlah sarjana yang belum bekerja per Februari 2009 hampir mencapai 13% dari total jumlah penganggur, atau sekitar 1,2 juta orang.[31]

       Pada jenjang pendidikan tinggi, perguruan-perguruan tinggi di Indonesia perlu melakukan kerjasama internasional dengan universitas di luar negeri. Selain bertujuan untuk meningkatkan kualitas, hal tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan daya saing.

       Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) telah menggariskan secara tegas memanfaatkan perkembangan globalisasi agar mampu membawa kemajuan di bidang pendidikan yang berkualitas internasional. Dengan tingginya tingkat persaingan yang ada, maka sekarang ini tidak lagi hanya mengandalkan keunggulan komparatif yang dimiliki oleh suatu negara, tetapi juga harus meningkatkan keunggulan kompetitif yang tercipta dari keunggulan SDM untuk lebih mampu bersaing memperebutkan berbagai peluang dan kesempatan. Pada dasarnya peningkatan kualitas SDM sangat bergantung pada kualitas pendidikan yang ada di suatu negara, karena antara kualitas SDM dan kualitas pendidikan memiliki korelasi positif.

       Undang-undang sistem pendidikan nasional mengamanatkan secara langsung tentang penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain yaitu  penyelenggaraan pendidikan oleh perwakilan negara asing dan penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing yang terakreditasi di negaranya. Pasal 65 ayat (5) UU Sisdiknas menyatakan bahwa ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan asing diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah (PP). Namun demikian, peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional masih belum diselesaikan termasuk ketentuan yang mengatur lebih lanjut tentang penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain. Oleh karena itu, sampai saat ini belum dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh atas peraturan perundang-undangan yang berlaku, berkenaan dengan berbagai restriksi serta persyaratan yang harus dipenuhi oleh penyedia jasa asing untuk menyelenggarakan pedidikan di Indonesia.

        Sejalan dengan penyelenggaraan pendidikan asing tersebut, banyak ditemukan permasalahan-permasalahan pada praktik pelaksanaannya. Pertumbuhan dalam perdagangan internasional sangat berpengaruh terhadap sistem pendidikan di beberapa negara. Begitu juga terhadap masalah pendanaan pendidikan. Pada beberapa kasus, pendidikan tinggi didorong untuk mencari sumber pendanaan alternatif bagi penyelenggaraan pendidikannya, sementara itu investor tengah didorong untuk memasuki industri baru di sektor jasa pendidikan.

       Situasi ini dirasakan semakin mendesak sektor pendidikan untuk berorientasi pada pasar (market oriented), sehingga pada akhirnya dapat mengaburkan tugas awalnya sebagai institusi pendidikan.[32] Proses liberalisasi perdagangan juga mengakibatkan cara pandang ekonomi sebagai pendorong utama bagi penyedia jasa pendidikan lintas negara untuk menyediakan jasa pendidikan ke negara lain.

       Pengamat pendidikan Arief Rahman menegaskan pendidikan itu bersifat inklusif dan tidak boleh diskriminatif.[33] Alasan untuk memperoleh keuntungan atau alasan komersial ini merupakan kenyataan yang berlaku baik bagi penyedia jasa pendidikan swasta maupun pada kasus tertentu berpengaruh terhadap institusi pendidikan negeri atau dengan kata lain, sisi bisnis dalam jasa pendidikan lintas negara semakin berkembang dan merupakan sasaran utama

       Permasalahan lainnya dalam komersialisasi sektor jasa pendidikan adalah bagaimana penilaian atau akreditasi bagi ijazah yang dikeluarkan penyedia jasa pendidikan tertentu dapat diterima dan dipakai di negara lain. Seperti standarisasi atau akreditasi yang didasarkan pada konvensi Lisbon tahun 1997 untuk negara-negara Eropa, yang pada tingkat internasional belum terdapat lembaga yang memiliki otoritas dalam menentukan standarisasi tersebut.

     Negara peserta yang bersifat spesifik mengenai komitmen atas akses pasar yang terbuka bagi Salah satu sektor jasa yang termasuk ke dalam ruang lingkup GATS yaitu sektor pendidikan berdasarkan klasifikasi jasa dalam United Nations Provisional Central Products Classification (CPC). Keseluruhan pengaturan mengenai perdagangan jasa dalam GATS tersebut berlaku bagi perdagangan jasa di sektor pendidikan, dengan bentuk dan karakter khususnya.

       Definisi liberalisasi perdagangan jasa pendidikan ialah liberalsasi yang betujuan untuk mendorong peningkatan akses pasar pada sektor pendidikan dengan menghilangkan berbagai macam hambatan di sektor tersebut.

       Era globalisasi memaksa harus dengan cepat melakukan reevaluasi dan revolusi di bidang pendidikan agar tidak terjadi ketinggalan pendidikan yang sangat jauh dengan negara-negara lain yang pada akhirnya akan berdampak pada lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang dihasilkan untuk mampu bersaing. Perkembangan untuk mampu bersaing dengan negara-negara maju khususnya dunia pendidikan, maka pendidikan merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi tantangan globalisasi. Penyelenggaraan pendidikan yang sementara ini berorientasi nasional dituntut mengikuti perubahan zaman dalam dunia pendidikan global.

       Pemerintah Indonesia sebagai bagian dari anggota organisasi perdagangan bebas dunia atau WTO (World Trade Organization) juga telah menandatangani kesepakatan tentang liberalisasi sektor jasa pendidikan yang setiap negara anggota WTO berkewajiban melakukan request atau offer. Pengertian request adalah meminta negara anggota WTO membuka pasarnya di bidang jasa pendidikan agar dapat dimasuki oleh lembaga pendidikan formal atau non formal dari negara lain. Offer adalah setiap negara anggota WTO dapat mengajukan penawaran untuk memasuki jasa perdagangan sektor pendidikan di negara lain. Kondisi ini akan menumbuhkan persaingan yang sangat ketat dalam dunia pendidikan, sehingga hanya lembaga pendidikan yang berkualitas sajalah yang akan mampu bertahan dan bersaing. Oleh karenanya perlu ditumbuh kembangkan semangat dan kesadaran setiap pengelola pendidikan baik formal maupun non formal untuk meningkatkan dan mengembangkan dirinya agar dapat sejajar dengan lembaga pendidikan asing yang akan memasuki seluruh wilayah Indonesia.

       Walaupun Indonesia belum memasukkan sektor jasa pendidikannya dalam Schedule of Commitment, peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional telah menetapkan suatu ketentuan tentang penyelenggaraan pendidikan oleh penyedia jasa asing dalam menyelenggarakan jasa pendidikan di Indonesia. Dengan demikian, pada prinsipnya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku sektor pendidikan di Indonesia terbuka bagi penyedia jasa asing bahkan sampai tingkat pendidikan dasar dan menengah.

       Sejalan dengan hal tersebut, saat ini telah terdapat enam negara yang mengajukan request kepada Indonesia untuk membuka sektor jasa di bidang pendidikan yaitu antara lain Amerika Serikat, China, Australia, Jepang, New Zealand dan Korea. Fokus atau permintaan untuk membuka akses pasar tersebut umumnya ditujukan pada sub-sektor Higher Education, Adult Education dan Other education.[34]

       Salah satu perwujudan nyata di bidang pendidikan yang telah dilakukan Indonesia dari komitmen Indonesia meratifikasi GATS ialah adanya penyelenggaraan pendidikan asing yang mulai dilaksanakan di berbagai jenjang pendidikan di Indonesia.

       Seperti yang diketahui bahwa ketentuan GATS mengenai domestic regulation secara langsung berdampak terhadap peraturan perundang-undangan nasional khususnya yang berkaitan atau berpengaruh terhadap perdagangan jasa.

       Sejalan dengan yang diamanatkan Pasal 65 ayat (1)  UUSPN Nomor 20 Tahun 2003, lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau yang diakui di negaranya dapat menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[35] Lebih lanjut dinyatakan bahwa lembaga pendidikan asing yang menyelenggarakan pendidikan pada pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga Negara lembaga pendidikan di wilayah Indonesia.[36]

       Penyelenggara pendidikan asing juga wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidikan dan pengelola warga negara Indonesia[37], selain itu kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan lain dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[38]

       Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah penyelenggaraan pendidikan asing antara lain :

a)    Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional;

b)    Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi;

c)    Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan,

d)    Perpres Nomor 77 Tahun 2007 Tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.

e)    Permendiknas Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Kerjasama Perguruan Tinggi Di Indonesia Dengan Perguruan Tinggi Atau Lembaga Lain di Luar Negeri;

f)     Permendiknas Nomor 66 Tahun 2009
Tentang Pemberian Izin Pendidik dan Tenaga Kependidikan Asing pada Satuan Pendidikan Formal dan Nonformal di Indonesia;

g)    Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi;

h)   Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 107/U/2001 Tentang Penyelenggaraan Progam Pendidikan Tinggi Jarak Jauh;

i)     Keputusan Dirjen Dikti Nomor 61/DIKTI/Kep/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama Perguruan Tinggi;

j)      Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0148/O/1975 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pendirian dan Penyelenggaraan Sekolah Perwakilan Diplomatik, Sekolah Gabungan Perwakilan Diplomatik dan Sekolah Internasional di Indonesia dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia,;

k)    perjanjian internasional WTO di bidang jasa (General Agreement on Trade in Services beserta lampiran-lampirannya).

       Berikut pengaturan sektor jasa pendidikan dalam GATS dan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait:

Sektor Jasa Pendidikan dalam GATS.

Klasifikasi Sektor Jasa Pendidikan.

       Sektor jasa pendidikan umumnya dikategorikan ke dalam empat kategori, yaitu: Primary Education Services, Secondary Education Services, Higher (Tertiary) Education Services, dan Adult Education Services.[39]

       Dalam mengagendakan komitmen GATS pada sektor jasa pendidikan, mayoritas negara-negara anggota menggunakan kategori United Nations Provisional Central Product Classification (UN CPC) untuk mengklasifikasikan sektor pendidikannya. Sistem klasifikasi tersebut pada dasarnya menggambarkan perbedaan struktural diantara negara-negara berkenaan dengan sistem pendidikan nasionalnya.

       Daftar Klasifikasi Sektor Jasa atau The Services Sectoral Classification List (Document MTN.GNS/W/120) merupakan daftar klasifikasi yang dikembangkan selama Putaran Uruguay untuk kegunaan penyusunan jadwal komitmen GATS. Dokumen tersebut didasarkan pada United Nations Provisional Central Product Classification (UN CPC) dan CPC Codes, yang menjelaskan cakupan kegiatan dari sektor atau sub sektor jasa tersebut. Meskipun demikian, anggota WTO tidak terikat secara hukum untuk menetukan cakupan sektoral dari komitmennya berdasarkan sistem klasifikasi UN CPC.

       Daftar klasifikasi jasa pendidikan menurut Dokumen MTN/GNS/W/10 tersebut meliputi:[40]

  1. Primary Education Services (CPC 921), yang meliputi jasa pendidikan prasekolah (CPC 92110) dan jasa pendidikan dasar lainnya (CPC 91900). Kategori ini tidak termasuk jasa perawatan anak (yang termasuk ke dalam jasa sosial dalam CPC 93321) dan jasa yang berkaitan dengan progam kesusastraan untuk orang dewasa, yang termasuk ke dalam sub-kategori jasa pendidikan dewasa (CPC 92400)
  2. Secondary Education Services (CPC 922) yang meliputi General Secondary Services (CPC9210) Higher Secondary Education Services (CPC 20), Technical and Vocational Secondary Education Services (CPC 92230) serta Technical and Vocational Secondary Education Services for Handicapped Student (CPC92240)
  3. Higher Education Services (CPC923), meliputi Post Secondary Technical dan Vocational Education Services (92310) dan Other Higher Education Services (CPC 92390), yang pertama merujuk pada Technical Vocational Education, sementara yang terakhir merujuk pada Education Leading to University Degree atau yang sejajar dengan itu
  4. Adult Education (CPC 924), meliputi pendidikan untuk orang dewasa di luar sistem pendidikan reguler
  5. Other Education Services (CPC 929), mencakup keseluruhan jasa pendidikan yang tidak tercakup dalam kategori di atas namun tidak termasuk jasa pendidikan yang berkenaan dengan urusan rekreasi seperti jasa yang disediakan oleh sekolah olahraga dan sekolah bermain, yang termasuk oleh raga dan jasa rekreasi lainnya (CPC 964).

Ruang Lingkup dan Pengertian Jasa pada Sektor Pendidikan.

       Pengertian-pengertian atau definisi jasa yang diatur dalam GATS terdapat pada Pasal 1 yang harus dipahami bersamaan dengan definisi yang terdapat dalam Pasal XXVIII. Pasal 1 ayat (1) tersebut menyatakan:

 “This Agreement applies to measures by Members affecting trade in services”.

Terjemahan bebas penulis:

“Perjanjian ini berlaku untuk tindakan oleh Anggota yang mempengaruhi perdagangan jasa.”

       Sementara itu untuk menentukan seberapa jauh perjanjian GATS tersebut berlaku, GATS memberikan definisi lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan “perdagangan jasa”, “tindakan negara anggota” dan definisi “jasa” itu sendiri. Dalam konteks sektor jasa pendidikan, di bawah ini dibahas lebih lanjut apa yang dimaksud dengan ketiga hal tersebut.

a. Perdagangan Jasa (Trade in Services).

       Tidak seperti transaksi internasional di sektor barang yang memerlukan perpindahan lintas negara, jasa diperdagangkan secara internasional menurut satu atau beberapa kombinasi dari keempat modes of supply yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) GATS. Perdagangan jasa menurut GATS adalah meliputi:[41]

  1. mode 1 adalah pasokan lintas batas (cross border supply), yaitu dari dalam wilayah suatu anggota untuk melayani pemakai jasa dari negara anggota negara lainnya yang perusahaan jasa negara A memberikan pelayanannya bagi konsumen di negara B atau disebut dengan perpindahan lintas negara dari produk layanan/jasa (cross-border movement of service products). Contohnya: jasa komunikasi internasional, internet
  2. mode 2 adalah konsumsi luar negeri (consumption abroad), yaitu dari dalam wilayah suatu negara anggota ke dalam wilayah anggota lain yang konsumen dari negara A akan pergi ke negara B untuk mendapat jasa yang diinginkannya atau disebut dengan perpindahan konsumen menuju negara pengimpor (movement of consumer to the country of importation). Contohnya: jasa tourisme (pariwisata)
  3. mode 3 adalah kehadiran komersial (commercial presence), yaitu oleh penyedia jasa di dalam wilayah kekuasaan negara anggota lainnya artinya perusahaan jasa A membuka perwakilan atau kantor cabang di negara B untuk memberikan pelayanan bagi konsumen di negara B atau disebut dengan pendirian badan usaha asing di negara pengimpor (the establishment of a commercial of presence in the where the service is to be provided). Contohnya: jasa perbankan
  4. mode 4 adalah pergerakan manusia (movement of natural person) yaitu penyedia jasa dari satu negara anggota memberikan pelayanan jasa ke negara lain, melalui kehadiran natural person[42] yang warga negara A bekerja di negara B untuk memberikan pelayanan jasa[43] atau disebut dengan  perpindahan sementara dari warga negara tertentu ke negara lain, dalam rangka untuk memberikan jasa di negara tersebut (temporary movement of natural persons to another country, in order to provide the service there). Contohnya: kontrak jasa konstruksi.

       Tabel 3: Modes of Supply (from the prespective of an “importing” country A).

  Box A: Examples of the four Modes of Supply (from the prespective of an “importing” country A)
Mode 1 Cross-border

A user in country A receives services from abroad through its telecommunications or postal infrastructure. Such supplies may include consultancy or market research reports, tele-medical advice, distance training, or architectural drawings.

                                                                                        dilanjutkan

lanjutan

Mode 2 Consumption abroad

Nationals of A have moved abroad as tourists, students, or patients to consume the respective services.

Mode 3Commercial presence

The services is provided within A by a locally-establishe affiliate, subsidiary, or representative office of a foreign-owned and-controlled company (bank, hotel group, construction company, etc).

Mode 4Movement of natural persons

A foreign national provides a service within A as an independent supplier (e.g., consultant, helath worker) or employee of a service supplier (e.g. consultancy firm, hospital, construction company).

Sumber: World Trade Organization, www.wto.org/english/res _e/reser_e/ersd201118_e.pdf, Diakses pada tanggal 12 April 2012 pukul 13:32 WIB.

b. Tindakan Negara Anggota (Measures by Members)

Pasal 1 ayat (3) GATS mengatur cakupan yang luas atas tindakan lembaga pemerintah yang termasuk ke dalam pengaturan GATS. Pengaturan tersebut tidak hanya mengatur tindakan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah pada tingkat pusat dan daerah, tapi juga mengatur tindakan yang dilakukan oleh lembaga non-pemerintah atas dasar kewenangan yang diberikan oleh lembaga pemerintah. Pada bidang pendidikan, tindakan lembaga pemerintah yang termasuk ke dalam pengaturan GATS meliputi baik pada tingkat provinsi maupun daerah tertentu sebagaimana juga institusi pendidikan profesional yang diberikan kewenangan oleh pemerintah atau lembaga yang berwenang.[44]

c.    Jasa (Services).

       Jasa dalam definisi yang dibuat oleh GATS meliputi keseluruhan sektor jasa kecuali sektor jasa yang secara langsung berada di tangan otorita pemerintah. Pengaturan tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa:

“Services” includes any services in any sector except services supplied in the exercise of govermental authority.”

Terjemahan bebas penulis:

“Layanan/jasa meliputi setiap jasa di sektor apapun mengharapkan jasa yang ada dalam pelaksanaan kewenangan pemerintahan.”

       Berdasarkan definisi tersebut dapat diambil beberapa penjelasan yaitu pertama penggunaan kata “setiap” dalam definisi tersebut, menyiratkan maksud dari pembuat persetujuan untuk memberikan cakupan yang luas atas aturan GATS meskipun dibatasi oleh pengecualian atas jasa secara langsung di tangan otoritas pemerintah. Kedua, jasa yang secara langsung di tangan otorita pemerintah tersebut, lebih lanjut dijelaskan dalam persetujuan meliputi keseluruhan sektor jasa yang disediakan tidak secara komersial dan dalam persaingan dengan satu atau lebih penyedia jasa. Pentingnya pengertian yang jelas mengenai jasa yang disediakan secara komersial (“commercial basis”) dan jasa dalam persaingan dengan satu atau lebih penyedia jasa lain (“in competition with one or more service suppliers”) yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) tidak lain merupakan hal yang menentukan apakah jasa tersebut termasuk ke dalam pengaturan GATS atau tidak.

       Tidak adanya penjelasan lebih lanjut dalam GATS mengenai pengertian “commercial basis” dan “in competition with” maka berdasarkan Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional bahwa pengertian tersebut harus diartikan sesuai dengan arti yang wajar berdasarkan konteksnya dan atas dasar maksud serta tujuan perjanjian tersebut.[45] Mengenai hal tersebut dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

1.    Jasa yang disediakan secara komersial (Service Provided on a Commercial Basis).

       Pengertian yang umum dari istilah “commercial”  yaitu berkenaan dengan sifat dari perdagangan atau perniagaan, memproduksi, memasarkan, dan lain-lain dengan maksud untuk menghasilkan keuntungan, mampu untuk menghasilkan keuntungan.[46] Pengertian atau definisi dari “commerce”  tersebut juga meliputi: perdagangan, khususnya antar negara, pembelian dan penjualan barang serta jasa.[47] Dengan demikian dalam konteks ketentuan GATS istilah “commercial”  merujuk pada bagaimana atau berdasarkan apa jasa tersebut diselenggarakan.

2.    Jasa yang disediakan dalam kompetisi dengan satu atau lebih penyedia jasa lain. (Services provided in competition with one or more service spulliers).

Istilah “competition” memiliki pengertian umum yaitu diantaranya:

“The strunggle for commercial advantage , the effort or action of two or more commercial interest to obtain the same business from third parties.”[48]

Terjemahan bebas penulis:

“Sebuah perjuangan untuk keuntungan komersial, usaha atau kegiatan dari dua atau lebih kepentingan komersial untuk mendapatkan tingkat keuntungan yang sama dengan pihak lain.”

       Definisi lain ialah aktifitas persaingan, bersaing untuk memperoleh kekuasaan, penghargaan, kehormatan atau keuntungan.[49] Pada konteks ketentuan GATS, istilah persaingan secara umum dipakai dalam hubungan antara penyedia jasa, namum, Pasal 1 Ayat (3) GATS tersebut tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai istilah “persaingan” yang biasanya dijelaskan pada ketentuan mengenai tindakan non-diskriminasi dalam GATS maupun GATT.

       Berdasarkan Pasal 1 Ayat (3) GATS, penyedia jasa tidak harus menyediakan jasa yang sama dengan penyedia jasa lain atau menjadi seperti penyedia jasa lain untuk dapat dikategorikan “dalam kompetisi dengan satu atau lebih penyedia jasa lain”. Untuk dapat dikategorikan “dalam persaingan” suatu penyedia jasa cukup berusaha untuk mendapatkan apa yang dicari oleh penyedia jasa lain. Dapat juga dikatakan bahwa persaingan dapat terjadi antara penyedia jasa yang berbeda jenis mode of supply. Pasal tersebut tidak mengindikasikan bahwa persaingan hanya dapat terjadi antara penyedia jasa yang mode of supply-nya sama.

Penyelenggaraan Jasa Pendidikan Asing dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional

       Penyelenggaraan pendidikan di Indonesia secara umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).  Prinsip  penyelenggaraan pendidikan dalam undang-undang ini menganut sistem terbuka artinya pendidikan diselenggarakan dengan fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian progam lintas satuan dan jalur pendidikan (multi entry-multy exit system).[50] Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau mengambil progam-progam pendidikan pada jenis dan jalur pendidikan yang berbeda secara terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap muka atau jarak jauh.[51]

       Sistem pendidikan di Indonesia diatur berdasarkan 3 kategori yaitu dibagi ke dalam jalur pendidikan, jenjang pendidikan dan jenis pendidikan. Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal dan informal yang diselenggarakan dengan sistem terbuka melalui tatap muka dan/atau melalui jarak jauh. Sementara pendidikan formal dibagi menjadi 3 jenjang pendidikan yaitu pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Jenis pendidikan dalam Pasal 15 undang-undang tersebut mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan dan pendidikan khusus.

       Pasal 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan kategori jasa pendidikan terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan tinggi sebagai jenjang pendidikan formal.

       UU Sisdiknas juga mengatur mengenai jalur pendidikan nonformal sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 Ayat (1) UU Sisdiknas yang menyatakan:

“Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.”

       Pasal 26 ayat (3) UU Sisdiknas menyatakan bahwa:

“Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok nelajar, pusat kegiatan belajar masyarakat dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis.”

       Selain itu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 juga mengatur mengenai penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga negara lain yaitu  penyelenggaraan pendidikan oleh perwakilan negara asing dan penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing yang terkreditasi di negaranya.[52] Lebih lanjut dinyatakan bahwa lembaga pendidikan asing yang menyelenggarakan pendidikan pada tingkat pendidikan dasar dan menengah wajib memberikan pendidikan agama dan kewarganegaraan bagi peserta didik warga negara lembaga pendidikan di wilayah Indonesia.[53] Penyelenggara pendidikan asing juga wajib bekerja sama dengan lembaga pendidikan di wilayah Indonesia dengan mengikutsertakan tenaga pendidikan dan pengelola warga negara Indonesia.[54] Selain itu kegiatan pendidikan yang menggunakan sistem pendidikan lain dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[55]

Pengaturan Domestik atas Penyelenggaraan Pendidikan oleh Penyedia Jasa Asing di Indonesia

       Negara anggota diperbolehkan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut persyaratan kualifikasi, prosedur, kebijakan yang menyangkut standar teknis dan persyaratan perizinan/lisensi yang berkaitan dengan perdagangan jasa sepanjang hal-hal atau kebijakan-kebijakan tersebut tidak menjadi penghambat dalam perdagangan jasa.

       Apabila merujuk pada peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, terdapat beberapa peraturan yang mengatur lebih jauh tentang penyelenggaraan pendidikan oleh lembaga pendidikan asing.

       Peraturan pelaksanaan tersebut diantaranya berkenaan dengan penyelenggaraan pendidikan pada tingkat pendidikan tinggi yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi menjelaskan bahwa pendidikan tinggi adalah pendidikan pada jalur pendidikan sekolah pada jenjang yang lebih tinggi daripada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.[56] Jenis pendidikan pada Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 terdiri atas pendidikan akademik yang diarahkan terutama pada penguasaan ilmu pengetahuan dan pendidikan professional yang diarahkan terutama pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Kemudian dalam Pasal 4 ayat (2), perguruan tinggi dapat berbentuk akademik, politeknik, sekolah tinggi, institute dan universitas.

       Mengenai pengaturan atas persyaratan dan prosedur untuk mendirikan perguruan tinggi diatur dalam Pasal 119 PP Nomor 60 Tahun 1999 yang menyatakan:

“Pendirian perguruan tinggi diselenggarakan oleh masyarakat selain memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini harus pula memenuhi persyaratan bahwa penyelenggaranya berbentuk yayasan atau badan yang bersifat sosial.”

       Pasal 125 PP Nomor 60 Tahun 1999 menyebutkan bahwa :

“Perguruan tinggi dan/atau lembaga lain di luar negeri dapat mendirikan perguruan tinggi baru di Indonesia melalui patungan dengan mitra kerja di Indonesia dengan mengikuti sistem pendidikan serta syarat dan tata cara pendirian yang berlaku bagi pendidikan tinggi di Indonesia”.

       Di atas tidak dijelaskan lebih lanjut apakah merujuk pada bentuk “joint venture” atau “partner kerja sama” dengan institusi yang cukup berkualifikasi. Selain itu berdasarkan Pasal 119 PP Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi tersebut terlihat bahwa kalimat “usaha patungan denga mitra kerja di Indonesia” merujuk pada bentuk badan hukum yayasan atau organisasi lain yang bersifat sosial.

       Lebih lanjut prosedur dan persyaratan atas pendirian PTS (Perguruan Tinggi Swasta) oleh badan penyelenggara perguruan tinggi swasta dengan partisipasi asing berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 234/U/2000 Tentang Pedoman Pendirian Perguruan Tinggi, harus memenuhi persyaratan:

“1. adanya bauran nasional dan asing dalam kepengurusan Badan Penyelenggara perguruan tinggi swasta

2. adanya dukungan dari perguruan tinggi di luar negeri  yang sudah terakreditasi di negaranya dalam bentuk:

a. dukungan manajemen, yaitu dukungan operasi pengelolaan bidang akademik dan administrasi terhadap PTS yang didirikan

b. dukungan dosen, dengan menempatkan dosen yang berpengalaman dari perguruan tinggi induk di luar negeri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) tahun untuk progam sarjana/pasca sarjana dan 5 (lima) tahun untuk progam diploma.”

      PP Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi juga mengatur mengenai bentuk kerjasama lain dengan perguruan tinggi atau lembaga-lembaga lainnya baik dari dalam maupun di luar negeri, Pasal 129 menyebutkan kerja sama tersebut dapat berbentuk:

“kontrak manajemen, progam kembaran, progam pemindahan kredit, tukar menukar dosen dan mahasiswa dalam penyelenggaraan akademik, pemanfaatan bersama sumber daya dalam pelaksanaan kegiatan akademik, penerbitan bersama karya ilmiah, penyelenggaraan bersama seminar dan kegiatan ilmiah lain & bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.”

        Mengenai kerja sama perguruan tinggi dengan perguruan tinggi atau lembaga lain di luar negeri dalam bentuk kontrak manajemen, progam kembaran dan pemindahan kredit dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Menteri melalui Dirjen Dikti dan bagi PTS menyampaikan juga tembusannya kepada koordinator PTS di wilayahnya.[57]

       Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan mengenai penyelenggaraan pendidikan oleh penyedia jasa asing yaitu berkenaan dengan pengaturan atas kehadiran tenaga pekerja asing (present of foreign natural person) yang dipekerjakan di sektor pendidikan Indonesia. Dalam hal ini Pasal 62 PP Nomor 38 Tahun 1992 Tentang Tenaga Kependidikan menyebutkan bahwa:

“Untuk kependidikan pembangunan nasional, Menteri dapat  meminta warga negara asing yang memiliki ilmu pengetahuan dan/atau keahlian tertentu yang langka dan sangat diperlukan bagi pembangunan nasional serta memiliki sikap mental dan pandangan hidup yang tidak bertentangan dengn Pancasila dan UUD 1945 untuk menjadi tenaga pendidik.”

      Selanjutnya dalam Pasal 4 Keputusan Dirjen Dikti Nomor 61/DIKTI/Kep/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama Perguruan Tinggi di Indonesia dengan Perguruan Tinggi/Lembaga Lain di Luar Negeri, bahwa penyedia jasa asing dapat menyediakan jasa pendidikan dalam bentuk pertukaran dosen dengan persyaratan kualifikasi sebagai berikut:

“1.    pengajar asing harus berpendidikan minimal S2

2. pengajar asing harus menguasai/ahli dalam suatu bidang ilmu/keahlian

3. pengajar asing harus memiliki pengalaman mengajar minimal 5 tahun sebagai dosen

4. pengajar asing harus menguasai bahasa asing

5. pengajar asing harus sehat jasmani dan rohani.”

       Sementara itu berkenaan dengan pengaturan atas ketentuan imigrasi dan izin kerja, Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0184/O/1975 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pendirian dan Penyelenggaraan Sekolah Perwakilan Diplomatik, Sekolah Gabungan Perwakilan Diplomatik dan Sekolah Internasional di Indonesia, menyebutkan bahwa permohonan izin kerja, izin tinggal dan perpajakan bagi guru-guru warga negara asing diajukan oleh Dewan Pengurus Sekolah kepada Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri.[58] Izin kerja, izin tinggal dan perpajakan bagi guru-guru warga negara asing tersebut ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku[59] sesuai dengan jenis paspor yang dimiliki oleh guru-guru warga negara asing yang bersangkutan.[60] Perizinan dikeluarkan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[61]


[1] Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional Kajian Teori dan Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 3

[2] Ibid.

[3] Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian Internasional: Pengertian, Status Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011, hlm.1

[4] Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 149

[5] Ibid.

[6] Damos Dumoli Agusman, Op. Cit, hlm. 20

[7] Hata, Aspek-aspek Hukum dan Non Hukum Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT & WTO, STHB Press, Bandung, 1998, hlm. 241.

[8]Dapat dilihat  dalam Agreement Establishing The World Trade Organization, 15 April 1994 dan FOCUS, WTO Newsletter, No. 1, January-February 1995 dikutip dari  Hata, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 75

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Peter van de Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organizaton. Text, Cases and Materials, Cambridge University Press, New York, 2006, hlm. 39

[12]Definisi Liberalisasi, http://www. arti-338431-liberalisasi.html, Diakses pada tanggal 6 April 2012 pukul 12:45 WIB.

[13] Juliantono Ferry J,  Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO, Banana, Jakarta, 2007, hlm. 35-36

[14] Rudy T. May,  Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah global: Isu, Konsep, Teori dan paradigma, Reflika Aditama, Bandung, 2003, hlm. 5.

[15] Thomas L. Friedman, New York Time, 2000, dikutip dalam Halwani Hendra,  Ekonomi Internasional dan Globalisasi Ekonomi, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 194.

[16] Sjamsul Arifin, (Eds), Op. Cit, hlm. 2

[17] Ibid.

[18] Ibid.

[19] Krugman Paul R dan Obstfeld Maurice, International Economics, Theory and Policy, Fourth Edition, NJ: Addison-Wesley Publishing Company, Boston,  1997, hlm. 235

[20] Idem, hlm. 234-235

[21] Idem, hlm. 235

[22] Robert Gilpin, The Challenge of Global Capitalism: The World Economy in the 21st Century, Princeton University Press, New Jersey, 2000, hlm. 3.

[23] Michael. P. Todaro (eds), Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, terjemahan Aminuddin dan Mursid, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm. 29-30

[24] Huala Adolf, “Pengaturan Perdagangan Jasa Khususnya Sektor Pariwisata dalam World Trade Organization”, Jurnal Hukum Internasional Unpad Vo.I/I/2002, hlm. 17

[25] GATT Activities 1986, “An Annual Review of the Work of the GATT”, Geneva, Juni 1987, hlm. 26

[26] Sektor Primer mencakup semua industri ekstraksi hasil pertambangan dan pertanian; 2. Sektor sekunder mencakup industri untuk mengolah bahan dasar menjadi barang, bangunan, produk manufaktur dan utilities; 3. Sektor tersier yang mencakup industri-industri untuk mengubah wujud benda fisik (physical services), keadaan manusia (human services) dan benda simbolik (information and communication services) dikutip dari Sofan  Effendi,  Strategi Menghadapi  Liberalisasi  Pendidikan  Tinggi,  Seminar Nasional Pendidikan Tinggi di Era Pasar Bebas: Tantangan, Peluang dan Harapan oleh Universitas  Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan Universitas Katolik Atma  Jaya,  2 Mei  2005,  hlm. 2

[27] Victor  Imanuel Williamson Nalle, Mengembalikan Tanggung  Jawab Negara dalam Pendidikan: Kritik terhadap Liberalisasi Pendidikan dalam UU Sidiknas dan UU BHP dalam Jurnal Konstitusi: Keadilan dan Demokrasi Substantif, Volume 8 Nomor 4, Agustus 2011, hlm. 555-556

[28] Idem, hlm. 2

[29] Dapat dilihat dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[30] Latief, Kualitas Pendidikan Tinggi Indonesia Tertinggal Jauh, http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/11/16/12133939/kualitas.pendidikan.tinggi.indonesia.tertinggal.jauh, Diakses pada tanggal 9 April 2012 pukul 12:35 WIB.

[31]Ibid.

[32] Marten Rudner, “Internasional Trade in Higher Edducation Services in the Asia Pacific Region”, World Competition, 1997, (21) No. 2. Hlm 88-116 dalam WTO, Education Services Council for Trade in Services, hlm. 9

[33]Julie Indahrini, Hak Anak yang Terampas,  Forum Keadilan, No. 32/12, 18 Desember 2011, hlm. 75

[34] Adolf Warouw, Aturan-Aturan GATS-WTO dalam Liberalisasi Perdagangan Jasa Pendidikan, disampaikan pada Diskusi GATS/WTO dan Penyelenggara Jasa Pendidikan Tinggi Asing, Jakarta 24 Juli, 2003 dikutip dari Yudhistira Affandi, Pengaturan Liberalisasi Sektor Pendidikan dalam Kerangka GATS/WTO serta Pengaruhnya terhadap Penyelenggaraan Jasa Pedidikan di Indonesia, Skripsi, Perpustakaan Fakultas Hukum UNPAD, 2004, hlm. 9

[35] Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[36] Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[37] Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[38] Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[39] WTO, Education Services, Council for Trade in Services, Background Note by the Secretariat, Geneva, Switzerland, S/C/W/49, 1998, hlm. 1.

[40] Idem, hlm. 15.

[41] Marzuki Usman, “GATT dan Wiraswasta”, Republika, Jakarta, 21 Februari 1995.

[42] Natural Person  dalam tradisi common law mencakup orang perseorangan dan badan usaha firma, organisasi-organisasi professional, perusahaan patungan, assosiasi-assosiasi, perusahaan-perusahaan, perwakilan badan usaha, dan kuasa-kuasa usaha, Black Law Dictionary, hlm. 1028.

[43]Huala Adolf, “The WTO Agreement on Movement of Natural  persons: Historical Analysis and Evaluation”, Jurnal Hukum Internasional Fakultas Hukum UNPAD, Vol. 2 No. 1, Bandung, 2003, hlm. 83.

[44] Pasal 1 ayat (3) GATS.

[45] Pasal 31 (1) Konvensi Wina 1969.

[46] Peter Salim, The Contemporary English-Indonesian Dictionary, Modern English Press, Jakarta, 1986, hlm.366.

[47] A.S Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary, sixth edititon, Oxford University press, Great clrendon street, Oxford, 2000, hlm. 255

[48] Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary,  ninth edition, West Publishing CO,  United States Amerika, 2009, page 322.

[49] Peter Salim, Op. cit, hlm. 372.

[50]  Penjelasan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[51] Ibid.

[52] Pasal 65 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

[53] Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

[54] Pasal 65 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

[55] Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

[56] Pasal  1 Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang Pendidikan Tinggi.

[57] Keputusan Dirjen Dikti Nomor 61/DIKTI/Kep/2000 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kerjasama Perguruan Tinggi.

[58] Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0184/O/1975 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pendirian dan Penyelenggaraan Sekolah Perwakilan Diplomatik, Sekolah Gabungan Perwakilan Diplomatik dan Sekolah Internasional di Indonesia

[59] Ibid.

[60] Ibid.

[61] Ibid.

Categories: Pemikiran Penulis | Tinggalkan komentar

Navigasi pos

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

Blog di WordPress.com.

%d blogger menyukai ini: