Bahasan materi:
- Definisi Perdamaian;
- Isi Rencana Perdamaian
- Prosedur & Pengaturan Pengajuan Rencana
Perdamaian - Berita Acara dalam Perdamaian;
- Homologasi;
Bahwa perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses kepailitan. Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan istilah “akkoord” (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “composition”.
Pasal 144 UU K-PKPU menentukan bahwa Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua Kreditor.
Bahwa perdamaian merupakan salah satu mata rantai dalam proses kepailitan. Perdamaian dalam proses kepailitan ini sering juga disebut dengan istilah “akkoord” (bahasa Belanda) atau dalam bahasa Inggris disebut dengan istilah “composition”.
Sebenarnya perdamaian dalam proses kepailitan pada prinsipnya sama dengan perdamaian dalam pengertian yang umum, yang intinya terdapatnya ”kata sepakat” antara para pihak yang bertikai. Jadi, kata kuncinya adalah “kata sepakat”. Untuk perdamaian dalam proses kepailitan, kata sepakat tersebut diharapkan terjadi antara pihak debitor dan para kreditornya terhadap rencana perdamaian (composition plan) yang diusulkan oleh debitor. Berdasarkan pengertian perdamaian diatas, maka dapat dikatakan bahwa perdamaian merupakan perjanjian yang dilakukan kedua pihak antara kreditor dengan debitor [1]
Isi Rencana Perdamaian
Isi rencana perdamaian (composition plan) adalah kemungkinan:
1. Utang akan dibayar sebagian;
2. Utang akan dibayar dicicil;
3. Utang akan dibayar sebagian dan sisanya dicicil.
Dalam rencana perdamaian tersebut harus jelas alternatif perdamaian dimaksud, sehingga Kreditornya mempersiapkan diri untuk mempertimbangkannya dalam rapat yang bersangkutan[2]
Prosedur & Pengaturan Pengajuan Rencana Perdamaian
Perdamaian dalam UU K-PKPU diatur dalam Pasal 144 sampai dengan Pasal 177. Pengajuan Perdamaian dilakukan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang.
Rencana perdamaian disediakan di Kepaniteraan Pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-cuma oleh setiap orang yang berkepentingan. Rencana perdamaian tersebut wajib dibicarakan dan diambil keputusan segera setelah selesainya pencocokan piutang, kecuali dalam hal yang tersebut dilakukan penundaan
Penundaan dapat dilakukan jika:
Pembicaraan dan keputusan mengenai rencana perdamaian sebagaimana dimaksud ditunda sampai rapat berikut yang tanggalnya ditetapkan oleh Hakim Pengawas paling lambat 21
(dua puluh satu) hari kemudian, dalam hal:
- apabila dalam rapat diangkat panitia kreditor tetap yang
tidak terdiri atas orang-orang yang sama seperti panitia kredi- tor sementara, sedangkan jumlah terbanyak Kreditor menghen- daki dari panitia kreditor tetap pendapat tertulis tentang perda maian yang diusulkan tersebut; atau - rencana perdamaian tidak disediakan di Kepaniteraan Penga- dilan dalam waktu yang ditentukan, sedangkan jumlah terban- yak Kreditor yang hadir menghendaki pengunduran rapat.
Yang tidak boleh ikut memberikan suara dalam dalam penentuan putusan rencana perdamaian tersebut antara lain:
1. pemegang gadai;
2. pemegang jaminan fidusia;
3. pemegang hak tanggungan;
4. pemegang hipotik;
5. pemegang hak agunan lainnya;
6. Kreditor yang mempunyai hak didahulukan yang dibantah
Dalam Pemungutan suara tersebut tidak memutup kemungkinan terjadinya pengulangan pemungutan suara sebagaimana diatur dalam UU K-PKPU:
“pemgungutan suara akan diulang apabila lebih dari ½ jumlah Kreditor yang hadir pada rapat dan mewakili Paling sedikit ½ jumlah piutang Kreditor yang mempunyai hak suara Menyetujui untuk menerima rencana perdamaian tersebut.”
Berita Acara dalam Perdamaian.
Berita cara dalam perdamaian wajib memuat:
1. Isi perdamaian;
2. Nama Kreditor yang hadir dan berhak mengeluarkan suara dan menghadap;
3. Suara yang dikeluarkan;
4. Hasil pemungutan suara; dan
5. Segala sesuatu yang terjadi dalam rapat
Berita acara rapat ditandatangani oleh Hakim Pengawas dan panitera pengganti. Setiap orang yang berkepentingan dapat melihat dengan cuma-cuma berita acara rapat yang disediakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal berakhirnya rapat di Kepaniteraan Pengadilan.
Homologasi
Menurut vide Pasal 216 UU No. 37 Tahun 2004 suatu perdamaian disetujui oleh para kreditor konkuren menurut jumlah suara yang ditentukan dalam undang- undang, masih perlu disahkan oleh pengadilan niaga.
Acara pengesahan ini disebut dengan istilah ratifikasi dan sidang pengesahan tersebut disebut dengan homologasi, selanjutnya dapat ditempuh proses rehabilitasi.
Ketentuan mengenai homologasi:
- Homologasi dilakukan paling cepat 8 hari dan paling lambat 14 hari setelah diterimanya rencana perdamaian dalam rapat pemungutan suara;
- Sidang pengadilan untuk membahas pengesahan perdamaian dilakukan terbuka untuk umum;
- Homologasi wajib diberikan pada sidang tersebut atau paling lambat 7 hari setelah sidang yang bersangkutan.
Jika Pengadilan Niaga menolak pengesahan perdamaian dalam sidang homologasi, menurut Pasal 161 Ayat (1) UU K-PKPU tersedia prosedur kasasi ke Mahkamah Agung bagi pihak-pihak yang berkeberatan atas penolakan tersebut. Konsekuensinya adalah karena keputusan penolakan tersebut belum bersifat final binding (inkracht), maka putusan perdamaian tersebut belum bisa dijalankan (bukan merupakan keputusan uitvoorbaar bij voorraad), dan proses kepailitan juga belum bisa berakibat insolvensi, atau pengakhiran kepailitan juga belum bisa terjadi (Pasal 166 juncto Pasal 178 UU Nomor 37 Tahun 2004). Sebab jika perdamaian diterima, kepailitan segera berakhir dan proses perdamaian akan segera direalisasi (dilakukan pembagian). Akan tetapi, jika perdamaian ditolak, proses kepailitan segera masuk ke tahap insolvensi.
Dalam sidang homologasi tersebut, pengadilan niaga dapat menolak pengesahan suatu perdamaian jika ada alasan untuk itu. Alasan-alasan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Harta pailit, termasuk hak retensi sangat jauh melebihi jumlah yang dijanjikan dalam perdamaian.
2. Pemenuhan perdamaian tidak cukup terjamin.
3. Perdamaian telah tercapai karena penipuan, kolusi dengan seorang kreditor atau lebih, atau penggunaan cara-cara lain yang tidak jujur, tanpa melihat
4. apakah debitor pailit turut melakukannya atau tidak.
(Pasal 159 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004).
Footnote:
[1] Fuady, Munir, 1998, Hukum Pailit Dalam Teori dan Praktek, Citra Aditya Bakti, Bandung.
[2] Man. S. Sastrawidjaja, Op. Cit., hlm. 178.